Tuesday, October 16, 2018

Guru, Sebagai Programmer Mental Blok Pada Siswa



Sistem pendidikan Indonesia, seperti yang kita rasakan bersama, lebih memperhatikan kinerja otak kiri pelajar. Pelajar dianggap pintar atau bodoh dari sudut pandang penguasaan tata bahasa dan ilmu hitung. Beberapa guru menilai pelajar jurusan IPA lebih membanggakan daripada pelajar jurusan IPS yang memahami sejarah dan politik atau pelajar jurusan bahasa yang komunikatif dan berbakat dalam bidang seni budaya. Akhir dari proses belajar yang lama dan menahun hanya membuahkan goresan hitam diatas putih, bukan pada bakat, inisiatif, potensi dan kemampuan non akademis yang dia miliki. Dampak dari hal tersebut adalah rapuhnya mentalitas dan kreativitas anak bangsa. Padahal tak banyak kawan kita yang memiliki kemampuan non akademis yang bisa dikatakan spesial dan komersial.
Fanatisme pengajar dan orang tua terhadap kemampuan hitung dan tata bahasa pelajar dapat mempengaruhi mental dan psikologi pelajar itu sendiri. Sebutan ‘anak pintar’ ditujukan pada si pecinta matematika dan ‘si lemot’ ditujukan pada pelajar yang menggemari lukisan namun tidak pandai berhitung. Paradigma seperti ini dapat menghambat perkembangan pelajar kita. Hal inilah yang selanjutnya disebut dengan mental blok.

Mental Blok
Mental blok dapat kita artikan sebagai kondisi mental, jiwa, pemikiran dan pola pikir yang menghalangi diri menciptakan perubahan positif. Lebih sederhana lagi, mental blok adalah mentalitas individu yang mempunyai persepsi negatif pada diri sendiri. Hal ini dapat menjadi awal dari citra negatif pada diri sendiri sehingga seseorang tidak mampu mengubah nasib dan tidak berkembang. Mental blok akan menumbuhkan pesimisme yang spontan dan tak terkendali sebab mental blok bergerak di dalam pikiran bawah sadar manusia.
Sebagai pengajar dan pendidik, guru tidak seharusnya menggerogoti pemikiran pelajar dengan pendapat pendapat negatif. Kata kata bodoh, malas, nakal, tidak punya otak, dungu, dan sejenisnya merupakan kata kata yang cukup berbahaya. Sebab pembentukan keyakinan, persepsi dan mentalitas seseorang berasal dari informasi, ucapan, dan bahkan julukan yang tiap hari mereka dengar. Dikata-katai dungu setiap hari misalnya, secara perlahan, bertahap, pelajar akan mulai meyakini dan membenarkan bahwa dia memang bodoh, dungu, lambat berfikir, dan lain lain. Keyakinan yang negatif itulah yang membentuk mental blok. Pribadinya akan menjadi rendah diri dan tidak layak melakukan atau mempelajari apapun.

Para Investor Mental Blok Pada Siswa
            Tidak dapat dipungkiri bahwa orang tua adalah tokoh tokoh utama dalam penanaman keyakinan negatif pada anak. Namun, dengan penuh kesadaran mari berkaca diri dan mengakui bahwa guru dan pendidik, entah dengan sengaja ataupun tidak, turut membentuk persepsi negatif pada diri pelajar. Di sekolah manapun, pada hari apapun, pada pelajaran apapun, guru pasti pernah melontarkan komentar atau kritik destruktif yang diniatkan agar pelajar yang kurang pandai menyadari kekurangannya dan belajar lebih giat.
            Sering saya jumpai, semasa sekolah, pelajar jurusan IPS yang kerap di cap sebagai pembuat ulah dan ‘biang kerusuhan’ tidak pernah membuat perbaikan meski guru guru sudah mencapnya demikian. Insyaf? Tidak. Makin berulah? Iya. Ironisnya, mereka berulah dengan penuh kebanggaan. Mereka telah menjadi korban penanaman mental blok. Dan para guru yang menanamnya.
            Mari menengok pelajar pelajar yang sudah terlanjur di cap bodoh. Apakah mereka menjadi rajin belajar karena dikecam sebagai anak bodoh? Tidak juga. Mereka terlanjur menerima kata kata bodoh sebagai nasib. Bagaimana tidak, bapak dan ibu guru sering menyerukan “Bodohnya kamu ini! Soal macam ini kan baru kemarin saya jelaskan! Masa tidak bisa?!” atau “Kepalamu isi otak, batu, apa tahu sih?!”. Akhirnya pelajar mulai berprasangka buruk pada diri sendiri. Hari hari menjelang ulangan hanya dihabiskan untuk bermain karena dia berfikir tak ada gunanya belajar. Nilai bagus hanya bisa didapat lewat contekan. Sekolah dianggapnya sebagai jembatan mendapat ijasah.

Peran Guru Memangkas Mental Blok Dan Memulihkan Semangat Belajar
            Dengan mengubah kebiasaan, komentar dan tutur kata, kualitas pendidikan di tanah air Indonesia niscaya dapat diperbaiki. Pendidikan bukan hanya tentang seragam dan ijasah. Namun pendidikan sudah sepantasnya berorientasi pada pembentukan karakter pemuda pemudi harapan bangsa. Dan pemuda pemudi yang bisa diharapkan untuk memajukan negeri, bukanlah pemuda pemudi dengan mental blok, pesimisme dan perasaan penuh luka.
            Anggapan bahwa jurusan tertentu lebih unggul dari jurusan yang lain, harus dihilangkan. Pelajar unggul dalam bidangnya masing masing. Pelajar jurusan IPS akan menjadi sejarahwan atau ekonom handal. Pelajar jurusan Bahasa akan menjadi antropolog, budayawan atau translator yang dapat menerjemahkan buku buku ilmu pengetahuan dari luar negeri dan membantu pembelajaran di Indonesia. Pelajar IPA akan menjadi ahli matematika atau kimiawan. Tidak semestinya menghakimi pelajar dengan kata kata ‘bodoh’, ‘bego’, sebab mereka memiliki bakat dan kompetensi di bidang yang berbeda.
            Guru yang merasa tidak disukai siswa, tidak sepatutnya melancarkan serangan balasan dengan sarkasme pada ucapannya lantas bersikap antipati. Guru semestinya memperhatikan kesulitan siswa sebab guru bukan dosen yang bisa melepas mahasiswa sebab dianggap mandiri.
Sugesti sugesti positif harus diberikan dengan kata kata persuasif yang lembut tapi mengena. Sugesti itu sendiri adalah proses mempengaruhi secara kejiwaan yang meliputi pikiran, perasaan dan kemauan sehingga orang yang dipengaruhi mengikuti atau berbuat seperti yang disugestikan padanya.
Guru adalah salah satu orang yang mempunyai pengaruh sugesti yang besar. Sebab sugesti dapat berhasil karena adanya faktor kecakapan, kedudukan, kejujuran, kehormatan, dan lain lain. Dalam hal ini, guru adalah sosok yang dikenal cakap, memiliki kedudukan lebih tinggi dari pelajar, dan cerdas.
Sugesti dapat dilancarkan dengan bujukan sederhana. Bisa juga dengan pujian sederhana yang diikuti dengan kritik konstruktif. Dengan begitu, pelajar merasa dihargai dan merasa dituntun untuk lebih maju  dalam waktu yang bersamaan. Kemampuan pelajar menelaah mata pelajaran tidak semata mata bergantung pada durasi belajar akan tetapi juga bergantung pada hubungan psikologis guru dan pelajar. Guru yang menyebalkan dan membosankan pasti tidak disukai para pelajar. Secara otomatis mereka juga tidak menyukai pelajaran yang disajikan guru tersebut. Ini adalah salah satu pemicu kebodohan.
Untuk mensugesti pelajar agar bisa keluar dari mental bloknya, guru juga sepatutnya membuat dirinya terlihat layak menjadi orang yang diperhatikan dan dituruti. Rapi, wangi, ramah, menyenangkan, berwawasan luas adalah kriteria guru yang disukai para pelajar. Penuh simpati dan empatik, menggunakan bahasa yang baik dan mudah dicerna memperkuat keniscayaan agar sugestinya berhasil. Guru juga boleh memotivasi pelajarnya dengan kisah nyata maupun fiktif. Karena ada beberapa orang yang mudah trenyuh dan tergerak hatinya jika mendengar cerita. Inilah yang harus diusahakan oleh guru, memahami karakter siswanya.
Keberhasilan sugesti dan motivasi yang diberikan guru akan muncul sebagai tendensi. Pada pelajar yang kurang mampu belajar, keberhasilan motivasi mungkin akan muncul pada tendensi abstrak yang positif yang nampak pada sikap patuh, rajin, tekun, pantang menyerah, bertanggung jawab, dan lain lain. Pada anak yang kurang bisa menjaga hubungan dengan orang lain, akan muncul tendensi sosial yang tercermin pada sikapnya yang bersahabat, setia kawan, murah hati, senang membantu, dan sebagainya.
Memang, guru bukanlah psikolog atau psikiater yang peka terhadap gejala kejiwaan atau mental seseorang. Namun, setidaknya guru tidak ikut menjadi programmer dan pemupuk mental blok para pelajar. Baik sekali jika guru dapat menyingkirkan mental blok pada siswa dengan pendekatan intensif. Sangat tidak patut jika guru menggemakan slogan “Terserah mau pintar atau bodoh. Pokoknya saya masuk kelas dan digaji”. Harus diingat bahwa negara membutuhkan kawula muda yang kelak memajukan negaranya, dan kawula muda itu sedang belajar dibawah bimbingan guru. Mengajar bukan hanya sekedar pekerjaan, tapi tanggung jawab besar dan dedikasi.

Sunday, September 30, 2018

Collapse of Big Power Self Confidence in Japan’s Diplomacy

A Review



Artikel ini ditulis oleh Kato Akira dan dipublikasikan pada 18 september 2014. Dalam artikel ini, Kato sebagai orang Jepang berusaha mengkritisi runtuhnya kepercayaan diri Jepang dalam berdiplomasi. Korea dan Cina masih menjadi alasan utama dari penyebab frustasi masal yang dialami Jepang karena perasaan ‘kalah’ dari kedua negara rival tersebut.

Sejak Restorasi Meiji pada tahun 1868, orang-orang Jepang telah lama mempertahankan kesadaran statusnya sebagai satu-satunya kekuatan besar di Asia. Namun pada tahun 2010-an, hampir semua orang Jepang berpikir bahwa China kini telah menjadi kekuatan besar atau pemimpin Asia, menggantikan Jepang. Sementara itu Korea berpikir bahwa mereka telah melampaui Jepang dalam bidang-bidang seperti teknologi IT dan globalisasi. Selain itu, mungkin Kato juga lupa menambahkan bahwa industri hiburan Korea tengah menjadi sorotan utama di kawasan Asia Tenggara dengan K-pop wave yang digandrungi oleh anak-anak muda. Kira-kira sejak 2010 atau 2011, pop culture Korea menjadi saingan besar Jepang terutama musik yang link unduhnya lebih mudah ditemukan daripada musik Jepang serta drama Korea yang lebih sering tayang di televisi nasional Indonesia daripada drama Jepang. Padahal pop culture Jepang juga merupakan salah satu unsur yang mensukseskan slogan “cool Japan”. Akan tetapi kebanyakan orang Jepang masih tetap berpikir bahwa Jepang masih merupakan pemimpin Asia dan menilai Cina dan Korea sebagai bangsa yang patut dikasihani karena merupakan bangsa yang lemah dan tak berdaya. Hal ini adalah sebuah pandangan yang sangat umum dimiliki oleh ex-negara penjajah terhadap ex-negara terjajah. Apalagi dalam menghadapi protes dan hujatan China dan Korea mengenai isu jugun ianfu yang mendadak bergaung secara dramatis pada masa bubble economy tahun 90-an.

Namun, kerja sama erat antara Jepang dan Amerika membentuk era Amerippon yang menambah kepercayaan diri Jepang. Dengan adanya sistem bigemonik tersebut, kepercayaan diri dan dorongan psikologis dalam menghadapi Cina dan Korea makin meningkat. Hal ini didukung lagi oleh kenyataan bahwa Cina dan Korea sama-sama negara mau sehingga dominansi ekonomi terhadap China dan Korea meningkatkan rasa superioritas bagi Jepang. Keadaan ini berpengaruh pula pada pemberitaan isu mengenai jugun ianfu yang mendadak ditarik oleh Asahi Shinbun pada 2014. Tentu saja ini dilakukan atas nama nasionalisme dan superioritas.

Di Jepang, media memang tidak sefrontal media Indonesia. Media Jepang cenderung sangat pro pemerintah dan berusaha menjaga image negara sekaligus menjaga kondisi psikologis rakyat. Filter media di Jepang juga cenderung ketat dan selektif dalam memilih pemberitaan apa saja yang tidak meresahkan rakyat. Dalam hal ini, Jepang, melalui media berusaha menghapurkan memori sejarah yang sebaiknya tidak diketahui oleh generasi muda agar generasi muda tidak berpikir bahwa mereka adalah bangsa penjajah. Dengan ditariknya pemberitaan ini, Asahi Shinbun sudah terlihat kehilangan empatinya terhadap China dan Korea.

Sudah banyak orang Jepang yang tidak lagi menyikapi kritik dari China dan Korea dengan sikap yg baik. Apalagi dengan adanya Zaitokukai, sebuah kelompok ultranasionalis sayap kanan yang tidak menghargai hak-hak imigran Korea dan China di Jepang. Zaitokukai kerap melontarkan hate speech yang sebenarnya justru dipicu oleh frustasi masal akibat kesadaran akan inferioritas dan kelemahan Jepang yang membuat Jepang dianggap tidak lagi menjadi kekuatan besar di Asia. Menghadapi hal ini, pemerintahan Abe Shinzo dan LDP membangkitkan “strong Japan” dengan upaya penguatan ekonomi dan militer.

Namun, Kato menyatakan bahwa mustahil Jepang mengungguli China dalam hal ekonomi dan militer. Hal ini bisa ditebak sebabnya yakni karena faktor sumber daya manusia dan problem koreika shakai di Jepang. Selain itu dalam hal ekonomi, China selalu berusaha mencari pasar dan tidak se-idealis Jepang dalam memperhitungkan kualitas produk. China cenderung memperhatikan pasar dan karakter pasar untuk menyesuaikan produk macam apa dan level apa yang cocok untuk dijadikan sasaran ekspor, sementara Jepang selalu memaksimalkan kaizen yang kadang kurang cocok dan kurang tepat guna bagi negara sasaran ekspor. Kaizen itulah yang terus merubah kualitas produk menjadi lebih baik sekaligus melambungkan harga yang akhirnya tidak mampu bersaing di pasar internasional dibandingkan dengan Cina.

Sebagai negara pasifis, dengan merujuk kembali pada pasal 9 Jepang diharapkan dapat menikmati superioritasnya dengan melancarkan soft power sebagai negara yg cinta damai. Akan tetapi, mengingat kembali bahwa Jepang memiliki saingan-saingan berat dalam melancarkan soft power, Jepang tidak bisa begitu saja berbangga hati. Soft power Jepang, seperti yang sudah saya singgung di atas, salah satunya adalah budaya pop yang tergeser oleh budaya pop Korea. Selain itu, yang tidak dituliskan oleh Kato adalah cara Jepang menarik simpati negara kawasan Asia Tenggara dengan adanya beasiswa-beasiswa untuk belajar di Jepang, kini tersaingi juga oleh Korea dan Cina yang gencar memberikan beasiswa sebagai salah satu bentuk soft powernya untuk terus engaged dengan negara-negara kawasan, terutama negara yang menjadi pasarnya.

Pasal 9 yang menerima Nobel Perdamaian, disebutkan oleh Kato bahwa tidak ada pembuktian logis mengapa Jepang pantas menerima Nobel tersebut sementara pada faktanya Jepang dianggap menjadi negara nomor dua di Asia. Sementara spektrum politis tidak bisa menerima dengan mudah fakta bahwa Jepang telah dinomorduakan di Asia. Posisi Jepang sbg negara nomor 2 tidaklah sama dengan posisinya sbg “middle power” pada perang dingin. Sebab secara global, pada masa perang dingin, Jepang memang nomor dua, namun di kawasan Asia, status Jepang pada masa itu adalah sebagai sebuah negara dengan kekuatan besar di Asia. Tergelincirnya Jepang dari posisinya inilah yang membuat Jepang dihadapkan pada situasi-situasi yg gawat dimana perlu adanya pendobrakan terhadap kebijakan-kebijakan lama yang sifatnya closed-door untuk bergeser menjadi open door policy melalui kemunculan kekuatan nuklir, maupun partisipasi dalam TPP. Akan tetapi, perlu dikritisi kembali, apabila benar Jepang ingin turut mengembangkan kekuatan nuklirnya, tentu akan menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, baik dari pihak negara rival ataupun dari dalam negeri, mengingat sempat terjadi tragedi nuklir di Fukushima.