1.
PENDAHULUAN
Jepang
merupakan negara dengan bangsa yang tidak mengenal monotheisme. Bangsa Jepang
cenderung sering mengadaptasi pemikiran dan agama dari luar Jepang untuk –
secara sadar ataupun tidak sadar – diterapkan dalam kehidupan spiritualitasnya.
Konsep shinbutsu shuugou (神仏習合) adalah contoh dari
penggabungan/sinkretisasi Budha dan Shinto. Tidak hanya Budha dan Shinto yang
menjadi landasan spiritual masyarakat Jepang, agama-agama dari barat seperti
Kristen juga diaplikasikan dalam kehidupan, misalnya dalam pernikahan.
Kehidupan sehari-hari juga tidak lepas dari pengaruh kepercayaan asing maupun
filosofi asing seperti Konfusianisme dan Taoisme.
Taoisme,
Konfusianisme, dan Buddhisme merupakan tiga agama besar di Cina dan Timur Jauh.
Namun, berbeda dengan Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme tidak menjadi agama
dunia tetapi pada dasarnya tetap berada di Cina dan di tempat mana pun yang
dipengaruhi kebudayaan Cina. Walaupun tidak ada angka resmi jumlah pengikutnya
di Cina, Taoisme beserta Konfusianisme telah menguasai kehidupan agama hampir
seperempat penduduk dunia selama 2.000 tahun terakhir.
Dapat
dikatakan bahwa Taoisme dan Konfusianisme merupakan dua pengungkapan yang
berbeda untuk konsep yang sama. Taoisme mengambil pendekatan yang mistis dan,
dalam bentuknya yang semula, menganjurkan sikap tidak aktif, berdiam diri,
serta pasif, menjauhi masyarakat dan kembali ke alam. Gagasan dasarnya adalah
bahwa segala sesuatu akan menjadi benar jika orang mau duduk tenang, tidak
berbuat apa-apa, dan membiarkan alam berjalan dengan sendirinya.
Banyak
yang mengenal Taoisme sebagai sebuah falsafah tentang keseimbangan hidup dan
keselarasan alam saja. Taoisme sebenarnya sudah muncul beberapa ribu tahun
sebelum kemunculan Konfusianisme yang ajaran dan pemikirannya lebih terkenal dalam
kehidupan bermasyarakat masyarakat Jepang. Taoisme pada akhirnya (di China
sendiri) menjadi agama dan kepercayaan rakyat. Fokus ajarannya adalah
pencapaian keharmonisan hidup, kesempurnaan dan kerohanian. Taoisme sempat
berkembang di lingkungan kekaisaran namun tersaingi oleh doktrin Konfusianisme.
Bedanya Taoisme lebih memandang manusia sebagai bagian dari alam dan
keharmonisan hubungan, Konfusianisme menekankan adanya gap dan hirarki antar
manusia.
Representasi
filosofi konfusianisme di Jepang tercermin pada hierarki dan gap antar manusia.
Hal ini bisa dilihat di lingkungan kerja, sekolah, bahkan dalam kehidupan
masyarkat biasa. Ajaran konfusianisme juga terbawa hingga ke dunia bisnis dan
semangat kerja. Sementara itu Taoisme membawa kecenderungan untuk membentuk
keselarasan dengan alam, ajarannya pun tidak doktrinal, namun lebih terpaku
pada keseimbangan, yin dan yang. Selain itu, alam sering kali dikaitkan dengan
hal-hal gaib seperti setan dan dewa.
Beberapa ahli mengemukakan hipotesis bahwa Shinto di
Jepang merupakan turunan dari Taoisme. Hal ini karena ajaran keduanya sama sama
tidak doktrinal, berorientasi pada kehidupan duniawi, kepercayaan pada roh.
Shinto dan Taoisme merupakan sama sama sebuah usaha pencarian jalan Dewa dan
jalan kesempurnaan ke langit. Berlandaskan hipotesis tersebut, penulis akan
memaparkan adanya sinkretisme dan akulturasi filosofi dari kepercayaan Taoisme
dalam kehidupan spiritual masyarakat Jepang.
2. TAOISME
Taoisme diajarkan
oleh Lao Zi yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Zi melawan Konfusius. Menurut Lao
Zi, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”lah yang merupakan Tao. Tao
menurut Lao Zi adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat
tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Zi lebih-lebih metafisika,
sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah
kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga
dipentingkan di India dan dalam filsafat Barat di mana kesadaran ini disebut
“docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”.
Taoisme di sini
adalah 道家 Daojia
(=filsafat Jalan/Tao). Mula-mula oleh Sima Tan aliran ini disebut 道德家 Daodejia (filsafat jalan
dan kebajikan), belakangan disebut Daojia. Harap dibedakan pengertiannya dengan
道教 Daojiao (agama Tao). Umumnya
keduanya sama2 ditulis dalam bahasa Inggris sebagai Taoism. Daojia juga harus
dibedakan dengan Daoxue (道學), yang merupakan aliran
kebangkitan Rujia baru yang muncul ketika Dinasti Song. Oleh orang Barat Daoxue
disebut Neo-Confucianism.
Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam
masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak
Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara
Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada
pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada
perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas
tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang
melakukan penelitian mendalam di bidang ini.
Memang, ada
keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao
sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai
agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great
Peace yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Zi. Dalam arti
tertentu, Lao Zi sendiri seringkali dianggap sebagai “dewa“. Ia punya beberapa
julukan, seperti “Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan “Yang
memiliki status sebagai Dewa” (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar
antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman tentang
tujuan dari keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois berpendapat bahwa
tujuan setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh sebab itu,
mereka perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama
Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai
keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat
dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini,
kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam.
Para filsuf
Taoisme berpendapat bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang
yang tidak mencari kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao
Te Ching pada bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.” Di
dalam beberapa tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang pada masa kuno
tidak mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak
mengetahui apapun tentang membenci kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup
dan mati sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh…
manusia tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”
Jelaslah bahwa
para filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk memilih
antara kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara
keduanya, orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden
dari filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan,
“…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak
alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif
dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai
wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya
keabadian jiwa sebagai prinsip utama.
Filsafat Taoisme
dan agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya orang
bersikap di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi
(antitraditional) dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao
Tzu dan Chuang Tzu bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga
terhadap nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa
masyarakat akan jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum,
dan penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat
menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak
memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama
Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang
tulus kepada orang tua mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih,
seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang
haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam
mengatur dunia.
Agama Taoisme
memang memberikan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan praktis yang
bersifat temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan
kritis, maka agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat
sosial dan praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki
pengertian-pengertian yang agak berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme,
seperti wu-wei, Tao, dan te, jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka
agama Taoisme.
3. MASUKNYA TAOISME KE JEPANG
Berkembangnya
pengaruh dari Cina ke Jepang tidak lepas dari peran orang-orang Tionghoa yang
datang dan menetap di Jepang. Mereka mempengaruhi Jepang dengan ajaran yang
dibawanya seperti Konfusianisme, Taoisme dan Agama Budha yang sangat erat
dengan kebudayaan di Cina yang dibawa ke Jepang.
Sejarah Cina melaporkan bahwa pada tahun
219 SM, Kaisar Shi Huangdi dari dinasti Qin mengirimkan sebuah armada
kapal dengan 3.000 anak lelaki dan perempuan untuk mencari Pulau Penglai yang
menurut legenda adalah tempat tinggal para manusia abadi, guna membawa kembali
tanaman yang berkhasiat mendatangkan kehidupan abadi. Tentu saja, mereka tidak
kembali membawa eliksir itu, tetapi menurut kisah turun-temurun, mereka
mendiami kepulauan yang kemudian dikenal sebagai Jepang.
Sebagai
pendatang di Jepang, orang-orang Cina ini tetap hidup dengan budaya mereka
sendiri. Awalnya orang Jepang hanya melihat cara hidup orang-orang Cina,
kemudian lama-kelamaan mereka menganggap cara hidup orang Cina tersebut sebagai
sesuatu yang indah dan menganggap
tinggi kebudayaan orang-orang Cina, hingga akhirnya mereka menirunya. Pengaruh Taoisme masuk pula ke
Jepang. Unsur dari Taoisme yang berkembang di Jepang terletak dalam bentuk
penggunaan magic atau sihir yang disebut dengan
shamanisme di Jepang.
Rupanya,
tidak hanya kepercayaan akan sihir yang diserap dalam kehidupan spiritualitas
masyarakat Jepang, banyak ajaran Taoisme lain yang terimplementasikan dalam
kehidupan spiritualitas dan pila pikir masyarakat Jepang.
4. BEBERAPA AJARAN TAOISME DALAM SPIRITUALITAS
JEPANG
Keselarasan manusia dengan alam
semesta menjadi ajaran yang sangat mendasar dalam kepercayaan Tao, dan hal ini
diterapkan juga di Jepang dengan perilaku masyarakatnya yang tidak ingin
merusak alam dan cenderung menyukai hal-hal yang natural dan alami. Dunia dan
alam memiliki kehendak, apabila kita baik pada alam, alam akan baik pada kita,
apabila rakyat menurut pada penguasa, rakyat akan sejahtera, dll.
Dalam upaya menyatu dengan alam,
para Taois terobsesi oleh keabadian dan ketangguhan alam. Mereka berspekulasi
bahwa barangkali bila seseorang hidup serasi dengan Tao, atau jalan alam, ia
akan dapat memanfaatkan rahasia alam sehingga kebal terhadap celaka fisik,
penyakit, bahkan maut. Walaupun Laozi tidak mempersoalkannya, suatu bagian
dalam Dao De Jing tampaknya
menyiratkan gagasan ini. Misalnya, pasal 16 berkata, ”Menyatu dengan Tao
berarti kekal. Dan walaupun tubuh mati, Tao sekali-kali tidak akan lenyap.”
Ajaran Tao tidak memiliki
konsep awal dan akhir dari dunia, namun ada roh di seluruh benda di alam ini.
Hal ini nyaris sama dengan ajaran Shinto dimana tidak ada dogma mengenai kapan
dunia ini berawal, kapan manusia diciptakan, oleh siapa manusia diciptakan dan
kapan seluruh kehidupan berakhir. Akan tetapi, ada juga keyakinan bahwa manusia
bisa menjadi dewa. Dalam ajaran Tao, meyakini bahwa seorang pemeluk Tao yang
baik tidak akan ‘benar-benar’ mati, orang yang baik diibaratkan bagai tumbuhan
yang memiliki tunas, meskipun batangnya mati, tunasnya yang mengakar akan
tumbuh kembali. Hal ini diinterpretasikan sebagai sebuah konsep reinkarnasi
yang dimiliki oleh agama Budha dan diyakini oleh masyarakat Jepang kebanyakan.
Totalitas dalam kehidupan yang
diajarkan oleh agama Tao tercermin dalam ajaran Shinto yang lebih condong pada
keduniawian dan terefleksikan pada sikap masyarakat Jepang yang penuh
totalitas, baik dalam menjamu tamu, bekerja dan menuntut ilmu. Tenang, lembut,
tidak saling berbenturan dalam Taoisme tercermin dalam karakter bangsa Jepang
yang memiliki konsep honne, tatemae, untuk menghindari sesuatu yang
konfrontatif dalam pergaulan.
Tao juga menghindari
kesombongan dan keinginan untuk menjadi menonjol. Ajaran ini sudah bisa kita
lihat dalam kehidupan keseharian masyarakat Jepang yang mengklaim ajaran ini
asalnya dari ajaran Budha (tidak memamerkan kebaikan dan selalu merasa penuh
dosa) sekaligus Taoisme (lemah lembut, rendah hati).
Taoisme tidak diakui secara
legal tapi pemikirannya mengakar dalam kehidupan masyarakat Jepang dan
tersinkretisasi dalam beberapa ajaran agama/kepercayaan yang diadopsi Jepang
dari luar maupun kepercayaan asli mereka. Taoisme memang mirip dengan Shinto,
namun walaupun di negara asalnya pemikiran Taoisme menjadi kepercayaan dan
agama, di Jepang tidak ada tempat pemujaan terhadap dewa tertentu.
Di Jepang masih ada pemujaan atau
tindakan mensakralkan benda-benda yang dipercaya memiliki roh atau berhubungan
dengan alam gaib, seperti cermin, pisau/benda tajam, pedang dan lain-lain. Hal
ini amat mirip dengan kepercayaan Taoisme yang mensakralkan benda-benda
tersebut.
5.
AJARAN TAO DALAM POLITIK DAN
MASYARAKAT DI JEPANG
Pemikiran
Taoisme Lao Zi juga bisa diterapkan dalam konteks kehidupan sosial. Masyarakat
ideal Taoisme adalah masyarakat primitif dengan tata kehidupan yang alami,
harmonis, sederhana, dan berjalan tanpa kompetisi ataupun perang.
“Biarlah
ada sebuah negara kecil dengan populasi yang kecil… biarlah orang memberi nilai
tinggi bagi kehidupan mereka dan tidak bermigrasi ke tempat yang jauh… biarlah
mereka makan dengan senang, menikmati pakaian mereka, nyaman dengan rumah
mereka, dan puas dengan budaya mereka.” Lao Zi
Hal
ini tercermin dalam respon masyarakat Jepang terhadap kehidupan politik, dimana
masyarakat tidak terlalu agresif terhadap konsep pemerintahan dengan
melancarkan protes melalui demonstrasi, dan lain-lain. Masyarakat percaya bahwa
jika pemerintahan dan pemimpin sudah berjuang dengan baik, maka rakyat akan
tenteram. Pemikiran tersebut terdapat dalam filsafat Tao, wu wei (non-action) berarti orang bertindak seturut
dengan hukum-hukum langit (heaven). Jika dikaitkan dengan kehidupan
manusia, non-tindakan mengacu pada sikap untuk tidak memaksakan hal-hal yang
berjalan secara alami di dalam realitas. Dengan begitu berawal dari kehidupan
masyarakat sosial hingga kehidupan politik pemerintahan, masyarakat menghindari
konfrontasi demi kehidupan yang harmonis dan damai
Contoh
lain konsep filosofi wu wei dalam Taoisme bisa dilihat jelas
dalam seni beladiri Aikido di Jepang. Di dalam aikido, orang
bergerak mengikuti keinginan dan arah gerakan lawannya, dan sama sekali tidak
melakukan perlawanan. Teknik mengalahkan lawan bukan dengan menyerangnya dengan
kekerasan, tetapi dengan secara pasif menggunakan kekuatannya untuk
menjatuhkannya sendiri.
Ajaran
kepercayaan Taoisme memang tercermin dalam kehidupan masyarakat Jepang, bahkan
tercermin dalam Shintoisme, Jepang tidak pernah mengakui secara legal bahwa
Taoisme menjadi bagian dari keyakinan mereka dengan tidak adanya kuil atau
tempat meditasi sesuai ajaran Taoisme.
6. BEBERAPA KESAMAAN LAIN ANTARA
AJARAN TAO DAN SHINTOISME
· Gunung dan gue yang disakralkan/disucikan
· Pemujaan terhadap benda-benda seperti pedang atau
cermin sebagai simbol kepercayaan/hal hal gaib.
· Respon intuitif terhadap kehidupan seluruh dunia
· Kecurigaan terhadap rasionalitas
· Ketiadaan hal hal yang bersifat dogmatis
· Dimanfaatkan oleh penguasa untuk melegitimasi
kekuasannya.
· Ambigu, kontradiktif
7. KESIMPULAN
Pertumbuhan
dan perkembangan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan
kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu
telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari
luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan
pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual
bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar
senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir
sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau
kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang
spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari
luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama
asli Jepang.
8.
DAFTAR
REFERENSI
Barrett, Tim
‘Shinto and Taoism in early Japan’ in Shinto in History: Ways of the
Kami by Mark Teeuwen (Editor) John Breen (Editor) (Author). Also
Kuroda Toshi’s ‘Shinto in the history of Japanese Religion’ tr. by James C.
Dobbins and Suzanne Guy
Liu Xiaogan, “Taoism”, dalam Our Religions,
Arvind Sharma (ed), New York: HarperCollins, 1993
Taniputera,
Ivan. 2008.History of China.Jogjakarta:AR-RUZZ MEDIA.
Watts, Alan 2003, The Tao Of Philosophy, Jendela,
Yogyakarta.
Yu-Lan, Fung. A
History of Chinese Philosophy, vol. I & II. 1952. Princeton: Princeton
University Press.
Zaenurrofik,A.2008.China
Naga Raksasa Asia.Jogjakarta:GARASI.
No comments:
Post a Comment