Wednesday, December 23, 2015

KEPENTINGAN JEPANG MEMPERKUAT DEFENSE AND SECURITY PARTNERSHIP DENGAN AUSTRALIA

Disusun sebagai Ujian Akhir Semester ganjil 2015
Mata Kuliah Kajian Budaya Diplomasi Jepang
Dosen Pengampu: Dr. Asra Virgianita, Ph.D
Oleh: Rizki Hakiki Valentine
Pascasarjana Kajian Wilayah Jepang UI

1.      Latar Belakang Masalah
Jepang dan Australia merupakan negara sahabat yang memiliki ikatan kerjasama yang kuat sekaligus bersama-sama mengembangkan demokrasi di kawasan Asia Pasifik. Australia dan juga Selandia Baru merupakan partner yang amat penting bagi Jepang tidak hanya dalam bidang ekonomi namun juga politik[1]. Kerja sama untuk mengembangkan dan melancarkan prinsip demokrasi di Asia Pasifik serta mempromosikan pengembangan dan stabilitas kawasan merupakan isu yang amat fundamental yang diemban oleh Jepang dan Australia.
Hingga tahun 1990an, hubungan keamanan nasional antara Jepang dan Australia sebenarnya sifatnya tidak langsung. Keduanya terhubung dengan adanya kedekatan satu sama lain dengan AS. Jepang dan Australia, oleh AS kerap dideskripsikan sebagai ‘nothern and southern anchors’ dalam sistem aliansi AS di Asia Pasifik[2]. Hal inilah yang mengawali hubungan bilateral Jepang dan Australia hingga terus berkembang menjadi aliansi. Kedua negara ini merupakan kekuatan besar di Asia Pasifik yang menggalakkan demokrasi liberal, tatanan internasional berdasarkan aturan hukum internasional.
Pada Oktober 2013, PM Abbott menyatakan bahwa Jepang merupakan sahabat terbaik Australia di Asia dan ingin terus membangun kerja sama yang lebih kuat[3]. Sejak China, sebagai negara yang kini sangat berpengaruh di Asia, mulai menunjukkan kebangkitan dan pengaruhnya di Asia selama beberapa tahun terakhir, Jepang kian mempererat gandengannya dengan Australia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa China merupakan rival besar Jepang dan Jepang memandang China sebagai sebuah ancaman teritorial dan kedaulatan yang berbahaya bagi Jepang[4]. Selain itu, Jepang juga menganggap China sebagai rival di bidang ekonomi karena China semakin memperluas pasarnya dan menanamkan pengaruh ekonominya di negara-negara kawasan.
Lain halnya dengan Australia dalam memandang China. Meskipun Australia tidak memiliki sentimen negatif terhadap China, Australia tetap menjadi salah satu pihak yang memiliki andil dalam upaya ‘mengkerdilkan’ pengaruh China di kawasan. Upaya tersebut diwujudkan dengan membangun kerja sama bilateral yang sekaligus sifatnya aliansi bersama Jepang dalam bidang pertahanan dan keamanan guna mewujudkan kestabilan dan pengembangan tatanan regional.
Antara tahun 2007 hingga 2014 kedua negara ini telah membina sebuah komitmen untuk menuju hubungan kerja sama keamanan level tinggi. Hubungan tersebut semakin erat hingga tahun 2015 dengan adanya persetujuan teknologi pertahanan dan diskusi mengenai akuisisi Australia yang potensial dalam submarine Jepang dengan hubungan personal yang sangat kuat antara para pemimpin[5].
Perjanjian Australia dengan Jepang secara eksplisit mendukung PM Abe untuk merevisi pola pertahanan Jepang dan menambah keterlibatan dalam isu-isu keamanan regional meskipun pada akhirnya hal tersebut akan menyinggung perasaan China. Meskipun spekulasi media menyatakan hubungan Jepang dan Australia kini berubah dari aliansi kuasi menjadi aliansi formal, hal ini tidak sepenuhnya benar karena perubahan menjadi aliansi formal sangat tidak disarankan sehubungan dengan aliansi Australia dengan China dan batasan konstitusional dalam pola pertahanan Jepang[6].
            Berdasarkan sudut pandang yang telah dipaparkan di atas, makalah ini akan berfokus pada kepentingan Jepang melakukan koalisi pertahanan dan keamanan dengan Australia untuk menjaga keamanan  kawasan Asia.

2.      Kerangka Pemikiran
Diplomasi dilakukan demi mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kautilya, seorang diplomat India Kuno, dalam karyanya yang tersohor, Arthasastra, mengemukakan bahwa pencapaian kebijakan secara tepat akan memberi hasil yang menguntungkan (Roy, 1995:5). Kautilya menyebutkan bahwa tujuan utama diplomasi adalah demi mengamankan kepentingan negara sendiri. Kepentingan nasional yang biasanya dimiliki suatu negara antara lain memajukan perekonomian, melindungi warga negaranya di negara lain, mengembangkan budaya, meningkatkan gengsi, menjalin persahabatan dengan negara lain, dan sebagainya.
Untuk mencapai tujuan seperti di atas, negara membutuhkan instrumen atau sarana dalam berdiplomasi, baik dalam segi politik, ekonomi, budaya, maupun militer. Dari segi politik, negara pasti berdiplomasi demi mengamankan kebebasan politik dan integritas wilayahnya. Instrumen yang bisa digunakan dalam aspek ini antara lain dengan cara memperkuat hubungan dengan negara sahabat, memelihara hubungan yang harmonis dengan negara yang memiliki kesamaan kepentingan, dan mengajukan jalan perdamaian dengan negara-negara yang memusuhinya. Instrumen lainnya adalah memberi pengertian terhadap suatu negara dan menunjukkan suatu itikad baik demi menghilangkan kecurigaan dan keraguan negara-negara lain. Hal ini dilakukan demi mencari “rekan” untuk membentuk koalisi.
Diplomasi memiliki pola-pola tertentu antara lain:
a.       Diplomasi bilateral, mengacu pada hubungan politik dan budaya yang melibatkan dua negara (Djelantik, 2008:85). Mayoritas diplomasi yang terjadi hingga kini adalah diplomasi bilateral, misalnya perjanjian, saling bertukar duta besar, dan kunjungan kenegaraan. Setelah Perang Dunia I berakhir, muncul kubu yang menolak diplomasi bilateral pertama kali. Saat itu, banyak politikus yang mengungkapkan bahwa sistem perjanjian internasional sebelum Perang Dunia I menyebabkan tidak terhindarkannya perang. Kondisi semacam ini melatarbelakangi pembentukan Liga Bangsa-Bangsa yang mengimplementasikan diplomasi secara multilateral.
b.      Diplomasi multilateral, pola kerjasama dan interaksi dengan hasil terikat dalam menghadapi sejumlah persoalan yang sama ataupun mendesak bagi beberapa negara terhadap aspek – aspek kehidupan internasional, yang didasarkan pada ide bahwa rezim kerjasama internasional dapat mengelola konflik kepentingan secara efektif, jika dapat mewakili konsensus secara luas dan berkelanjutan antara negara dalam sistem internasional. Robert Keohane mendefinisikan multilateralisme sebagai “The practice of coordinating national policies in groups of three or more states” yang mengindikasikan syarat terjadinya diplomasi secara multilateral adalah harus dilakukan oleh lebih dari dua negara.
c.       Diplomasi aliansi, pola diplomasi yang mengacu pada hubungan bilateral dan multilateral yang terjalin pada negara-negara yang saling terikat dalam hubungan aliansi. Hubungan diplomatik yang terjadi dalam pola diplomasi ini bisa terjalin antara dua negara atau lebih. Masing-masing negara yang tergabung di dalam aliansi tersebut memiliki tujuan dan kepentingan masing-masing yang mereka coba untuk realisasikan seperti dalam persekutuan aliansi. Diplomasi ini kemudian akan menjamin dan memperjuangkan kepentingan negara-negara yang termasuk dalam anggota aliansi tersebut. Hal ini sudah tentu terjadi dikarenakan tujuan dari dibentuknya aliansi adalah untuk mencapai tujuan bersama yang sudah disepakati, oleh karenanya wajar apabila negara yang beraliansi tersebut saling membantu rekan seperjuangannya.
d.      Diplomasi konferensi, yakni aktivitas berdiplomasi dimana pihak – pihak yang bersangkutan berkumpul dalam suatu konferensi untuk membahas sesuatu dan mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan konflik yang ada. Pola Diplomasi Konferensi ini dapat bersifat temporer maupun permanen. Pola ini merupakan pengembangan dari Pola Diplomasi Multilateral dimana diplomasi berjalan sebatas perjanjian antara lebih dari dua negara, sedangkan Pola Diplomasi Konferensi memiliki wadah yang resmi seperti PBB atau LBB. Diplomasi dalam pola ini berjalan lebih terbuka karena bersifat konferensi.
Selain pola-pola diplomasi, konsep kepentingan nasional dinilai penting karena kebijakan luar negeri suatu negara cenderung mengacu kepada nilai atau tujuan yang terdapat dalam kepentingan nasionalnya. Menurut Morgenthau, kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerja sama. (Mas'oed, 1990).
Berdasarkan pemikiran Morgenthau, dalam mendefinisikan kepentingan suatu negara terdapat dua jenis kepentingan, yakni kepentingan “nasional” dan kepentingan “internasional” (Rosenau, 1969). Kepentingan nasional terdiri dari enam jenis, yaitu Primary interest, Secondary interest, Permanent interest, Variable interest, General interest, dan Specific interest. Sedangkan kepentingan internasional terdiri atas tiga jenis, yaitu Identical interest, Complementary interest, dan Conflicting interest. Mengacu kepada spesifikasi keutamaan relatif tujuan serta kepentingan nasional berdasarkan pemikiran Neuchterlein, maka dapat diklasifikasikan ke dalam empat tingkat atau intensitas kepentingan (Snow & Brown, 2000), yakni survival interest, vital interest, major interest, dan peripheral interest.
Dalam konteks masalah yang dikaji dalam tulisan ini, pola diplomasi yang dijadikan acuan dalam menganalisa masalah adalah pola diplomasi bilateral dan diplomasi aliansi. Jepang dan Australia dalam hal ini memang bekerja sama dan mengadakan pertemuan untuk membahas penguatan kerja sama pertahanan dan keamanan secara bilateral, namun tidak bisa dipungkiri bahwa di belakang itu semua kedua negara ini merupakan negara yang saling beraliansi untuk mencapai tujuan bersama. Bahkan aliansi yang dilakukan merupakan aliansi triangular antara Jepang – Australia – AS, namun aliansi dengan AS tidak akan dipaparkan terlalu mendalam dalam makalah ini sebab fokus akan dititikberatkan pada kepentingan Jepang dalam menjalin aliansi politik dengan Australia.



3.      Studi Literatur
Penelitian mengenai Jepang dalam melakukan aliansi dengan negara lain pernah dilakukan sebelumnya oleh Epica Mustika Putro, mahasiswa pascasarjana HI Universitas Indonesia, dengan judul penelitian tesis “Dilema Aliansi: Peningkatan Kapabilitas Militer Jepang”. Penelitian Putro pada tahun 2012 ini membahas mengenai peningkatan kapabilitas militer Jepang di tengah berbagai pembatasan yang diberlakukan melalui konstitusi pasca perang Jepang. Peningkatan kapabilitas militer ditujukan untuk memenuhi kewajiban Jepang dalam aliansi dalam kerangka kerja sama. Penelitian kuantitatif tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kapabilitas militer Jepang disebabkan oleh dilema dalam aliansi dengan AS yang menyebabkan Jepang berada dalam posisi takut ditinggalkan karena ketergantungannya yang besar dalam aliansi. Sementara itu tulisan ini lebih menyorot pada aliansi Jepang dengan Australia dalam penguatan hubungan pertahanan dan keamanan dan bagaimana kepentingan Jepang dalam aliansinya dengan Australia.
Penelitian mengenai koalisi pertahanan dan keamanan Jepang – Australia tidak banyak dilakukan. Oleh karena itu tulisan ini bisa dikembangkan dengan lebih komprehensif untuk mengisi gap literatur yang ada.

4.      Kerja Sama Jepang dan Australia di Bidang Pertahanan dan Keamanan
Pada bulan Maret 2007, perdana menteri kedua negara menandatangani Deklarasi Bersama Kerja sama Keamanan Jepang-Australia. Pada bulan Desember 2008, Nota Kerjasama Pertahanan ditandatangani pada tingkat menteri pertahanan, yang 'mengakui pematangan bertahap hubungan pertahanan dari satu berdasarkan dialog untuk satu berdasarkan kerjasama praktis’. Sejak diumumkannya deklarasi bersama dalam bidang kerja sama pertahanan dan keamanan pada Maret 2007 silam, kerjasama Jepang dan Australia telah berkembang pesat. Selain kunjungan yang frekuentif antara Jepang dan Australia, dua negara ini juga telah mengadakan latihan militer reguler untuk mengembangkan interoperabilitas antara Japan Self Defense Force (JSDF) dan  Australian Defense Force (ADF)[7].
Pada April 2014, Canberra dan Tokyo mencapai kesepakatan pada untuk meningkatkan hubungan dagang dan pertahanan, termasuk pembangunan bersama peralatan pertahanan, yang berarti meningkatkan hubungan kedua negara pada level yang baru[8]. Abbott mengatakan kepada radio Australia bahwa ia tidak memihak dalam sengketa wilayah antara China dengan negara-negara lain, dan peningkatan hubungan dengan Jepang tidak menyasar pada pihak mana pun. Tercatat sudah ada kerjasama yang tinggi di bidang pertahanan antara Australia dengan Jepang yang terlibat percekcokan perbatasan dengan China.
Pasukan keamanan Australia dan Jepang mengadakan latihan bersama dan Jepang sebelumnya juga membeli dari Australia sejumlah peralatan pertahanan termasuk kendaraan lapis baja infanteri Bushmaster. Hal ini dilakukan agar dapat menjalankan operasi militer bersama, lebih banyak latihan militer bersama dan juga seiring waktu ingin melihat lebih banyak kerjasama penting di bidang intelijen.
Jepang dan Australia juga pada 7 April 2014 mengumumkan kesepakatan perdagangan bebas, yang terbilang mengejutkan karena Jepang tergolong negara yang amat melindungi pasar. Perlu dicatat bahwa kesepakatan perjanjian perdagangan bebas ini dilakukan bersamaan dengan kesepakatan keamanan dan pembangunan peralatan pertahanan. Sehingga antara Jepang dan Australia sudah ada kerjasama tingkat tinggi di bidang pertahanan, yang memberikan kepercayaan diri Jepang yang bersengketa dengan China perihal wilayah teritorial .
Hubungan kerjasama Australia dan Jepang dalam bidang pertahanan tidak berhenti sampai di situ, melainkan semakin erat hingga tahun 2015. Pemerintahan Abe Shinzo mengharapkan hubungan kerja sama yang lebih dekat dengan aliansi AS seperti Australia sebagai elemen utama dari prinsip dari strategi keamaan nasional yang ingin memiliki kontribusi perdamaian yang proaktif berdasarkan kerja sama internasional.
Pada 22 November 2015 lalu, diselenggarakan Japan-Australia 2+2[9] Foreign and Defense Ministerial Consultation di Sidney, Australia. Pertemuan ini sekaligus menunjukkan bahwa hubungan antara Jepang dan Australia dianggap sebagai kerja sama strategis yang spesial yang dibangun berdasarkan nilai dan strategic interest (seperti isu HAM, demokrasi, pasar dan perdagangan) yang sama antara kedua negara. Perundingan 2+2 ini merupakan sebuah upaya yang lebih mantap dalam menginstitusionalisasi kerja sama pertahanan bilateral, seperti persetujuan untuk memfasilitasi operasi gabungan, training dan latihan. Pertemuan ini juga melaporkan beberapa isu keamanan yang perlu didalami; laut China selatan, Korea Utara dan terorisme[10].
Pada pertemuan 2+2 itu, Mentri luar negeri Australia, Julie Bishop dan Mentri Pertahanan Australia, Marise Payne bertemu dengan Fumio Kishida selaku Mentri luar negeri Jepang dan Gen Nakatani selaku Mentri Pertahanan. Dalam pertemuan itu para mentri membahas banyak hal berkenaan dengan isu keamanan global, diantaranya adalah pentingnya usaha pencegahan terorisme seperti Global Coalition dan Counter Islamic State of Iraq and Levant (ISIL), mengingat terorisme kembali terjadi di Paris beberapa waktu sebelumnya. Jepang dan Australia juga menyediakan bantuan kemanusiaan pada Irak dan Syria[11].
Ke empat menteri menyadari hubungan antar negara menjadi lebih kuat sejak lawatan PM Abe Shinzo pada 2014 yang menandai bermulanya special strategic partnership antara Australia dan Jepang berdasarkan nilai-nilai dan strategic interest bersama yang meliputi demokrasi, HAM, aturan hukum, pasar, dan perdagangan bebas. Pencapaian kerjasama pertahanan bilateral merupakan prioritas bagi kedua negara. Menteri menyambut baik perkembangan yang telah dibuat yang bisa meningkatkan hubungan pertahanan dan keamanan ke tingkat yang baru. Adapun rekomendasi untuk mengupayakan training, latihan, meningkatkan pertukaran personel, memperdalam kerjasama dalam bantuan kemanusiaan dan pemulihan bencana, keamanan maritim, perdamaian, pembangunan kapasitas dan mengupayakan kerja sama pertahanan trilateral dengan AS. Para Menteri pun mengidentifikasi kesepakatan pertahanan bilateral yang lebih matang untuk memperkuat kerja sama ini.
Jepang juga sudah berkomitmen untuk memenuhi syarat dalam competitive Evaluation Process untuk memilih partner internasional dalam penyaluran Australia Future’s Submarine. Kedua negara juga bertekad untuk empromosikan ‘rule of law at sea’. Mereka menyatakan perlawanan atas segala macam tindakan koersif dan tindakan sepihak yang melanggengkan status quo Laut China Selatan[12].

5.      Kebijakan Jepang dan Australia Terhadap Pembangunan Tatanan Regional
Untuk membangun tatanan regional dan mengerdilkan pengaruh China di kawasan, Jepang dan Australia telah mengambil beberapa kebijakan, yakni:
·         Penguatan kerja sama keamanan antara Jepang dan Australia demi membangun dan memelihara sebuah tatanan yang inklusif dan liberal berdasarkan interest dan nilai yang telah disepakati bersama serta mendukung kebijakan “rebalancing” AS terhadap Asia yang amat penting untuk dijalankan.
Selama bertahun-tahun, Jepang dan Australia telah menjadi kontributor utama dalam pengembangan tatanan internasional liberal berdasarkan institusi, norma dan nilai-nilai seperti HAM, demokrasi dan aturan hukum. Jepang dan Australia telah bekerja bersama-sama dalam membangun sistem keamanan regional yang inklusif dan terbuka berdasarkan sentralitas ASEAN. Peran ini dalam demokrasi regional telah menjadi sangat penting dalam beberapa tahun terakhir sejak AS menyerukan “burden-sharing” atau pembagian beban/tugas pada partner-partner dan sekutunya yang berkontribusi pada kredibilitas dan sustainabilitas komitmen AS di Asia Pasifik. 
·         Mencegah provokasi China sambil membatasi China dalam jaringan lembaga, aturan dan norma regional sebagai tujuan strategis jangka panjang.
Seperti yang telah disebutkan pada subbab sebelumnya, Jepang dan Australia memiliki persepsi berbeda mengenai China. Jepang memiliki sentimen negatif yang amat besar terhadap China sementara Australia menganggap China sebagai mitra yang justru amat penting. Meskipun begitu, Jepang dan Australia tetap memiliki common interest untuk mengintegrasikan China ke dalam tatanan regional yang inklusif dan liberal sebagai tujuan strategis jangka panjang. Hal ini harus dilakukan oleh Jepang dan Australia mengingat mereka harus segera mewujudkan ketahanan pembangunan institusi, pembangunan kapasitas dan nilai-nilai (demokrasi, ham dan aturan hukum) di kawasan regional sehingga hal tersebut dapat mengakomodir kebangkitan dan pengaruh China. 
·         Memperluas kerja sama untuk pembangunan tatanan regional ke regional “middle power” yang lain seperti Korea Selatan dan India.
Jepang dan Australia sebagai aliansi AS harus menjalankan perluasan kerja sama karena pembangunan tatanan regional tidak bisa dilakukan oleh AS, Jepang dan Australia saja. Demokrasi yang ada di kawasan lain, seperti Korea Selatan dan India malah memiliki lebih banyak keuntungan dari tatanan regional yang stabil dan inklusif sehingga tidak ada alasan bagi negara-negara tersebut untuk meragukan pembangunan tatanan regional dengan para ‘like minded countries’. Dengan mewujudkan koalisi negara-negara middle power, perwujudan kerja sama antara negara-negara yang terlibat bisa dicapai dengan lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dengan lebih efisien.

Meskipun Jepang dan Australia telah memiliki kebijakan untuk mempererat kerja sama pertahanan dan keamanan serta membendung pengaruh China di kawasan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali.
Keterpurukan hubungan Jepang dan China, mendorong Australia dan beberapa partner regional lain ke dalam posisi yang sulit. Sama halnya dengan pada saat Australia atau AS yang menetapkan perubahan kebijakannya terhadap China tanpa adanya konsultasi terlebih dahulu dengan Jepang. Oleh sebab itu dalam kerja sama ini, terutama dalam perundingan ‘2+2’ pembicaraan mengenai kebijakan dan perubahan kebijakan sekecil apapun mustinya sangat diperhatikan dan amat penting untuk dikomunikasikan satu sama lain.
Poin kedua yang perlu diperhatikan oleh Jepang adalah bekerja sama dengan Australia untuk meningkatkan keterlibatan dalam hal pertahanan di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan, terutama dalam membangun kapasitas maritim di bawah pengawasan dan penegakan hukum. Demi melindungi kebebasan navigasi dan keamanan maritim, maka penting bagi Jepang dan Australia memperkuat kapasitas negara-negara regional untuk menanggapi insiden tak terduga di laut. Misalnya, mengkoordinasikan kebijakan terhadap pembangunan kapasitas maritim di asia tenggara dengan bersama-sama membantu pelatihan dalam penegakan hukum maritim dan memperkuat pengawasan maritim dan kapabilitas garda pesisir. Jepang juga bisa berkontribusi dengan program Australia’s Pacific Patroli Boat dalam pelatihan, pendanaan dan pembangunan infrastruktur dengan partner-partner lain yang berkepentingan seperti AS, Selandia Baru dan Perancis.
Jepang dan Australia juga perlu menyokong kesatuan dan sentralitas ASEAN sebagai salah satu pondasi pola keamanan regional yang terbuka dan inklusif. Oleh karena itulah diperlukan adanya revitalisasi mekanisme sekuritas ASEAN. Hubungan kerja sama Jepang dan Australia dapat lebih memperkuat komunitas ASEAN 2015 dengan terlibat dalam mekanisme institusional ASEAN secara aktif seperti ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN Defense Ministerial’s Meeting (ADMM) Plus dan East Asia Summit.
Kedua negara dapat mempromosikan aturan berbasis tatanan internasional dengan memperkuat norma-norma, seperti resolusi damai sengketa teritorial dan penolakan perubahan sepihak status quo dengan kekerasan, menghormati hukum laut dan hak untuk mengamankan kebebasan navigasi. Dialog keamanan multilateral dapat menjadi salah satu jalan untk mendiskusikan strategi dalam membentuk aturan dan norma internasional. Salah satu cara lain adalah dengan saling bertukar opini terlebih dahulu antara para menteri pertahanan Jepang dan Australia sebelum mengkoordinasikan strategi dalam dialog.
Penting bagi Jepang dan Australia untuk menyebarkan nilai nilai universal yang meliputi HAM, dan aturan hukum di Asia Pasifik sekaligus meyakinkan bahwa nilai-nilai tersebut mengakar di kawasan. Untuk itu, Jepang dan Australia dapat ikut mendukung good governance, pembangunan institusi dan aturan hukum di negara-negara berkembang Asia Tenggara dan Pasifik Selatan. Bersamaan dengan itu mencari cara untuk mencapai ‘middle power coalition’ bisa dilakukan sehingga Jepang dan Australia dapat ikut berkembang bersama negara-negara seperti Korea Selatan atau India. Akan tetapi, pandangan sebagai pihak yang anti-China harus dihindari dengan lebih berfokus pada hal-hal yang sifatnya mempererat dan menyeimbangkan kooperasi antar negara sebab semakin ‘middle power’ berfokus pada China, pembangunan kerja sama akan lebih sulit terwujud. Oleh karena itu, koalisi middle power bisa dimulai lebih efektif dengan bentuk-bentuk usaha kerja sama regional.

6.      China Gap antara Jepang dan Australia
Struktur kekuatan yang berpengaruh di kawasan Asia Pasifik pasca Perang Dingin sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang bermain di level global. Konfigurasi struktur kekuatan global diklaim oleh Huntington sebagai the lonely super power vis a vis multiple power, dimana AS sebagai satu-satunya unit dalam power structure sepeninggal Uni Soviet pada awal tahun 1990an berhadapan dengan kebangkitan kekuatan-kekuatan baru seperti Uni Eropa, Rusia, China dan Jepang (Huntington, 1999).
Terlepas dari AS sendiri, makalah ini mencoba berfokus pada kepentingan Jepang untuk memperkuat kerja sama pertahanan dan keamanan dengan Australia. Sehubungan dengan China sebagai isu sentral atas defense and security partnership, penting bagi penulis untuk memaparkan posisi China bagi Jepang dan Australia.
Di antara major powers di Asia, posisi China kerap kali dipandang sebagai sebuan ancaman bagi AS yang menyandang gelar sebagai negara adidaya dan bagi beberapa negara multiple power lain (Perlez, 2006). Munculnya China sebagai kekuatan global baru menjadi perhatian serius AS dan sekutu-sekutunya di Asia Pasifik dan Eropa. Banyak pihak yang melihat para pemimpin China  berusaha menggunakan pengaruh ekonomi dan politik untuk menghalangi dan menghambar pergerakan AS di Asia sebagai upaya menggantikan posisi AS di wilayah Asia dan memainkan peran lebih lanjut di level global. Pandangan seperti ini tampaknya sangat berpengaruh pada para pembuat keputusan di AS. Sikap curiga terhadap munculnya China ini telah mendorong AS untuk mengundang partner-partner aliansinya, terutama Jepang dan Australia, untuk melakukan strategi Containment.
Kehadiran Jepang dan Australia, dipandang sebagai strategi untuk ‘mengkerdilkan’ peran China. Sementara, peran China yang semakin meningkat di kawasan ini juga dicurigai sebagai upaya meminggirkan peran AS di kawasan ini. Dalam jangka waktu yang sangat dekat, China akan mengintensifkan perannya di kawasan ini dengan pendekatan geoekonomi melalui kerjasama bilateral dengan negara-negara kawasan maupun melalui lembaga-lembaga regional dan transregional. China akan terus melakukan akselarasi untuk memenuhi prioritas ­prioritas politik luar negeri yang selama ini belum berhasil untuk mencapai kepentingan-kepentingan vitalnya.
Langkah China akan memperlebar gap kepentingan antara major powers dan multiple power. Kegagalan dalarn mempertemukan kepentingan-kepentingan vital di antara major powers dan multiple powers, serta peningkatan persaingan di antara major powers tampaknya akan mendominasi struktur politik regional di Asia Pasifik. Lingkungan regional akan menjadi tidak menentu. Kekuatan baru muncul sebagai dominant power, kekuatan-kekuatan lain (Jepang, Rusia, India) memperkuat aliansi dengan AS untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Ketidakpastian menyikapi intensi dan ambisi China akan tetap menjadi isu sentral bagi para pembuat keputusan di AS dan partner-partner aliansinya di Asia Pasifik.
Walaupun Jepang dan Australia memiliki beberapa prinsip-prinsip penting yang diupayakan untuk diwujudkan bersama - sama-sama berkontribusi terhadap resolusi perdamaian dari konflik-konflik internasional dan kebebasan dalam bernavigasi dalam domain maritim dan domain udara -  kedua negara ini memiliki persepsi yang berbeda terhadap China.
Seperti yang sudah diketahui, Jepang merupakan negara yang menganggap China sebagai negara rival yang pengaruhnya di kawasan harus diredam dengan berbagai upaya. Sejak tahun 2013, secara akurat Abe mengusulkan agar Jepang memperluas kerjasama dengan India di bidang ekonomi dan pertahanan. Ia ingin agar kedua negara memikul tanggungjawab sebagai penjaga kebebasan antara samudera Hindia dan Pasifik. Abe merujuk pada perkembangan terakhir, bahwa China terus membangun kekuatan maritimnya. Abe mencari mitra yang juga saling berbagi sikap skeptis terhadap China di antara negara anggota ASEAN. Bersama negara-negara ASEAN, Jepang akan mengkampanyekan wacana kebebasan, demokrasi dan HAM - tiga syarat yang tidak mungkin dipenuhi oleh China – karena Jepang ingin mengajak ASEAN melindungi masa depan negara hukum di kawasan. Tidak hanya itu hubungan antara China dan Jepang, yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia, telah terganggu dalam beberapa tahun terakhir oleh sengketa Laut China Timur.
Citra China di mata bangsa Jepang pun tidak cukup baik. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh The Genron NPO dan China Daily membuktikan bahwa terjadi dinamika prosentase citra China di mata bangsa Jepang dalam berbagai macam hal mulai dari tahu 2013 hingga tahun 2014. Berikut adalah grafik dari hasil polling yang dilakukan oleh The Genron NPO dan China Daily.




Grafik 1. Opini dan sentimen negatif publik di Jepang terhadap China
Dari grafik tersebut, tampak bahwa sentimen Jepang terhadap China paling tinggi dikarenakan alasan historis yang kerap diungkit dan dikritisi China, pelrindungan sumber daya dan energi oleh China, konfrontasi pulau Senkaku, dan sikap China yang dianggap tidak sesuai dengan aturan internasional. Tidak hanya itu, media China yang anti-Jepang pun menjadi salah satu sentimen negatif Jepang terhadap China dengan persentase mencapai 41,1% pada 2014.
Sebaliknya, China pun memiliki sentimen negatif terhadap Jepang dengan beberapa alasan. Berikut adalah grafik dari hasil survey publik oleh The Genron NPO dan China Daily.

Grafik 2. Opini dan sentimen negatif publik di China terhadap Jepang

Sentimen China terhadap Jepang rupanya lebih tinggi pada tahu 2013 daripada tahun 2014 dengan alasan bahwa Jepang tidak meminta maaf dengan sepantasnya pada China perihal invasi Jepang di masa lalu, konfrontasi pulai Senkaku/Diaoyu serta kerja sama Jepang dengan AS untuk menekan militer, ekonomi dan ideologi China. Namun, sentimen bangsa China justru meningkat di tahun 2014 pada beberapa alasan lain seperti arogansi Jepang, nasionalisme bangsa Jepang dan lain-lain.
Sementara itu, Australia yang melihat AS sebagai “great friend and ally“, melihat China sebagai “Great friend and partner”. Hal ini menempatkan Australia  di posisi yang sulit. Rudd menyatakan,
to shift Australia’s approach from fear of China to one of friendly relations ; to deal with China on its own merits and not just as part of the East-West confrontation ; to see China as an apportunity rather than as a threat ; to recognize China as a potential great power; and to encourage China to participate as an equal and co-operative member of the international society” (Harris 1995:129)
Ada alasan mengapa hubungan yang bersifat amity dengan China perlu dikembangkan. Australia dan China merupakan partner dagang yang cukup besar dengan posisi China sebagai pemain utama dalam perekonomian Australia. China merupakan partner impor terbesar dan partner ekspor kedua terbesar bagi Australia. Bagi China, Australia dipandang sebagai negara penting dalam hal pemasok mineral yang dalam beberapa tahun belakangan menaikkan perekonomian Australia. Di Australia ini dikenal dengan Mineral’s Boom atau the Chinese Mineral Boom.
Situasi politik antara China dan Jepang yang muram juga membawa Australia pada situasi yang dilematis. Apalagi, China dan Jepang, termasuk Korea Selatan, terlibat sengketa Laut China Timur.  Sementara itu, Australia pernah menyatakan akan membantu proses perdamaian di dunia. Salah satunya mengenai penyelesaian sengketa Laut China Timur yang dialami Jepang. Mereka juga ingin memperbesar kapasitas untuk marinir. Dorongan itu dipicu oleh peningkatan hubungan kerja sama militer antara Australia dan Jepang. Di sisi lain, China dan Australia menyepakati peningkatan hubungan kerja sama militer seusai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G- 20 di Brisbane, Australia, pada November 2014. Saat itu Presiden Xi Jinping tidak hanya membahas mengenai kerja sama ekonomi, melainkan juga mengenai kerja sama militer. Wakil Kepala Komisi Militer Pusat China Fan Changlong menyambut baik hubungan kerja sama militer ini sebagai bentuk kepercayaan politik tingkat tinggi antara Australia dan China sebab hubungan militer akan selalu menempa bagian penting dalam hubungan bilateral.
China juga bisa dengan leluasa berlatih dan melakukan latihan gabungan dengan Australia. Hubungan antara China dan Australia sangat erat. Kedua negara saling bahu membahu dalam misi pencarian Maskapai Penerbangan Malaysia, MH370, yang diduga hilang di Samudera Pasifik. China dan Australia juga bekerja sama menjaga perdamaian, mengampanyekan antiterorisme, melakukan latihan gabungan, dan tukar pelajar. Sehingga kesuksesan kerja sama tersebut membuat China semakin memiliki nilai, terutama dalam menarik negara sahabat dalam menjalin hubungan kerja sama militer. Australia juga mengakui China merupakan mitra yang penting. 
China gap tidak hanya muncul antara hubungan bilateral Jepang-Australia saja namun dengan negara-negara partner lain seperti Korea Selatan dan India. Sayangnya, sikap Jepang yang asertif dalam menanggapi the rise of China sebenarnya ikut memperburuk hubungan Australia dan China. Selain itu, muncul pula perkiraan yang buruk jika ketegangan ini berlarut-larut, yakni terjadi perpecahan di Asia menjadi blok-blok bersenjata yang saling bermusuhan dan menyerang. Australia pun bisa saja harus memilik keberpihakannya kepada AS yang ‘membacking’ Jepang atau memihak China.

1.      Kepentingan Jepang Melakukan Koalisi dengan Australia
Adanya China Gap dalam hubungan antara Jepang dengan Australia banyak menimbulkan pertanyaan mengapa Jepang, yang memiliki sentimen negatif terhadap China membangun koalisi untuk membendung pengaruh dan ancaman China bersama dengan Australia yang justru menganggap China sebagai mitra penting.
1.1  Faktor China
Orientasi kerja sama pertahanan Jepang dengan Australia tentunya sangat ditentukan oleh kepentingan nasionalnya, yang dalam pelaksanaannya mempun­yai kemungkinan akan mempengaruhi perkembangan politik di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Dari segi kepentingan Jepang, terdapat beberapa penilaian yang mengidentifikasi beberapa masalah sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional Jepang, yang dapat dibagi dalam dua kelompok persoalan, (1)  krisis yang setiap saat dapat muncul di semenanjung Korea, keamanan di Selat Taiwan dan ketidakpastian tingkat hubungan antara RRC dengan Rusia, (2) wilayah laut yang rawan di Asia Tenggara dan di Asia Timur yang meru­pakan jalur laut vital bagi kehidupan perekonomian Jepang.
Semakin luasnya peran yang dapat dijalankan oleh kekuatan militer Jepang tampaknya tidak hanya terbatas akan mempengaruhi perkembangan sengketa di Laut China Timur tetapi juga persoalan lainnya yang menjadi kepentingan negara-negara tetangga Jepang di kawasan Asia Tenggara. Sejauh mana kerja sama keamanan antara Jepang dengan negara tetangga lainnya di kawasan, seperti Filipina, Vietnam, dan Australia akan tergantung pada kesamaan persepsi mereka mengenai China sebagai sumber ancaman. Perilaku China dalam mengelola persoalan sengketa Laut China dan rendahnya transparansi pengembangan kekuatan militernya akan menentukan bagaimana hubungan kerja sama Jepang dengan negara-negara ASEAN akan berkembang. Dengan meningkatnya asertivitas China, maka bukan tidak mungkin kerja sama keamanan akan terus meningkat, tidak terbatas pada pertukaran informasi intelijen namun dapat mencapai collective self defense sebagaimana terjadi antara Jepang dan AS, atau berupa kerja sama triangular. Negara Asia Tenggara yang bersengketa dengan Beijing di Laut China Selatan dan memiliki ketimpangan kekuatan militer yang begitu besar, seperti Vietnam, sangat berpotensi untuk meningkatkan kerja sama keamanan dengan Jepang. Jika ini terjadi, pada perimbangan kekuatan di kawasan dan menciptakan kawasan yang lebih multipolar, meskipun Jepang masih membutuhkan waktu untuk membangun kekuatan militernya agar mampu memberikan jaminan keamanan bagi negara-negara tersebut.
1.2  Strategi ‘Rebalancing’  AS di Asia
AS sebagai negara adidaya memiliki kepentingan yang amat besar di Asia. Hill (2005) menyatakan bahwa Asia Timur penting untuk AS baik alasan-alasan ekonomi maupun alasan-alasan politik dan keamanan[1]. Sementara itu posisi China secara politik maupun ekonomi membuat AS terancam. Untuk itu dengan pertimbangan geopolitik dan dalam upaya menanamkan pengaruhnya, maka AS memandang perlunya peningkatan kerjasama dengan aliansinya di Asia Timur. AS membutuhkan sebuah konfigurasi power dimana negara berusaha mempertahankan kelangsungan hidup serta menciptakan peluang untuk memajukan kepentingan nasionalnya dengan menggabungkan power yang dimiliki terhadap satu atau lebih negara lain yang memiliki kepentingan serupa. Pola aliansi merupakan keputusan untuk mengubah atau mempertahankan equilibrium lokal, regional, atau global. Tindakan demikian biasanya diikuti oleh pihak negara lain dengan tindakan serupa. Dalam hal ini, negara di kawasan Asia yang beraliansi dengan AS adalah Jepang.   
Pembagian beban yang lebih seimbang telah sejak lama menjadi tuntutan AS terhadap Jepang. Meskipun pemerintahan Obama menjalankan strategi rebalancing di kawasan militernya, Jepang berusaha meyakinkan AS bahwa mereka merupakan sekutu penting dan mampu merespons tuntutan AS. Hal ini menjadi penting mengingat Jepang memiliki kekhawatiran akan melemahnya komitmen AS terhadap keamanan Jepang akibat adanya peningkatan hubungan ekonomi AS-China. Beban yang lebih seimbang di antara dua negara sekutu ini, AS-Jepang, akan sangat mempengaruhi perimbangan bagaimana Jepang dan AS akan mengelola persoalan Laut China Timur dan persoalan lainnya yang menyangkut kepentingan kedua negara.
Perlu diingat bahwa perubahan interpretasi atas konstitusi Jepang pada 1 Juli 2014 telah memperluas hak mempertahankan diri Jepang sehingga memungkinkan militer Jepang untuk menjalankan tindakan-tindakan yang selama ini dilarang berdasarkan Pasal 9 Konstitusi Jepang. Dengan reinterpretasi ini, kekuatan militer Jepang akan dimungkinkan untuk terlibat mempertahankan sekutu yang sedang diserang. Reinterpretasi ini juga memungkinkan Jepang untuk berperan lebih besar dalam aliansinya dengan AS yang selama ini sangat terbatas.
Peran Jepang untuk ikut menjaga keamanan kawasan Asia Pasifik menjadi semakin nyata dengan membangun koalisi pertahanan dan keamanan dengan Australia yang juga merupakan aliansi AS yang cukup dekat.

1.3  Motif Politik: Pembangunan Kembali Image Jepang  
Seperti yang telah disebutkan, Australia merupakan negara yang juga aliansi AS. Berkoalisi dengan negara sesama aliansi AS merupakan cara untuk mengembalikan kepercayaan diri Jepang akan kekuatan aliansinya serta meningkatkan keyakinan akan keberhasilan mencapai tujuan bersama, terutama dalam menghalau ancaman dan pengaruh China.
Bersama Australia, Jepang menanamkan nilai-nilai demokrasi, HAM, keamanan laut dan lain-lain, sebagai usaha membendung pengaruh ideologi sosialis-komunis yang diusung oleh China. Hal ini dilakukan Jepang agar negara-negara Asia Tenggara tidak terpengaruh oleh nilai-nilai yang dibawa oleh China sebab Asia Tenggara merupakan sumber-sumber bahan mentah bagi industri Jepang serta basis pasar komoditas Jepang.
Selain itu, hal lain yang cukup krusial untuk disorot sebagai motif politik Jepang adalah pembangunan kembali image Jepang di kawasan Asia Pasifik. Jepang yang sedari awal ingin menjadi bagian dari komunitas internasional yang mewujudkan perdamaian di laut jelas mendapat keuntungan dari bekerja sama dengan Australia dalam pembangunan kapal selam. Dengan begitu, Jepang akan dinilai sebagai sekutu potensial bagi sejumlah negara di kawasan, seperti Filipina atau Australia yang juga memiliki kesepakatan keamanan dengan AS. Negara-negara Asia Tenggara yang memiliki persoalan dengan China, seperti Vietnam, akan sangat mungkin untuk mengembangkan kerja sama keamanan dengan Jepang.
Tidak hanya mengamankan kawasan Asia Pasifik, seperti yang telah dipaparkan pada bagian isi perundingan 2+2, Jepang dan Australia juga menyoroti kemanan dunia meliputi terorisme dan perang di Irak dan Syria. Dari situ, Jepang dan Australia sepakat untuk terlibat dalam counter terrorism. Hal ini merupakan bentuk dari usaha Jepang untuk membangun image di mata internasional sebagai negara yang ikut berperan aktif dalam perdamaian dan keamanan dunia. Dengan image yang baik di kancah internasional, Jepang bisa memulihkan kepercayaan dirinya ketika menghadapi persaingan dengan China.

Kemudian, berbicara mengenai China, dalam wawancara yang dilakukan oleh salah satu media masa Australia kepada menteri luar negeri Jepang, Fumio Kishida, Kishida menyatakan bahwa dengan melindungi pasar dari kekuatan ekonomi China, Jepang memiliki target bekerja sama dengan Australia dalam pendistribusian ekspor Australia ke area regional dengan menggunakan teknologi transportasi Jepang. Selain itu, Kishida menambahkan bahwa dalam pembicaraan ‘2+2’ yang lalu, Jepang juga mengharapkan kedatangan turis dari Australia ke Jepang dan mempromosikan Jepang sebagai tujuan wisata[2].
Jepang yang terkenal sebagai negara penghasil dan negara yang banyak mengekspor teknologinya, jelas mendapat keuntungan dalam kerja sama pertahanan dan keamanan dengan Australia yang justru memiliki potensi pada SDA. Sehingga terjadi simbiosis dimana Jepang dapat mengekspor hasil teknologinya ke Australia sehubungan dengan kepentingan militer atau spionase sekaligus mendapatkan SDA untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain. Pada 2012, Jepang sempat memperoleh keuntungan pada saat dimulainya sebuah proyek gas bernilai 35,3 milyar dolar Amerika di kota Darwin. Proyek gas tersebut digunakan untuk kepentingan bersama Jepang dan Australia, khususnya dalam bidang energ i[3].

2.      Kesimpulan
Usaha pendalaman hubungan kerja sama keamanan Jepang dan Australia nampaknya memang cocok untuk disebut sebagai ‘special relationship’ seperti yang disebutkan oleh para politisi dari kedua negara. Status kedua negara sebagai aliansi AS membuat kedua negara ini semakin mempererat hubungan dalam mencapai tujuan bersama di regional dengan menumbuhkan simbiosis mutualisme.
Walaupun Jepang dan Australia memiliki persepsi berbeda terhadap keberadaan China, dari paparan-paparan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa keterlibatan Australia dalam membendung ancaman dan pergerakan China di kawasan lebih condong karena faktor status Australia sendiri sebagai sekutu AS yang harus mewujudkan misi AS untuk menciptakan regional Asia yang stabil agar kedudukan AS bisa bermain dengan leluasa tanpa merasakan ancaman yang berarti dari China yang menguat baik di bidang militer, politik ataupun ekonomi.
Selain itu, ada hubungan dari tiga faktor besar yang melatar belakangi kepentingan Jepang berkoalisi dengan Australia di bidang pertahanan dan keamanan untuk melindungi Asia Pasifik, yakni:

Bagan di atas merepresentasikan kepentingan Jepang dalam membangun koalisi pertahanan dan keamanan dengan Australia di Asia Pasifik. Jepang sebagai aliansi AS menjalankan burden sharing bersama Australia untuk menguatkan keamanan di Asia Pasifik. Penguatan keamaanan di Asia Pasifik ini dilandasi oleh adanya kebangkitan China yang membuat AS merasa powernya di Asia Pasifik terancam. Selain itu, Jepang sendiri juga memiliki sentimen negatif terhadap China dan selalu merasa terancam secara militer maupun secara kedaulatan. Dengan berkoalisi dengan Australia dalam menguatkan keamanan Asia Pasifik, faktor China di kawasan Asia Pasifik akan digeser. Jepang dan Australia juga menanamkan nilai-nilai HAM, demokrasi, (yang tidak dimiliki oleh China) di Asia Pasifik, untuk membendung pengaruh China.
Sementara itu, kepentingan nasional Jepang di Asia Pasifik juga berusaha diraih bersamaan dengan penguatan pertahanan dan keamanan dengan Australia ini yakni dalam bidang politik dan ekonomi. Pembangunan image di Asia Pasifik dan internasional juga menjadi salah satu kepentingan Jepang sebagai salah satu cara untuk membangkitkan kepercayaan diri dalam menghadapi the rise of China.
Ketakutan Jepang akan ancaman China tampak pada kebijakan-kebijakan yang diambil bersama Australia. Namun pelaksanaan kebijakan tersebut masih perlu diperhatikan lagi, terutama pada poin-poin yang telah disebutkan mencakup perluasan kerja sama, berkoalisi dengan negara middle power, berunding dengan China, memantau China di kawasan dan pengendalian sikap anti-China, dst.

DAFTAR PUSTAKA

----- Australia, Jepang menarik manfaat dari proyek gas milyaran dolar dalam http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2012-05-19/australia-jepang-menarik-manfaat-dari-proyek-gas-milyaran-dolar/946702

----- Japan links subs to regional stability dalam surat kabar The Australian, interview dengan Fumio Kishida dapat diakses di <theaustralian.com.au>

Brian White, Diplomacy, dalam John Baylis dan Steve Smith, The Globalization of World Politics: An Introduction to International Politics.
Bruce Vaughn, U.S. Strategic and Defense Relationships in The Asia- Pacific Region, CRS Report for Congress, 22 Januari 2007
Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi antara Teori dan Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Harris, Stuart. 1995. The role of China in Australia’s regional Security environment.
Hill, Christopher R. 2005. “Emergence of China in the Asia-Pacific Economic and Security Consequences for the US” 7 Juni 2005. diambil dari http://foreign.senate.gov/testimony/2005/HillTestimony050607.Pdf
Huntington, Samuel. The lonely superpower. Foreign Affairs Vol. 78 No. 2 Maret / April 1999, hal 35-49
Kahler, Miles. 1991 “Multilateralism with Small and Large Numbers.”
Keohane, Robert O. 1990.“Multilateralism: An Agenda for Research”.
Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES.
Paul, T.V., James J. Wirtz, and Michel Fortmann. 2004. Balance of Power: Theory and Practice in the 21st Century. California: Stanford University Press.
Perlez, Jane. ‘China’s Role Emerges as Major Issue for Southeast Asia’ The New York Times, 14 Maret 2006, http://www.nytimes.com/2006/03/14rice.html?ex=12992400&en=a5a92b09381ed=50888partner=rssny&emc=rss&pagewanted=all.
Robert Ayson, Kevin Rudd and Asia’s Security, Japan Focus http://www.japanfocus.org/products/topdf/2591
Roy, S.L. 1998. Diplomasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Snow, Donald M and Eugene Brown. 2000. International Relations: The Changing Contours of Power. New York: Addison Wesley Longman, Inc.
Watson, Adam. Diplomacy: The Dialogue Between States.




[1] Hill, Christopher R. 2005. “Emergence of China in the Asia-Pacific Economic and Security Consequences for the US” 7 Juni 2005.
Accesed from <http://foreign.senate.gov/testimony/2005/HillTestimony050607.Pdf>

[2] “Japan links subs to regional stability” dalam surat kabar The Australian, interview dengan Fumio Kishida dapat diakses di <theaustralian.com.au>
[3] Australia, Jepang menarik manfaat dari proyek gas milyaran dollar dalam <http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2012-05-19/australia-jepang-menarik-manfaat-dari-proyek-gas-milyaran-dolar/946702>


[1] Diplomatic bluebook for 1975Review of Recent Development in Japan’s Foreign Relations yang dikeluarkan pada Desember 1976 oleh Public Information Bureau Kementerian Hubungan Luar Negeri Jepang. Chapter 2. Diplomatic Efforts Made by Japan. Section 1. Promotion of Relations with Other Countries. Digital version http://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/1975/1975-contents.htm#CONTENTS
[2] Jain, ‘Japan-Australia Security Ties and the United States’, pp. 521-5.
[3] Amy King, ‘Australia and Northeast Asia’, in Peter Dean, Stephan Frühling and Brendan Taylor (eds.), Australia’s Defence: towards a new era?, Melbourne University Publishing: Melbourne, 2014, p. 97.
[4] Abe, Shinzo. “Japan and NATO as ‘Natural Partners.’” Delivered May 6, 2014. Japan. Prime Minister and His Cabinet. http://japan.kantei.go.jp/96_abe/statement/201405/nato.html; Japan. MOFA. “Joint Exercise in Counter Piracy Activities between Japan and NATO.” September 26, 2014. http://www.mofa.go.jp/press/release/ press4e_000438.html; NATO. Allied Command Operations. “NATO and Japan Counter-Piracy Forces Strengthen Relations.” November 28, 2014.. http://www.aco.nato.int/nato-and-japan-counterpiracy-forces-strengthen-relations.aspx.
[5] Ishihara, Japan-Australia Security Relations and the Rise of China, p. 86.  
[6] Rick Wallace, ‘Shinzo Abe Tipped to Seek Alliance Between Japan and Australia’, The Australian, 29 June 2014; Tomohiko Satake, ‘Why a Strong Australia-Japan Relationship Matters’, Australia & Japan in the Region, Vol. 3, No. 5, May 2015, p. 1.
[7] Japan Ministry of Defense, Defense of Japan 2014, Ministry of Defense: Tokyo, 2014, p. 390, available at <http://www.mod.go.jp/e/publ/w_paper/2014.html>  
[8] Ishihara, Yusuke. “Japan-Australia Defence Cooperation in the Asia Pacific Region.” William T.
Tow and Tomonori Yoshizaki, eds. (Tokyo: The National Institute for Defense Studies, 2013), 118
[9] ‘2+2’ merupakan pertemuan yang melibatkan dua menteri dari dua negara. Jepang dan Australia mempertemukan masing-masing menteri luar negeri dan menteri pertahanannya.
[10] Joint Communique – Sixth Japan-Australia 2+2 Foreign and Defense Ministerial Consultations <http://foreignminister.gov.au/releases/Pages/2015/jb_mr_151122.aspx>

[11] Joint Communique – Sixth Japan-Australia 2+2 Foreign and Defense Ministerial Consultations <http://foreignminister.gov.au/releases/Pages/2015/jb_mr_151122.aspx>

[12] Australia. MOFA. “China’s Announcement of an Air-Defence Identification Zone over the East China Sea.” November 26, 2014. Accessed December 10, 2015. <http://foreignminister.gov.au/releases/Pages/2013/jb_mr_131126a.aspx?ministerid=4>

No comments:

Post a Comment