Sistem
pendidikan Indonesia, seperti yang kita rasakan bersama, lebih memperhatikan kinerja
otak kiri pelajar. Pelajar dianggap pintar atau bodoh dari sudut pandang
penguasaan tata bahasa dan ilmu hitung. Beberapa guru menilai pelajar jurusan
IPA lebih membanggakan daripada pelajar jurusan IPS yang memahami sejarah dan
politik atau pelajar jurusan bahasa yang komunikatif dan berbakat dalam bidang
seni budaya. Akhir dari proses belajar yang lama dan menahun hanya membuahkan
goresan hitam diatas putih, bukan pada bakat, inisiatif, potensi dan kemampuan
non akademis yang dia miliki. Dampak dari hal tersebut adalah rapuhnya
mentalitas dan kreativitas anak bangsa. Padahal tak banyak kawan kita yang
memiliki kemampuan non akademis yang bisa dikatakan spesial dan komersial.
Fanatisme
pengajar dan orang tua terhadap kemampuan hitung dan tata bahasa pelajar dapat
mempengaruhi mental dan psikologi pelajar itu sendiri. Sebutan ‘anak pintar’
ditujukan pada si pecinta matematika dan ‘si lemot’ ditujukan pada pelajar yang
menggemari lukisan namun tidak pandai berhitung. Paradigma seperti ini dapat
menghambat perkembangan pelajar kita. Hal inilah yang selanjutnya disebut
dengan mental blok.
Mental Blok
Mental
blok dapat kita artikan sebagai kondisi mental, jiwa, pemikiran dan pola pikir
yang menghalangi diri menciptakan perubahan positif. Lebih sederhana lagi,
mental blok adalah mentalitas individu yang mempunyai persepsi negatif pada
diri sendiri. Hal ini dapat menjadi awal dari citra negatif pada diri sendiri
sehingga seseorang tidak mampu mengubah nasib dan tidak berkembang. Mental blok
akan menumbuhkan pesimisme yang spontan dan tak terkendali sebab mental blok
bergerak di dalam pikiran bawah sadar manusia.
Sebagai
pengajar dan pendidik, guru tidak seharusnya menggerogoti pemikiran pelajar
dengan pendapat pendapat negatif. Kata kata bodoh, malas, nakal, tidak punya
otak, dungu, dan sejenisnya merupakan kata kata yang cukup berbahaya. Sebab
pembentukan keyakinan, persepsi dan mentalitas seseorang berasal dari
informasi, ucapan, dan bahkan julukan yang tiap hari mereka dengar.
Dikata-katai dungu setiap hari misalnya, secara perlahan, bertahap, pelajar
akan mulai meyakini dan membenarkan bahwa dia memang bodoh, dungu, lambat
berfikir, dan lain lain. Keyakinan yang negatif itulah yang membentuk mental
blok. Pribadinya akan menjadi rendah diri dan tidak layak melakukan atau
mempelajari apapun.
Para Investor Mental Blok Pada Siswa
Tidak
dapat dipungkiri bahwa orang tua adalah tokoh tokoh utama dalam penanaman
keyakinan negatif pada anak. Namun, dengan penuh kesadaran mari berkaca diri
dan mengakui bahwa guru dan pendidik, entah dengan sengaja ataupun tidak, turut
membentuk persepsi negatif pada diri pelajar. Di sekolah manapun, pada hari
apapun, pada pelajaran apapun, guru pasti pernah melontarkan komentar atau
kritik destruktif yang diniatkan agar pelajar yang kurang pandai menyadari
kekurangannya dan belajar lebih giat.
Sering saya jumpai, semasa sekolah,
pelajar jurusan IPS yang kerap di cap sebagai pembuat ulah dan ‘biang
kerusuhan’ tidak pernah membuat perbaikan meski guru guru sudah mencapnya
demikian. Insyaf? Tidak. Makin berulah? Iya. Ironisnya, mereka berulah dengan
penuh kebanggaan. Mereka telah menjadi korban penanaman mental blok. Dan para
guru yang menanamnya.
Mari menengok pelajar pelajar yang
sudah terlanjur di cap bodoh. Apakah mereka menjadi rajin belajar karena
dikecam sebagai anak bodoh? Tidak juga. Mereka terlanjur menerima kata kata
bodoh sebagai nasib. Bagaimana tidak, bapak dan ibu guru sering menyerukan
“Bodohnya kamu ini! Soal macam ini kan baru kemarin saya jelaskan! Masa tidak
bisa?!” atau “Kepalamu isi otak, batu, apa tahu sih?!”. Akhirnya pelajar mulai
berprasangka buruk pada diri sendiri. Hari hari menjelang ulangan hanya
dihabiskan untuk bermain karena dia berfikir tak ada gunanya belajar. Nilai bagus
hanya bisa didapat lewat contekan. Sekolah dianggapnya sebagai jembatan
mendapat ijasah.
Peran Guru Memangkas Mental Blok Dan Memulihkan
Semangat Belajar
Dengan mengubah kebiasaan, komentar
dan tutur kata, kualitas pendidikan di tanah air Indonesia niscaya dapat
diperbaiki. Pendidikan bukan hanya tentang seragam dan ijasah. Namun pendidikan
sudah sepantasnya berorientasi pada pembentukan karakter pemuda pemudi harapan
bangsa. Dan pemuda pemudi yang bisa diharapkan untuk memajukan negeri, bukanlah
pemuda pemudi dengan mental blok, pesimisme dan perasaan penuh luka.
Anggapan bahwa jurusan tertentu
lebih unggul dari jurusan yang lain, harus dihilangkan. Pelajar unggul dalam
bidangnya masing masing. Pelajar jurusan IPS akan menjadi sejarahwan atau ekonom
handal. Pelajar jurusan Bahasa akan menjadi antropolog, budayawan atau translator
yang dapat menerjemahkan buku buku ilmu pengetahuan dari luar negeri dan
membantu pembelajaran di Indonesia. Pelajar IPA akan menjadi ahli matematika
atau kimiawan. Tidak semestinya menghakimi pelajar dengan kata kata ‘bodoh’,
‘bego’, sebab mereka memiliki bakat dan kompetensi di bidang yang berbeda.
Guru yang merasa tidak disukai siswa,
tidak sepatutnya melancarkan serangan balasan dengan sarkasme pada ucapannya
lantas bersikap antipati. Guru semestinya memperhatikan kesulitan siswa sebab
guru bukan dosen yang bisa melepas mahasiswa sebab dianggap mandiri.
Sugesti
sugesti positif harus diberikan dengan kata kata persuasif yang lembut tapi mengena.
Sugesti itu sendiri adalah proses mempengaruhi secara kejiwaan yang meliputi
pikiran, perasaan dan kemauan sehingga orang yang dipengaruhi mengikuti atau
berbuat seperti yang disugestikan padanya.
Guru
adalah salah satu orang yang mempunyai pengaruh sugesti yang besar. Sebab
sugesti dapat berhasil karena adanya faktor kecakapan, kedudukan, kejujuran,
kehormatan, dan lain lain. Dalam hal ini, guru adalah sosok yang dikenal cakap,
memiliki kedudukan lebih tinggi dari pelajar, dan cerdas.
Sugesti
dapat dilancarkan dengan bujukan sederhana. Bisa juga dengan pujian sederhana
yang diikuti dengan kritik konstruktif. Dengan begitu, pelajar merasa dihargai
dan merasa dituntun untuk lebih maju
dalam waktu yang bersamaan. Kemampuan pelajar menelaah mata pelajaran tidak
semata mata bergantung pada durasi belajar akan tetapi juga bergantung pada
hubungan psikologis guru dan pelajar. Guru yang menyebalkan dan membosankan
pasti tidak disukai para pelajar. Secara otomatis mereka juga tidak menyukai
pelajaran yang disajikan guru tersebut. Ini adalah salah satu pemicu kebodohan.
Untuk
mensugesti pelajar agar bisa keluar dari mental bloknya, guru juga sepatutnya
membuat dirinya terlihat layak menjadi orang yang diperhatikan dan dituruti.
Rapi, wangi, ramah, menyenangkan, berwawasan luas adalah kriteria guru yang
disukai para pelajar. Penuh simpati dan empatik, menggunakan bahasa yang baik
dan mudah dicerna memperkuat keniscayaan agar sugestinya berhasil. Guru juga
boleh memotivasi pelajarnya dengan kisah nyata maupun fiktif. Karena ada
beberapa orang yang mudah trenyuh dan tergerak hatinya jika mendengar cerita.
Inilah yang harus diusahakan oleh guru, memahami karakter siswanya.
Keberhasilan
sugesti dan motivasi yang diberikan guru akan muncul sebagai tendensi. Pada pelajar
yang kurang mampu belajar, keberhasilan motivasi mungkin akan muncul pada
tendensi abstrak yang positif yang nampak pada sikap patuh, rajin, tekun,
pantang menyerah, bertanggung jawab, dan lain lain. Pada anak yang kurang bisa
menjaga hubungan dengan orang lain, akan muncul tendensi sosial yang tercermin
pada sikapnya yang bersahabat, setia kawan, murah hati, senang membantu, dan
sebagainya.
Memang,
guru bukanlah psikolog atau psikiater yang peka terhadap gejala kejiwaan atau
mental seseorang. Namun, setidaknya guru tidak ikut menjadi programmer dan
pemupuk mental blok para pelajar. Baik sekali jika guru dapat menyingkirkan
mental blok pada siswa dengan pendekatan intensif. Sangat tidak patut jika guru
menggemakan slogan “Terserah mau pintar atau bodoh. Pokoknya saya masuk kelas
dan digaji”. Harus diingat bahwa negara membutuhkan kawula muda yang kelak
memajukan negaranya, dan kawula muda itu sedang belajar dibawah bimbingan guru.
Mengajar bukan hanya sekedar pekerjaan, tapi tanggung jawab besar dan dedikasi.