Disusun sebagai Ujian Akhir
Semester ganjil 2015
Mata Kuliah Kajian Budaya Diplomasi
Jepang
Dosen Pengampu: Dr. Asra Virgianita,
Ph.D
Oleh: Rizki Hakiki Valentine
Pascasarjana Kajian Wilayah Jepang
UI
1.
Latar
Belakang Masalah
Jepang dan Australia merupakan
negara sahabat yang memiliki ikatan kerjasama yang kuat sekaligus bersama-sama
mengembangkan demokrasi di kawasan Asia Pasifik. Australia dan juga Selandia
Baru merupakan partner yang amat penting bagi Jepang tidak hanya dalam bidang
ekonomi namun juga politik[1].
Kerja sama untuk mengembangkan dan melancarkan prinsip demokrasi di Asia
Pasifik serta mempromosikan pengembangan dan stabilitas kawasan merupakan isu
yang amat fundamental yang diemban oleh Jepang dan Australia.
Hingga tahun 1990an, hubungan
keamanan nasional antara Jepang dan Australia sebenarnya sifatnya tidak
langsung. Keduanya terhubung dengan adanya kedekatan satu sama lain dengan AS.
Jepang dan Australia, oleh AS kerap dideskripsikan sebagai ‘nothern and
southern anchors’ dalam sistem aliansi AS di Asia Pasifik[2].
Hal inilah yang mengawali hubungan bilateral Jepang dan Australia hingga terus
berkembang menjadi aliansi. Kedua negara ini merupakan kekuatan besar di Asia
Pasifik yang menggalakkan demokrasi liberal, tatanan internasional berdasarkan
aturan hukum internasional.
Pada Oktober 2013, PM Abbott
menyatakan bahwa Jepang merupakan sahabat terbaik Australia di Asia dan ingin
terus membangun kerja sama yang lebih kuat[3].
Sejak China, sebagai negara yang kini sangat berpengaruh di Asia, mulai
menunjukkan kebangkitan dan pengaruhnya di Asia selama beberapa tahun terakhir,
Jepang kian mempererat gandengannya dengan Australia. Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa China merupakan rival besar Jepang dan Jepang memandang China
sebagai sebuah ancaman teritorial dan kedaulatan yang berbahaya bagi Jepang[4].
Selain itu, Jepang juga menganggap China sebagai rival di bidang ekonomi karena
China semakin memperluas pasarnya dan menanamkan pengaruh ekonominya di
negara-negara kawasan.
Lain halnya dengan Australia dalam
memandang China. Meskipun Australia tidak memiliki sentimen negatif terhadap China,
Australia tetap menjadi salah satu pihak yang memiliki andil dalam upaya
‘mengkerdilkan’ pengaruh China di kawasan. Upaya tersebut diwujudkan dengan
membangun kerja sama bilateral yang sekaligus sifatnya aliansi bersama Jepang
dalam bidang pertahanan dan keamanan guna mewujudkan kestabilan dan
pengembangan tatanan regional.
Antara tahun 2007 hingga 2014 kedua
negara ini telah membina sebuah komitmen untuk menuju hubungan kerja sama
keamanan level tinggi. Hubungan tersebut semakin erat hingga tahun 2015 dengan
adanya persetujuan teknologi pertahanan dan diskusi mengenai akuisisi Australia
yang potensial dalam submarine Jepang dengan hubungan personal yang sangat kuat
antara para pemimpin[5].
Perjanjian Australia dengan Jepang
secara eksplisit mendukung PM Abe untuk merevisi pola pertahanan Jepang dan
menambah keterlibatan dalam isu-isu keamanan regional meskipun pada akhirnya
hal tersebut akan menyinggung perasaan China. Meskipun spekulasi media
menyatakan hubungan Jepang dan Australia kini berubah dari aliansi kuasi
menjadi aliansi formal, hal ini tidak sepenuhnya benar karena perubahan menjadi
aliansi formal sangat tidak disarankan sehubungan dengan aliansi Australia
dengan China dan batasan konstitusional dalam pola pertahanan Jepang[6].
Berdasarkan
sudut pandang yang telah dipaparkan di atas, makalah ini akan berfokus pada kepentingan
Jepang melakukan koalisi pertahanan dan keamanan dengan Australia untuk menjaga
keamanan kawasan Asia.
2.
Kerangka
Pemikiran
Diplomasi
dilakukan demi mencapai tujuan-tujuan tertentu. Kautilya, seorang diplomat
India Kuno, dalam karyanya yang tersohor, Arthasastra, mengemukakan
bahwa pencapaian kebijakan secara tepat akan memberi hasil yang menguntungkan (Roy,
1995:5). Kautilya menyebutkan bahwa tujuan utama diplomasi adalah demi
mengamankan kepentingan negara sendiri. Kepentingan nasional yang biasanya
dimiliki suatu negara antara lain memajukan perekonomian, melindungi warga
negaranya di negara lain, mengembangkan budaya, meningkatkan gengsi, menjalin
persahabatan dengan negara lain, dan sebagainya.
Untuk
mencapai tujuan seperti di atas, negara membutuhkan instrumen atau sarana dalam
berdiplomasi, baik dalam segi politik, ekonomi, budaya, maupun militer. Dari
segi politik, negara pasti berdiplomasi demi mengamankan kebebasan politik dan
integritas wilayahnya. Instrumen yang bisa digunakan dalam aspek ini antara
lain dengan cara memperkuat hubungan dengan negara sahabat, memelihara hubungan
yang harmonis dengan negara yang memiliki kesamaan kepentingan, dan mengajukan
jalan perdamaian dengan negara-negara yang memusuhinya. Instrumen lainnya
adalah memberi pengertian terhadap suatu negara dan menunjukkan suatu itikad
baik demi menghilangkan kecurigaan dan keraguan negara-negara lain. Hal ini
dilakukan demi mencari “rekan” untuk membentuk koalisi.
Diplomasi
memiliki pola-pola tertentu antara lain:
a. Diplomasi bilateral, mengacu
pada hubungan politik dan budaya yang melibatkan dua negara (Djelantik,
2008:85). Mayoritas diplomasi yang terjadi hingga kini adalah diplomasi
bilateral, misalnya perjanjian, saling bertukar duta besar, dan kunjungan
kenegaraan. Setelah Perang Dunia I berakhir, muncul kubu yang menolak diplomasi
bilateral pertama kali. Saat itu, banyak politikus yang mengungkapkan bahwa
sistem perjanjian internasional sebelum Perang Dunia I menyebabkan tidak
terhindarkannya perang. Kondisi semacam ini melatarbelakangi pembentukan Liga
Bangsa-Bangsa yang mengimplementasikan diplomasi secara multilateral.
b.
Diplomasi
multilateral, pola kerjasama dan interaksi dengan hasil terikat dalam
menghadapi sejumlah persoalan yang sama ataupun mendesak bagi beberapa negara
terhadap aspek – aspek kehidupan internasional, yang didasarkan pada ide bahwa
rezim kerjasama internasional dapat mengelola konflik kepentingan secara
efektif, jika dapat mewakili konsensus secara luas dan berkelanjutan antara
negara dalam sistem internasional. Robert Keohane mendefinisikan multilateralisme
sebagai “The practice of coordinating national policies in groups of three
or more states” yang mengindikasikan syarat terjadinya diplomasi secara
multilateral adalah harus dilakukan oleh lebih dari dua negara.
c.
Diplomasi
aliansi, pola diplomasi yang mengacu pada hubungan bilateral dan multilateral
yang terjalin pada negara-negara yang saling terikat dalam hubungan aliansi.
Hubungan diplomatik yang terjadi dalam pola diplomasi ini bisa terjalin antara
dua negara atau lebih. Masing-masing negara yang tergabung di dalam aliansi
tersebut memiliki tujuan dan kepentingan masing-masing yang mereka coba untuk
realisasikan seperti dalam persekutuan aliansi. Diplomasi ini kemudian akan
menjamin dan memperjuangkan kepentingan negara-negara yang termasuk dalam
anggota aliansi tersebut. Hal ini sudah tentu terjadi dikarenakan tujuan dari
dibentuknya aliansi adalah untuk mencapai tujuan bersama yang sudah disepakati,
oleh karenanya wajar apabila negara yang beraliansi tersebut saling membantu
rekan seperjuangannya.
d.
Diplomasi
konferensi, yakni aktivitas berdiplomasi dimana pihak – pihak yang bersangkutan
berkumpul dalam suatu konferensi untuk membahas sesuatu dan mencapai
kesepakatan untuk menyelesaikan konflik yang ada. Pola Diplomasi Konferensi ini
dapat bersifat temporer maupun permanen. Pola ini merupakan pengembangan dari
Pola Diplomasi Multilateral dimana diplomasi berjalan sebatas perjanjian antara
lebih dari dua negara, sedangkan Pola Diplomasi Konferensi memiliki wadah yang
resmi seperti PBB atau LBB. Diplomasi dalam pola ini berjalan lebih terbuka
karena bersifat konferensi.
Selain pola-pola diplomasi, konsep kepentingan
nasional dinilai penting karena kebijakan luar negeri suatu negara cenderung
mengacu kepada nilai atau tujuan yang terdapat dalam kepentingan nasionalnya.
Menurut Morgenthau, kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar
kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian
suatu negara atas negara lain. Hubungan kekuasaan atau pengendalian ini bisa
diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerja sama. (Mas'oed,
1990) .
Berdasarkan pemikiran Morgenthau, dalam
mendefinisikan kepentingan suatu negara terdapat dua jenis kepentingan, yakni
kepentingan “nasional” dan kepentingan “internasional” (Rosenau,
1969) . Kepentingan nasional
terdiri dari enam jenis, yaitu Primary
interest, Secondary interest, Permanent interest, Variable interest, General
interest, dan Specific interest.
Sedangkan kepentingan internasional
terdiri atas tiga jenis, yaitu Identical
interest, Complementary interest, dan Conflicting
interest. Mengacu kepada spesifikasi keutamaan relatif tujuan serta
kepentingan nasional berdasarkan pemikiran Neuchterlein, maka dapat
diklasifikasikan ke dalam empat tingkat atau intensitas kepentingan (Snow & Brown, 2000), yakni survival
interest, vital interest, major interest, dan peripheral interest.
Dalam konteks masalah yang dikaji dalam tulisan ini,
pola diplomasi yang dijadikan acuan dalam menganalisa masalah adalah pola
diplomasi bilateral dan diplomasi aliansi. Jepang dan Australia dalam hal ini
memang bekerja sama dan mengadakan pertemuan untuk membahas penguatan kerja
sama pertahanan dan keamanan secara bilateral, namun tidak bisa dipungkiri
bahwa di belakang itu semua kedua negara ini merupakan negara yang saling
beraliansi untuk mencapai tujuan bersama. Bahkan aliansi yang dilakukan
merupakan aliansi triangular antara Jepang – Australia – AS, namun aliansi
dengan AS tidak akan dipaparkan terlalu mendalam dalam makalah ini sebab fokus
akan dititikberatkan pada kepentingan Jepang dalam menjalin aliansi politik
dengan Australia.
3.
Studi
Literatur
Penelitian mengenai Jepang dalam
melakukan aliansi dengan negara lain pernah dilakukan sebelumnya oleh Epica
Mustika Putro, mahasiswa pascasarjana HI Universitas Indonesia, dengan judul
penelitian tesis “Dilema Aliansi: Peningkatan Kapabilitas Militer Jepang”.
Penelitian Putro pada tahun 2012 ini membahas mengenai peningkatan kapabilitas
militer Jepang di tengah berbagai pembatasan yang diberlakukan melalui
konstitusi pasca perang Jepang. Peningkatan kapabilitas militer ditujukan untuk
memenuhi kewajiban Jepang dalam aliansi dalam kerangka kerja sama. Penelitian
kuantitatif tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kapabilitas militer Jepang
disebabkan oleh dilema dalam aliansi dengan AS yang menyebabkan Jepang berada
dalam posisi takut ditinggalkan karena ketergantungannya yang besar dalam
aliansi. Sementara itu tulisan ini lebih menyorot pada aliansi Jepang dengan
Australia dalam penguatan hubungan pertahanan dan keamanan dan bagaimana
kepentingan Jepang dalam aliansinya dengan Australia.
Penelitian mengenai koalisi pertahanan
dan keamanan Jepang – Australia tidak banyak dilakukan. Oleh karena itu tulisan
ini bisa dikembangkan dengan lebih komprehensif untuk mengisi gap literatur yang ada.
4.
Kerja
Sama Jepang dan Australia di Bidang Pertahanan dan Keamanan
Pada bulan Maret 2007, perdana menteri kedua negara
menandatangani Deklarasi Bersama Kerja sama Keamanan Jepang-Australia. Pada
bulan Desember 2008, Nota Kerjasama Pertahanan ditandatangani pada tingkat
menteri pertahanan, yang 'mengakui pematangan bertahap hubungan pertahanan dari
satu berdasarkan dialog untuk satu berdasarkan kerjasama praktis’. Sejak
diumumkannya deklarasi bersama dalam bidang kerja sama pertahanan dan keamanan
pada Maret 2007 silam, kerjasama Jepang dan Australia telah berkembang pesat.
Selain kunjungan yang frekuentif antara Jepang dan Australia, dua negara ini
juga telah mengadakan latihan militer reguler untuk mengembangkan
interoperabilitas antara Japan Self Defense Force (JSDF) dan Australian Defense Force (ADF)[7].
Pada April 2014, Canberra dan Tokyo
mencapai kesepakatan pada untuk meningkatkan hubungan dagang dan pertahanan,
termasuk pembangunan bersama peralatan pertahanan, yang berarti meningkatkan
hubungan kedua negara pada level yang baru[8].
Abbott mengatakan kepada radio Australia bahwa ia tidak memihak dalam sengketa
wilayah antara China dengan negara-negara lain, dan peningkatan hubungan dengan
Jepang tidak menyasar pada pihak mana pun. Tercatat sudah ada kerjasama yang
tinggi di bidang pertahanan antara Australia dengan Jepang yang terlibat
percekcokan perbatasan dengan China.
Pasukan keamanan Australia dan
Jepang mengadakan latihan bersama dan Jepang sebelumnya juga membeli dari
Australia sejumlah peralatan pertahanan termasuk kendaraan lapis baja infanteri
Bushmaster. Hal ini dilakukan agar dapat menjalankan operasi militer bersama,
lebih banyak latihan militer bersama dan juga seiring waktu ingin melihat lebih
banyak kerjasama penting di bidang intelijen.
Jepang dan Australia juga pada 7
April 2014 mengumumkan kesepakatan perdagangan bebas, yang terbilang
mengejutkan karena Jepang tergolong negara yang amat melindungi pasar. Perlu
dicatat bahwa kesepakatan perjanjian perdagangan bebas ini dilakukan bersamaan
dengan kesepakatan keamanan dan pembangunan peralatan pertahanan. Sehingga
antara Jepang dan Australia sudah ada kerjasama tingkat tinggi di bidang
pertahanan, yang memberikan kepercayaan diri Jepang yang bersengketa dengan
China perihal wilayah teritorial .
Hubungan kerjasama Australia dan
Jepang dalam bidang pertahanan tidak berhenti sampai di situ, melainkan semakin
erat hingga tahun 2015. Pemerintahan Abe Shinzo mengharapkan hubungan kerja sama
yang lebih dekat dengan aliansi AS seperti Australia sebagai elemen utama dari
prinsip dari strategi keamaan nasional yang ingin memiliki kontribusi
perdamaian yang proaktif berdasarkan kerja sama internasional.
Pada 22 November 2015 lalu,
diselenggarakan Japan-Australia 2+2[9]
Foreign and Defense Ministerial Consultation di Sidney, Australia.
Pertemuan ini sekaligus menunjukkan bahwa hubungan antara Jepang dan Australia
dianggap sebagai kerja sama strategis yang spesial yang dibangun berdasarkan
nilai dan strategic interest (seperti
isu HAM, demokrasi, pasar dan perdagangan) yang sama antara kedua negara.
Perundingan 2+2 ini merupakan sebuah upaya yang lebih mantap dalam
menginstitusionalisasi kerja sama pertahanan bilateral, seperti persetujuan
untuk memfasilitasi operasi gabungan, training dan latihan. Pertemuan ini juga
melaporkan beberapa isu keamanan yang perlu didalami; laut China selatan, Korea
Utara dan terorisme[10].
Pada pertemuan 2+2 itu, Mentri luar negeri Australia,
Julie Bishop dan Mentri Pertahanan Australia, Marise Payne bertemu dengan Fumio
Kishida selaku Mentri luar negeri Jepang dan Gen Nakatani selaku Mentri
Pertahanan. Dalam pertemuan itu para mentri membahas banyak hal berkenaan
dengan isu keamanan global, diantaranya adalah pentingnya usaha pencegahan
terorisme seperti Global Coalition
dan Counter Islamic State of Iraq and Levant
(ISIL), mengingat terorisme kembali terjadi di Paris beberapa waktu sebelumnya.
Jepang dan Australia juga menyediakan bantuan kemanusiaan pada Irak dan Syria[11].
Ke empat menteri menyadari hubungan antar negara menjadi
lebih kuat sejak lawatan PM Abe Shinzo pada 2014 yang menandai bermulanya
special strategic partnership antara Australia dan Jepang berdasarkan
nilai-nilai dan strategic interest
bersama yang meliputi demokrasi, HAM, aturan hukum, pasar, dan perdagangan
bebas. Pencapaian kerjasama pertahanan bilateral merupakan prioritas bagi kedua
negara. Menteri menyambut baik perkembangan yang telah dibuat yang bisa
meningkatkan hubungan pertahanan dan keamanan ke tingkat yang baru. Adapun
rekomendasi untuk mengupayakan training, latihan, meningkatkan pertukaran
personel, memperdalam kerjasama dalam bantuan kemanusiaan dan pemulihan
bencana, keamanan maritim, perdamaian, pembangunan kapasitas dan mengupayakan
kerja sama pertahanan trilateral dengan AS. Para Menteri pun mengidentifikasi
kesepakatan pertahanan bilateral yang lebih matang untuk memperkuat kerja sama
ini.
Jepang juga sudah berkomitmen untuk memenuhi syarat dalam competitive Evaluation Process untuk
memilih partner internasional dalam penyaluran Australia Future’s Submarine. Kedua negara juga bertekad untuk empromosikan
‘rule of law at sea’. Mereka
menyatakan perlawanan atas segala macam tindakan koersif dan tindakan sepihak
yang melanggengkan status quo Laut China
Selatan[12].
5.
Kebijakan
Jepang dan Australia Terhadap Pembangunan Tatanan Regional
Untuk membangun tatanan regional
dan mengerdilkan pengaruh China di kawasan, Jepang dan Australia telah
mengambil beberapa kebijakan, yakni:
·
Penguatan kerja sama keamanan antara Jepang dan Australia
demi membangun dan memelihara sebuah tatanan yang inklusif dan liberal
berdasarkan interest dan nilai yang telah disepakati bersama serta mendukung
kebijakan “rebalancing” AS terhadap Asia yang amat penting untuk dijalankan.
Selama
bertahun-tahun, Jepang dan Australia telah menjadi kontributor utama dalam
pengembangan tatanan internasional liberal berdasarkan institusi, norma dan
nilai-nilai seperti HAM, demokrasi dan aturan hukum. Jepang dan Australia telah
bekerja bersama-sama dalam membangun sistem keamanan regional yang inklusif dan
terbuka berdasarkan sentralitas ASEAN. Peran ini dalam demokrasi regional telah
menjadi sangat penting dalam beberapa tahun terakhir sejak AS menyerukan “burden-sharing” atau pembagian
beban/tugas pada partner-partner dan sekutunya yang berkontribusi pada
kredibilitas dan sustainabilitas komitmen AS di Asia Pasifik.
·
Mencegah provokasi China sambil membatasi China dalam
jaringan lembaga, aturan dan norma regional sebagai tujuan strategis jangka
panjang.
Seperti yang
telah disebutkan pada subbab sebelumnya, Jepang dan Australia memiliki persepsi
berbeda mengenai China. Jepang memiliki sentimen negatif yang amat besar
terhadap China sementara Australia menganggap China sebagai mitra yang justru
amat penting. Meskipun begitu, Jepang dan Australia tetap memiliki common
interest untuk mengintegrasikan China ke dalam tatanan regional yang inklusif dan
liberal sebagai tujuan strategis jangka panjang. Hal ini harus dilakukan oleh
Jepang dan Australia mengingat mereka harus segera mewujudkan ketahanan
pembangunan institusi, pembangunan kapasitas dan nilai-nilai (demokrasi, ham
dan aturan hukum) di kawasan regional sehingga hal tersebut dapat mengakomodir
kebangkitan dan pengaruh China.
·
Memperluas kerja sama untuk pembangunan tatanan regional
ke regional “middle power” yang lain seperti Korea Selatan dan India.
Jepang dan
Australia sebagai aliansi AS harus menjalankan perluasan kerja sama karena
pembangunan tatanan regional tidak bisa dilakukan oleh AS, Jepang dan Australia
saja. Demokrasi yang ada di kawasan lain, seperti Korea Selatan dan India malah
memiliki lebih banyak keuntungan dari tatanan regional yang stabil dan inklusif
sehingga tidak ada alasan bagi negara-negara tersebut untuk meragukan
pembangunan tatanan regional dengan para ‘like
minded countries’. Dengan mewujudkan koalisi negara-negara middle power,
perwujudan kerja sama antara negara-negara yang terlibat bisa dicapai dengan
lebih baik dengan memanfaatkan sumber daya yang ada dengan lebih efisien.
Meskipun Jepang dan Australia telah memiliki kebijakan
untuk mempererat kerja sama pertahanan dan keamanan serta membendung pengaruh China
di kawasan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan kembali.
Keterpurukan hubungan Jepang dan China, mendorong
Australia dan beberapa partner regional lain ke dalam posisi yang sulit. Sama
halnya dengan pada saat Australia atau AS yang menetapkan perubahan
kebijakannya terhadap China tanpa adanya konsultasi terlebih dahulu dengan
Jepang. Oleh sebab itu dalam kerja sama ini, terutama dalam perundingan ‘2+2’
pembicaraan mengenai kebijakan dan perubahan kebijakan sekecil apapun mustinya
sangat diperhatikan dan amat penting untuk dikomunikasikan satu sama lain.
Poin kedua yang perlu diperhatikan oleh Jepang adalah
bekerja sama dengan Australia untuk meningkatkan keterlibatan dalam hal
pertahanan di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan, terutama dalam membangun
kapasitas maritim di bawah pengawasan dan penegakan hukum. Demi melindungi
kebebasan navigasi dan keamanan maritim, maka penting bagi Jepang dan Australia
memperkuat kapasitas negara-negara regional untuk menanggapi insiden tak
terduga di laut. Misalnya, mengkoordinasikan kebijakan terhadap pembangunan
kapasitas maritim di asia tenggara dengan bersama-sama membantu pelatihan dalam
penegakan hukum maritim dan memperkuat pengawasan maritim dan kapabilitas garda
pesisir. Jepang juga bisa berkontribusi dengan program Australia’s Pacific Patroli Boat dalam pelatihan, pendanaan dan
pembangunan infrastruktur dengan partner-partner lain yang berkepentingan
seperti AS, Selandia Baru dan Perancis.
Jepang dan Australia juga perlu menyokong kesatuan dan
sentralitas ASEAN sebagai salah satu pondasi pola keamanan regional yang
terbuka dan inklusif. Oleh karena itulah diperlukan adanya revitalisasi
mekanisme sekuritas ASEAN. Hubungan kerja sama Jepang dan Australia dapat lebih
memperkuat komunitas ASEAN 2015 dengan terlibat dalam mekanisme institusional
ASEAN secara aktif seperti ASEAN Regional
Forum (ARF), ASEAN Defense Ministerial’s
Meeting (ADMM) Plus dan East Asia Summit.
Kedua negara dapat mempromosikan aturan berbasis tatanan
internasional dengan memperkuat norma-norma, seperti resolusi damai sengketa
teritorial dan penolakan perubahan sepihak status
quo dengan kekerasan, menghormati hukum laut dan hak untuk mengamankan
kebebasan navigasi. Dialog keamanan multilateral dapat menjadi salah satu jalan
untk mendiskusikan strategi dalam membentuk aturan dan norma internasional.
Salah satu cara lain adalah dengan saling bertukar opini terlebih dahulu antara
para menteri pertahanan Jepang dan Australia sebelum mengkoordinasikan strategi
dalam dialog.
Penting bagi Jepang dan Australia untuk menyebarkan nilai
nilai universal yang meliputi HAM, dan aturan hukum di Asia Pasifik sekaligus
meyakinkan bahwa nilai-nilai tersebut mengakar di kawasan. Untuk itu, Jepang
dan Australia dapat ikut mendukung good
governance, pembangunan institusi dan aturan hukum di negara-negara
berkembang Asia Tenggara dan Pasifik Selatan. Bersamaan dengan itu mencari cara
untuk mencapai ‘middle power coalition’
bisa dilakukan sehingga Jepang dan Australia dapat ikut berkembang bersama
negara-negara seperti Korea Selatan atau India. Akan tetapi, pandangan sebagai
pihak yang anti-China harus dihindari dengan lebih berfokus pada hal-hal yang
sifatnya mempererat dan menyeimbangkan kooperasi antar negara sebab semakin ‘middle power’ berfokus pada China,
pembangunan kerja sama akan lebih sulit terwujud. Oleh karena itu, koalisi middle power bisa dimulai lebih efektif
dengan bentuk-bentuk usaha kerja sama regional.
6.
China
Gap antara Jepang dan Australia
Struktur kekuatan yang berpengaruh di
kawasan Asia Pasifik pasca Perang Dingin sangat dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan yang bermain di level global. Konfigurasi struktur kekuatan
global diklaim oleh Huntington sebagai the lonely super power vis a vis
multiple power, dimana AS sebagai satu-satunya unit dalam power structure sepeninggal Uni Soviet pada awal tahun 1990an
berhadapan dengan kebangkitan
kekuatan-kekuatan baru seperti Uni Eropa, Rusia, China dan Jepang
(Huntington, 1999).
Terlepas dari AS sendiri, makalah ini
mencoba berfokus pada kepentingan Jepang untuk memperkuat kerja sama pertahanan
dan keamanan dengan Australia. Sehubungan dengan China sebagai isu sentral atas
defense and security partnership,
penting bagi penulis untuk memaparkan posisi China bagi Jepang dan Australia.
Di antara major powers di Asia, posisi China kerap kali dipandang sebagai
sebuan ancaman bagi AS yang menyandang gelar sebagai negara adidaya dan bagi
beberapa negara multiple power lain
(Perlez, 2006). Munculnya
China sebagai kekuatan global baru menjadi perhatian serius AS dan sekutu-sekutunya
di Asia Pasifik dan Eropa. Banyak pihak yang melihat para pemimpin China berusaha menggunakan pengaruh ekonomi dan
politik untuk menghalangi dan menghambar pergerakan AS di Asia sebagai upaya
menggantikan posisi AS di wilayah Asia dan memainkan peran lebih lanjut di
level global. Pandangan seperti ini tampaknya sangat berpengaruh pada para
pembuat keputusan di AS. Sikap curiga terhadap munculnya China ini telah
mendorong AS untuk mengundang partner-partner aliansinya, terutama Jepang dan
Australia, untuk melakukan strategi Containment.
Kehadiran Jepang dan Australia, dipandang
sebagai strategi untuk ‘mengkerdilkan’ peran China. Sementara, peran China yang
semakin meningkat di kawasan ini juga dicurigai sebagai upaya meminggirkan
peran AS di kawasan ini. Dalam jangka waktu yang sangat dekat, China akan
mengintensifkan perannya di kawasan ini dengan pendekatan geoekonomi melalui
kerjasama bilateral dengan negara-negara kawasan maupun melalui lembaga-lembaga
regional dan transregional. China akan terus melakukan akselarasi untuk
memenuhi prioritas prioritas politik luar negeri yang selama ini belum
berhasil untuk mencapai kepentingan-kepentingan vitalnya.
Langkah China akan memperlebar gap kepentingan antara major powers dan multiple power. Kegagalan dalarn mempertemukan
kepentingan-kepentingan vital di antara major
powers dan multiple powers, serta peningkatan
persaingan di antara major powers tampaknya
akan mendominasi struktur politik regional di Asia Pasifik. Lingkungan regional
akan menjadi tidak menentu. Kekuatan baru muncul sebagai dominant power,
kekuatan-kekuatan lain (Jepang, Rusia, India) memperkuat aliansi dengan AS
untuk melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Ketidakpastian menyikapi
intensi dan ambisi China akan tetap menjadi isu sentral bagi para pembuat
keputusan di AS dan partner-partner aliansinya di Asia Pasifik.
Walaupun Jepang
dan Australia memiliki beberapa prinsip-prinsip penting yang diupayakan untuk
diwujudkan bersama - sama-sama berkontribusi terhadap resolusi perdamaian dari
konflik-konflik internasional dan kebebasan dalam bernavigasi dalam domain
maritim dan domain udara - kedua negara
ini memiliki persepsi yang berbeda terhadap China.
Seperti yang sudah diketahui, Jepang merupakan negara yang
menganggap China sebagai negara rival yang pengaruhnya di kawasan harus diredam
dengan berbagai upaya. Sejak tahun 2013, secara akurat Abe
mengusulkan agar Jepang memperluas kerjasama dengan India di bidang ekonomi dan
pertahanan. Ia ingin agar kedua negara memikul tanggungjawab sebagai penjaga
kebebasan antara samudera Hindia dan Pasifik. Abe merujuk pada perkembangan
terakhir, bahwa China terus membangun kekuatan maritimnya. Abe mencari mitra
yang juga saling berbagi sikap skeptis terhadap China di antara negara anggota
ASEAN. Bersama negara-negara ASEAN, Jepang akan mengkampanyekan wacana
kebebasan, demokrasi dan HAM - tiga syarat yang tidak mungkin dipenuhi oleh China
– karena Jepang ingin mengajak ASEAN melindungi masa depan negara hukum di
kawasan. Tidak hanya itu hubungan antara China dan Jepang, yang merupakan
kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia, telah terganggu dalam beberapa tahun
terakhir oleh sengketa Laut China Timur.
Citra China di mata bangsa Jepang
pun tidak cukup baik. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh The Genron NPO dan China Daily membuktikan bahwa terjadi dinamika prosentase citra
China di mata bangsa Jepang dalam berbagai macam hal mulai dari tahu 2013 hingga
tahun 2014. Berikut adalah grafik dari hasil polling yang dilakukan oleh The
Genron NPO dan China Daily.
Grafik
1. Opini dan sentimen negatif publik
di Jepang terhadap China
Dari grafik tersebut, tampak bahwa
sentimen Jepang terhadap China paling tinggi dikarenakan alasan historis yang
kerap diungkit dan dikritisi China, pelrindungan sumber daya dan energi oleh
China, konfrontasi pulau Senkaku, dan sikap China yang dianggap tidak sesuai
dengan aturan internasional. Tidak hanya itu, media China yang anti-Jepang pun
menjadi salah satu sentimen negatif Jepang terhadap China dengan persentase
mencapai 41,1% pada 2014.
Sebaliknya, China pun memiliki sentimen
negatif terhadap Jepang dengan beberapa alasan. Berikut adalah grafik dari
hasil survey publik oleh The Genron NPO
dan China Daily.
Grafik 2. Opini dan sentimen negatif publik di China terhadap Jepang
Sentimen China terhadap Jepang rupanya
lebih tinggi pada tahu 2013 daripada tahun 2014 dengan alasan bahwa Jepang
tidak meminta maaf dengan sepantasnya pada China perihal invasi Jepang di masa
lalu, konfrontasi pulai Senkaku/Diaoyu serta kerja sama Jepang dengan AS untuk
menekan militer, ekonomi dan ideologi China. Namun, sentimen bangsa China
justru meningkat di tahun 2014 pada beberapa alasan lain seperti arogansi
Jepang, nasionalisme bangsa Jepang dan lain-lain.
Sementara itu, Australia yang melihat AS sebagai
“great friend and ally“, melihat China sebagai “Great friend and partner”. Hal
ini menempatkan Australia di posisi yang
sulit. Rudd menyatakan,
“to shift Australia’s approach from
fear of China to one of friendly relations ; to deal with China on its own
merits and not just as part of the East-West confrontation ; to see China as an
apportunity rather than as a threat ; to recognize China as a potential great
power; and to encourage China to participate as an equal and co-operative
member of the international society” (Harris 1995:129)
Ada alasan mengapa hubungan yang bersifat
amity dengan China perlu dikembangkan. Australia dan China merupakan partner
dagang yang cukup besar dengan posisi China sebagai pemain utama dalam
perekonomian Australia. China merupakan partner impor terbesar dan partner
ekspor kedua terbesar bagi Australia. Bagi China, Australia dipandang sebagai
negara penting dalam hal pemasok mineral yang dalam beberapa tahun belakangan
menaikkan perekonomian Australia. Di Australia ini dikenal dengan Mineral’s
Boom atau the Chinese Mineral Boom.
Situasi politik antara China dan
Jepang yang muram juga membawa Australia pada situasi yang dilematis. Apalagi,
China dan Jepang, termasuk Korea Selatan, terlibat sengketa Laut China Timur. Sementara itu, Australia pernah
menyatakan akan membantu proses perdamaian di dunia. Salah satunya mengenai
penyelesaian sengketa Laut China Timur yang dialami Jepang. Mereka juga ingin
memperbesar kapasitas untuk marinir. Dorongan itu dipicu oleh peningkatan hubungan
kerja sama militer antara Australia dan Jepang. Di sisi lain, China dan Australia
menyepakati peningkatan hubungan kerja sama militer seusai Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) G- 20 di Brisbane, Australia, pada November 2014. Saat itu
Presiden Xi Jinping tidak hanya membahas mengenai kerja sama ekonomi, melainkan
juga mengenai kerja sama militer. Wakil Kepala Komisi Militer Pusat China Fan
Changlong menyambut baik hubungan kerja sama militer ini sebagai bentuk
kepercayaan politik tingkat tinggi antara Australia dan China sebab hubungan
militer akan selalu menempa bagian penting dalam hubungan bilateral.
China juga bisa dengan leluasa
berlatih dan melakukan latihan gabungan dengan Australia. Hubungan antara China
dan Australia sangat erat. Kedua negara saling bahu membahu dalam misi
pencarian Maskapai Penerbangan Malaysia, MH370, yang diduga hilang di Samudera
Pasifik. China dan Australia juga bekerja sama menjaga perdamaian,
mengampanyekan antiterorisme, melakukan latihan gabungan, dan tukar pelajar. Sehingga kesuksesan kerja sama
tersebut membuat China semakin memiliki nilai, terutama dalam menarik negara
sahabat dalam menjalin hubungan kerja sama militer. Australia juga mengakui
China merupakan mitra yang penting.
China gap tidak hanya muncul antara
hubungan bilateral Jepang-Australia saja namun dengan negara-negara partner
lain seperti Korea Selatan dan India. Sayangnya, sikap Jepang yang asertif
dalam menanggapi the rise of China sebenarnya ikut memperburuk hubungan
Australia dan China. Selain itu, muncul pula perkiraan yang buruk jika
ketegangan ini berlarut-larut, yakni terjadi perpecahan di Asia menjadi
blok-blok bersenjata yang saling bermusuhan dan menyerang. Australia pun bisa
saja harus memilik keberpihakannya kepada AS yang ‘membacking’ Jepang atau
memihak China.
1.
Kepentingan
Jepang Melakukan Koalisi dengan Australia
Adanya China Gap dalam hubungan antara Jepang dengan Australia banyak
menimbulkan pertanyaan mengapa Jepang, yang memiliki sentimen negatif terhadap China
membangun koalisi untuk membendung pengaruh dan ancaman China bersama dengan
Australia yang justru menganggap China sebagai mitra penting.
1.1 Faktor China
Orientasi kerja
sama pertahanan Jepang dengan Australia tentunya sangat ditentukan oleh kepentingan nasionalnya, yang dalam
pelaksanaannya mempunyai kemungkinan akan mempengaruhi perkembangan politik di
kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Dari segi kepentingan Jepang, terdapat
beberapa penilaian yang mengidentifikasi beberapa masalah sebagai ancaman
terhadap kepentingan nasional Jepang, yang dapat dibagi dalam dua kelompok
persoalan, (1) krisis
yang setiap saat dapat muncul di semenanjung Korea, keamanan di Selat Taiwan
dan ketidakpastian tingkat hubungan antara RRC dengan Rusia, (2) wilayah laut yang
rawan di Asia Tenggara dan di Asia Timur yang merupakan jalur laut vital bagi
kehidupan perekonomian Jepang.
Semakin
luasnya peran yang dapat dijalankan oleh kekuatan militer Jepang tampaknya
tidak hanya terbatas akan mempengaruhi perkembangan sengketa di Laut China
Timur tetapi juga persoalan lainnya yang menjadi kepentingan negara-negara
tetangga Jepang di kawasan Asia Tenggara. Sejauh mana kerja sama keamanan
antara Jepang dengan negara tetangga lainnya di kawasan, seperti Filipina,
Vietnam, dan Australia akan tergantung pada kesamaan persepsi mereka mengenai
China sebagai sumber ancaman. Perilaku China dalam mengelola persoalan sengketa
Laut China dan rendahnya transparansi pengembangan kekuatan militernya akan
menentukan bagaimana hubungan kerja sama Jepang dengan negara-negara ASEAN akan
berkembang. Dengan meningkatnya asertivitas China, maka bukan tidak mungkin
kerja sama keamanan akan terus meningkat, tidak terbatas pada pertukaran
informasi intelijen namun dapat mencapai collective
self defense sebagaimana terjadi antara Jepang dan AS, atau berupa kerja
sama triangular. Negara Asia Tenggara yang bersengketa dengan Beijing di Laut
China Selatan dan memiliki ketimpangan kekuatan militer yang begitu besar,
seperti Vietnam, sangat berpotensi untuk meningkatkan kerja sama keamanan
dengan Jepang. Jika ini terjadi, pada perimbangan kekuatan di kawasan dan
menciptakan kawasan yang lebih multipolar, meskipun Jepang masih membutuhkan
waktu untuk membangun kekuatan militernya agar mampu memberikan jaminan
keamanan bagi negara-negara tersebut.
1.2 Strategi ‘Rebalancing’ AS di Asia
AS sebagai negara adidaya memiliki
kepentingan yang amat besar di Asia. Hill (2005) menyatakan bahwa Asia Timur
penting untuk AS baik alasan-alasan ekonomi maupun alasan-alasan politik dan
keamanan[1]. Sementara
itu posisi China secara politik maupun ekonomi membuat AS terancam. Untuk itu
dengan pertimbangan geopolitik dan dalam upaya menanamkan pengaruhnya, maka AS
memandang perlunya peningkatan kerjasama dengan aliansinya di Asia Timur. AS
membutuhkan sebuah konfigurasi power dimana negara berusaha mempertahankan
kelangsungan hidup serta menciptakan peluang untuk memajukan kepentingan
nasionalnya dengan menggabungkan power
yang dimiliki terhadap satu atau lebih negara lain yang memiliki kepentingan
serupa. Pola aliansi merupakan keputusan untuk mengubah atau mempertahankan
equilibrium lokal, regional, atau global. Tindakan demikian biasanya diikuti
oleh pihak negara lain dengan tindakan serupa. Dalam hal ini, negara di kawasan
Asia yang beraliansi dengan AS adalah Jepang.
Pembagian beban yang lebih seimbang
telah sejak lama menjadi tuntutan AS terhadap Jepang. Meskipun pemerintahan
Obama menjalankan strategi rebalancing
di kawasan militernya, Jepang berusaha meyakinkan AS bahwa mereka merupakan
sekutu penting dan mampu merespons tuntutan AS. Hal ini menjadi penting
mengingat Jepang memiliki kekhawatiran akan melemahnya komitmen AS terhadap
keamanan Jepang akibat adanya peningkatan hubungan ekonomi AS-China. Beban yang
lebih seimbang di antara dua negara sekutu ini, AS-Jepang, akan sangat
mempengaruhi perimbangan bagaimana Jepang dan AS akan mengelola persoalan Laut
China Timur dan persoalan lainnya yang menyangkut kepentingan kedua negara.
Perlu diingat bahwa perubahan
interpretasi atas konstitusi Jepang pada 1 Juli 2014 telah memperluas hak
mempertahankan diri Jepang sehingga memungkinkan militer Jepang untuk
menjalankan tindakan-tindakan yang selama ini dilarang berdasarkan Pasal 9
Konstitusi Jepang. Dengan reinterpretasi ini, kekuatan militer Jepang akan
dimungkinkan untuk terlibat mempertahankan sekutu yang sedang diserang.
Reinterpretasi ini juga memungkinkan Jepang untuk berperan lebih besar dalam
aliansinya dengan AS yang selama ini sangat terbatas.
Peran Jepang untuk ikut menjaga
keamanan kawasan Asia Pasifik menjadi semakin nyata dengan membangun koalisi
pertahanan dan keamanan dengan Australia yang juga merupakan aliansi AS yang
cukup dekat.
1.3 Motif Politik: Pembangunan Kembali
Image Jepang
Seperti yang telah disebutkan,
Australia merupakan negara yang juga aliansi AS. Berkoalisi dengan negara
sesama aliansi AS merupakan cara untuk mengembalikan kepercayaan diri Jepang
akan kekuatan aliansinya serta meningkatkan keyakinan akan keberhasilan mencapai
tujuan bersama, terutama dalam menghalau ancaman dan pengaruh China.
Bersama Australia, Jepang menanamkan
nilai-nilai demokrasi, HAM, keamanan laut dan lain-lain, sebagai usaha
membendung pengaruh ideologi sosialis-komunis yang diusung oleh China. Hal ini
dilakukan Jepang agar negara-negara Asia Tenggara tidak terpengaruh oleh
nilai-nilai yang dibawa oleh China sebab Asia Tenggara merupakan sumber-sumber
bahan mentah bagi industri Jepang serta basis pasar komoditas Jepang.
Selain itu, hal lain yang cukup
krusial untuk disorot sebagai motif politik Jepang adalah pembangunan kembali
image Jepang di kawasan Asia Pasifik. Jepang yang sedari awal ingin menjadi
bagian dari komunitas internasional yang mewujudkan perdamaian di laut jelas
mendapat keuntungan dari bekerja sama dengan Australia dalam pembangunan kapal
selam. Dengan begitu, Jepang akan dinilai sebagai sekutu potensial bagi
sejumlah negara di kawasan, seperti Filipina atau Australia yang juga memiliki
kesepakatan keamanan dengan AS. Negara-negara Asia Tenggara yang memiliki
persoalan dengan China, seperti Vietnam, akan sangat mungkin untuk
mengembangkan kerja sama keamanan dengan Jepang.
Tidak hanya mengamankan kawasan
Asia Pasifik, seperti yang telah dipaparkan pada bagian isi perundingan 2+2, Jepang
dan Australia juga menyoroti kemanan dunia meliputi terorisme dan perang di
Irak dan Syria. Dari situ, Jepang dan Australia sepakat untuk terlibat dalam counter terrorism. Hal ini merupakan
bentuk dari usaha Jepang untuk membangun image di mata internasional sebagai
negara yang ikut berperan aktif dalam perdamaian dan keamanan dunia. Dengan image yang baik di kancah internasional,
Jepang bisa memulihkan kepercayaan dirinya ketika menghadapi persaingan dengan
China.
Kemudian, berbicara mengenai China,
dalam wawancara yang dilakukan oleh salah satu media masa Australia kepada
menteri luar negeri Jepang, Fumio Kishida, Kishida menyatakan bahwa dengan
melindungi pasar dari kekuatan ekonomi China, Jepang memiliki target bekerja
sama dengan Australia dalam pendistribusian ekspor Australia ke area regional
dengan menggunakan teknologi transportasi Jepang. Selain itu, Kishida
menambahkan bahwa dalam pembicaraan ‘2+2’ yang lalu, Jepang juga mengharapkan
kedatangan turis dari Australia ke Jepang dan mempromosikan Jepang sebagai
tujuan wisata[2].
Jepang yang terkenal sebagai negara
penghasil dan negara yang banyak mengekspor teknologinya, jelas mendapat
keuntungan dalam kerja sama pertahanan dan keamanan dengan Australia yang
justru memiliki potensi pada SDA. Sehingga terjadi simbiosis dimana Jepang
dapat mengekspor hasil teknologinya ke Australia sehubungan dengan kepentingan
militer atau spionase sekaligus mendapatkan SDA untuk memenuhi kebutuhan satu
sama lain. Pada 2012, Jepang sempat memperoleh keuntungan pada saat dimulainya
sebuah proyek gas bernilai 35,3 milyar dolar Amerika di kota Darwin. Proyek gas
tersebut digunakan untuk kepentingan bersama Jepang dan Australia, khususnya
dalam bidang energ i[3].
2.
Kesimpulan
Usaha pendalaman hubungan kerja sama keamanan Jepang dan
Australia nampaknya memang cocok untuk disebut sebagai ‘special relationship’ seperti yang disebutkan oleh para politisi
dari kedua negara. Status kedua negara sebagai aliansi AS membuat kedua negara
ini semakin mempererat hubungan dalam mencapai tujuan bersama di regional
dengan menumbuhkan simbiosis mutualisme.
Walaupun Jepang dan Australia memiliki persepsi berbeda
terhadap keberadaan China, dari paparan-paparan sebelumnya, bisa disimpulkan
bahwa keterlibatan Australia dalam membendung ancaman dan pergerakan China di
kawasan lebih condong karena faktor status Australia sendiri sebagai sekutu AS
yang harus mewujudkan misi AS untuk menciptakan regional Asia yang stabil agar
kedudukan AS bisa bermain dengan leluasa tanpa merasakan ancaman yang berarti
dari China yang menguat baik di bidang militer, politik ataupun ekonomi.
Selain itu, ada hubungan dari tiga faktor besar yang
melatar belakangi kepentingan Jepang berkoalisi dengan Australia di bidang pertahanan
dan keamanan untuk melindungi Asia Pasifik, yakni:
Bagan di atas merepresentasikan kepentingan Jepang dalam
membangun koalisi pertahanan dan keamanan dengan Australia di Asia Pasifik.
Jepang sebagai aliansi AS menjalankan burden
sharing bersama Australia untuk menguatkan keamanan di Asia Pasifik.
Penguatan keamaanan di Asia Pasifik ini dilandasi oleh adanya kebangkitan China
yang membuat AS merasa powernya di
Asia Pasifik terancam. Selain itu, Jepang sendiri juga memiliki sentimen
negatif terhadap China dan selalu merasa terancam secara militer maupun secara
kedaulatan. Dengan berkoalisi dengan Australia dalam menguatkan keamanan Asia
Pasifik, faktor China di kawasan Asia Pasifik akan digeser. Jepang dan
Australia juga menanamkan nilai-nilai HAM, demokrasi, (yang tidak dimiliki oleh
China) di Asia Pasifik, untuk membendung pengaruh China.
Sementara itu, kepentingan nasional Jepang di Asia Pasifik
juga berusaha diraih bersamaan dengan penguatan pertahanan dan keamanan dengan
Australia ini yakni dalam bidang politik dan ekonomi. Pembangunan image di Asia Pasifik dan internasional
juga menjadi salah satu kepentingan Jepang sebagai salah satu cara untuk
membangkitkan kepercayaan diri dalam menghadapi the rise of China.
Ketakutan Jepang akan ancaman China tampak pada
kebijakan-kebijakan yang diambil bersama Australia. Namun pelaksanaan kebijakan
tersebut masih perlu diperhatikan lagi, terutama pada poin-poin yang telah
disebutkan mencakup perluasan kerja sama, berkoalisi dengan negara middle power, berunding dengan China,
memantau China di kawasan dan pengendalian sikap anti-China, dst.
DAFTAR PUSTAKA
----- Australia,
Jepang menarik manfaat dari proyek gas milyaran dolar dalam http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2012-05-19/australia-jepang-menarik-manfaat-dari-proyek-gas-milyaran-dolar/946702
----- Japan links subs to regional stability dalam surat kabar The Australian,
interview dengan Fumio Kishida dapat diakses di <theaustralian.com.au>
Brian White, Diplomacy, dalam
John Baylis dan Steve Smith, The Globalization of World Politics: An
Introduction to International Politics.
Bruce Vaughn, U.S. Strategic and Defense
Relationships in The Asia- Pacific Region, CRS Report for Congress, 22
Januari 2007
Djelantik, Sukawarsini. 2008. Diplomasi antara Teori dan Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Harris, Stuart. 1995. The role of China in Australia’s regional
Security environment.
Hill, Christopher R. 2005. “Emergence of
China in the Asia-Pacific Economic and Security Consequences for the US” 7 Juni
2005. diambil dari
http://foreign.senate.gov/testimony/2005/HillTestimony050607.Pdf
Huntington, Samuel. The lonely superpower.
Foreign Affairs Vol. 78 No. 2 Maret / April 1999, hal 35-49
Kahler, Miles. 1991 “Multilateralism
with Small and Large Numbers.”
Keohane, Robert O. 1990.“Multilateralism:
An Agenda for Research”.
Mas’oed, Mohtar. 1990. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan
Metodologi. Jakarta: LP3ES.
Paul,
T.V., James J. Wirtz, and Michel Fortmann. 2004. Balance of Power: Theory and Practice in the
21st Century. California: Stanford University Press.
Perlez, Jane. ‘China’s Role Emerges as Major
Issue for Southeast Asia’ The
New York Times, 14 Maret 2006, http://www.nytimes.com/2006/03/14rice.html?ex=12992400&en=a5a92b09381ed=50888partner=rssny&emc=rss&pagewanted=all.
Robert Ayson, Kevin Rudd and Asia’s
Security, Japan Focus http://www.japanfocus.org/products/topdf/2591
Roy, S.L. 1998. Diplomasi,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Snow, Donald M and
Eugene Brown. 2000. International
Relations: The Changing Contours of Power. New York: Addison Wesley
Longman, Inc.
Watson, Adam.
Diplomacy: The Dialogue Between States.
[1]
Hill, Christopher R. 2005.
“Emergence of China in the Asia-Pacific Economic and Security Consequences for
the US” 7 Juni 2005.
Accesed from <http://foreign.senate.gov/testimony/2005/HillTestimony050607.Pdf>
[2] “Japan links subs to regional stability” dalam surat kabar The Australian, interview dengan Fumio Kishida dapat diakses di
<theaustralian.com.au>
[3] “Australia, Jepang menarik manfaat dari proyek gas milyaran dollar” dalam <http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2012-05-19/australia-jepang-menarik-manfaat-dari-proyek-gas-milyaran-dolar/946702>
[1] Diplomatic bluebook for 1975Review
of Recent Development in Japan’s Foreign Relations yang
dikeluarkan pada Desember 1976 oleh Public Information Bureau Kementerian
Hubungan Luar Negeri Jepang. Chapter 2. Diplomatic Efforts Made by Japan.
Section 1. Promotion of Relations with Other Countries. Digital version http://www.mofa.go.jp/policy/other/bluebook/1975/1975-contents.htm#CONTENTS
[2] Jain, ‘Japan-Australia Security Ties and the United States’, pp.
521-5.
[3] Amy King, ‘Australia and Northeast Asia’, in Peter Dean, Stephan
Frühling and Brendan Taylor (eds.), Australia’s Defence: towards a new era?,
Melbourne University Publishing: Melbourne, 2014, p. 97.
[4]
Abe,
Shinzo. “Japan and NATO as ‘Natural Partners.’” Delivered May 6, 2014. Japan.
Prime Minister and His Cabinet.
http://japan.kantei.go.jp/96_abe/statement/201405/nato.html; Japan. MOFA.
“Joint Exercise in Counter Piracy Activities between Japan and NATO.” September
26, 2014. http://www.mofa.go.jp/press/release/ press4e_000438.html; NATO.
Allied Command Operations. “NATO and Japan Counter-Piracy Forces Strengthen
Relations.” November 28, 2014..
http://www.aco.nato.int/nato-and-japan-counterpiracy-forces-strengthen-relations.aspx.
[5] Ishihara, Japan-Australia Security Relations and the Rise of China,
p. 86.
[6] Rick Wallace, ‘Shinzo Abe Tipped to Seek Alliance Between Japan and
Australia’, The Australian, 29 June 2014; Tomohiko Satake, ‘Why a Strong
Australia-Japan Relationship Matters’, Australia & Japan in the Region,
Vol. 3, No. 5, May 2015, p. 1.
[7] Japan Ministry of
Defense, Defense of Japan 2014, Ministry of Defense: Tokyo, 2014, p.
390, available at <http://www.mod.go.jp/e/publ/w_paper/2014.html>
[8]
Ishihara, Yusuke.
“Japan-Australia Defence Cooperation in the Asia Pacific Region.” William T.
Tow
and Tomonori Yoshizaki, eds. (Tokyo: The National Institute for Defense
Studies, 2013), 118
[9] ‘2+2’ merupakan pertemuan
yang melibatkan dua menteri dari dua negara. Jepang dan Australia mempertemukan
masing-masing menteri luar negeri dan menteri pertahanannya.
[10] Joint Communique – Sixth
Japan-Australia 2+2 Foreign and Defense Ministerial Consultations <http://foreignminister.gov.au/releases/Pages/2015/jb_mr_151122.aspx>
[11] Joint Communique – Sixth
Japan-Australia 2+2 Foreign and Defense Ministerial Consultations <http://foreignminister.gov.au/releases/Pages/2015/jb_mr_151122.aspx>
[12]
Australia. MOFA. “China’s
Announcement of an Air-Defence Identification Zone over the East China Sea.”
November 26, 2014. Accessed December 10, 2015.
<http://foreignminister.gov.au/releases/Pages/2013/jb_mr_131126a.aspx?ministerid=4>
No comments:
Post a Comment