Oleh: Rizki H. Valentine
Kajian Wilayah Jepang UI
“Zazen is an
activity that is an extension of the universe.
Zazen is not
the life of an individual, it's the universe that's breathing.”
--Dogen Zenji
Masyarakat
Jepang dengan teknologi dan kehidupan ekonomi yang terus berkembang semakin
disibukkan dengan hal-hal yang berbau duniawi seperti pekerjaan. Apalagi
ditambah berbagai problem sosial, demografi, ekonomi, hingga persoalan
pemerintahan. Hal tersebut membuat manusia hidup tanpa menyadari secara utuh
bahwa mereka bisa menyatu dengan alam. Dengan demikian manusia hanya hidup
dalam kelimpahan harta dan uang, namun hatinya penuh penderitaan, rasa takut
dan rasa benci[1].
Manusia mulai kehilangan orientasi hidup karena sudah terlanjur bergantung pada
teknologi dan barang-barang ciptaan sendiri. Tak heran, tingkat bunuh diri,
stress, depresi dan beragam penderitaan batin lainnya semakin meningkat.
Di tengah
kesibukan duniawi, meditasi merupakan salah satu cara untuk memperoleh
ketenangan dan mencapai pandangan terang secara spiritual. Meditasi adalah jalan pintas untuk
mencapai pencerahan.
Para guru
spiritual menyatakan bahwa meditasi,
dalam banyak tradisi, memang
sangat dianjurkan. Terutama dalam Buddhisme.
Orang Jepang modern melakukan meditasi
karena adanya kesadaran bahwa batinnya dalam keadaan tidak aktif karena
yang bersangkutan merasa tidak memerlukannya atau tertutup oleh rangsangan
mental yang berorientasi kepada hal-hal yang bersifat materi dan
keduniawian. Bathin atau hati nurani dapat diaktifkan dengan jalan
meditasi, melatih diri terhadap kepekaan akan hal-hal yang non fisik misalnya
tentang kecenderungan pikiran, emosi dan perasaan diri sendiri maupun orang
lain. Dan juga kepekaan terhadap kejadian alam semesta yang tidak kasat mata[2].
Masyarakat Jepang, meskipun tidak secara
kaku dan tidak fanatik memeluk agama Budha saja, mereka masih mempercayai
spiritualitas Budha dan dewa-dewa dalam ajaran Budha, termasuk bagaimana usaha
mencapai ketenangan, pencerahan dan nirvana.
Ada dua pendirian dalam Budhisme
Jepang yaitu :
1. Mencapai kelepasan dengan usaha
sendiri. Pendirian inilah yang disebut Zen Budhisme. Pengikut Zen berusaha mencapai
ilham tertinggi dengan kontemplasi (latihan-latihan rohaniah yang mendalam).
Untuk itu orang yang berkontemplasi harus dapat mendisiplinkan diri
serta memiliki ketenangan batin setinggi-tingginya.
2. Sedang dipihak lain
ingin melepaskan diri atas dasar kepercayaan bahwa kelepasan itu dapat ditolong
oleh yang maha gaib (dewa-dewa).
Dalam Buddhisme, Zen sendiri memiliki
tiga arti yang berbeda namun berkaitan :
1. Zen berarti meditasi. Zen adalah
istilah Jepang mengungkapkan Bahasa Cina Cha’n, yang berarti ‘ditelusuri’, berasal
dari bahasa Sansekerta Dhyana.
2. Zen adalah nama dari kekuatan
absolut atau realitas tinggi yang tidak dapat disebutkan dengan kata-kata.
3. Zen adalah pengalaman mistis akan
keabsolutan kekuatan tersebut, suatu kesadaran tiba-tiba dan diluar batasan.
Pengalaman mistis ini biasanya disebut kesadaran atau Wu dalam bahasa Cina dan
Satori dalam bahasa Jepang.
Zen menuntut pengalaman langsung - bukan hasil
pemikiran teori atau hasil menjalankan suatu ritual tertentu. Satu-satunya
'iman' yang dituntut dari seorang praktisi Zen adalah keyakinannya pada
pencerahan Siddharta. Meditasi harus dijalani dengan tubuh sendiri
- bukan dengan pikiran atau yang lain. Dogen Zenji pernah mengatakan :
'Dalam tubuh yang tak lebih dari dua meter inilah - seseorang dengan ketekunan
akan menemukan Buddha!'
Seorang
guru Zen, Dogen Zenji mengatakan, "Untuk mempelajari
jalan hidup Buddha adalah dengan mempelajari diri sendiri. Mempelajari diri
dilakukan dengan melupakan diri, dan kita bisa melupakan diri dengan
tercerahkan oleh puluhan ribu hal lain." Aliran Zen sendiri berpendirian
bahwa kepribadian-Budha itu hidup membenam dalam diri manusia, dan melalui
renungan di dalam semadi, maka kepribadian Budha itu dapat dilihat. Isi kepribadian-Budha itu ialah
kekosongan (sunyata), yakni, kosong dari setiap ciri-ciri khusus. Alam lahir
dengan seluruh ciri-ciri khusus itu Cuma tipuan-khayal (maya) belaka. Jalan
satu-satunya bagi mendekaati kebenaran terakhir itu ialah melalui meditasi,
yang terbagi dalam dua macam:
1. Tathagatha-Meditation,
yaitu cara samadhi dari Budha Gautama, mempergunakan kodrat-kodrat renungan.
2. Patriarchal-Meditation,
yaitu cara samadhi yang diajarkan Patriach Bodhidarma, meniadakan pemikiran dan
memusatkan kesadaran rohani bagi mencapai kepribadian-Budha.
Meditasi Zen merupakan salah satu meditasi
yang populer di Jepang, bahkan di seluruh dunia. Ini adalah meditasi yang
banyak dilakukan oleh orang Jepang, baik orang biasa atau para rahib. Zen
Buddhisme, merupakan salah satu bentuk ajaran Buddha yang menekankan pada pengalaman
hidup dan meditasi dalam kehidupan sehari-hari. Zen meditation adalah disiplin meditasi yang praktisi lakukan untuk
menenangkan tubuh dan pikiran, dan agar dapat cukup berkonsentrasi untuk
mengalami wawasan terhadap sifat eksistensi dan dengan demikian mendapatkan pencerahan. Zazen dianggap sebagai inti dari praktek Zen. Tujuan dari zazen tak hanya duduk, yaitu menangguhkan semua pemikiran yang menghakimi,
dan membiarkan kata-kata, ide, gambar dan pikiran lewat tanpa terlibat di
dalamnya. Dalam duduk bermeditasi, seseorang harus menjaga keseimbangan posisi
dan postur tubuh serta mengatur keluar masuk udara pernapasan[3].
Meditasi Zen adalah cara utama untuk
mendapatkan pengalaman langsung dengan realitas tertinggi, dan mungkin orang
yang melaksanakan meditasi akan mengalami pemahaman realitas kosmis ini dalam
situasi yang penuh inspirasi saat mengalami kesadaran spiritual. Zen Buddhisme memberikan fokus pada
meditasi untuk mencapai penerangan atau kesempurnaan dengan menghilangkan rasa marah, kesal, dan
ego dengan jalan mengosongkan dan menata kembali pikiran. Ajaran ini mengajarkan bahwa
seseorang harus menemukan pengertian tentang kehidupan meski tak dapat
diungkapkan dengan kata-kata.
Ada beberapa aliran Zen, akan tetapi
dalam tulisan ini hanya aliran yang berkembang pesat di Jepang saja yang akan
diulas. Di Jepang, hanya aliran Rinzai dan Soto yang mendasari perkembangan
Zen. Tokoh-tokohnya adalah Eisai (pendiri Rinzai) dan Dogen dan Keizan (Pendiri
aliran Soto). Tradisi Rinzai berdasarkan pada disiplin yang ketat yang didisain
untuk mengartikulasikan penciptaan mental. Koan
atau pertanyaan yang membingungkan dan susah untuk dijawab merupakan aspek yang
sangat penting dan ketetapan hatinya, melampaui alam intelek, yang memimpin
langsung untuk ke pengalaman tentang Satori dan terbangunnya kesadaran
(awakening).
Sementara itu, tradisi Soto
bertujuan melampaui segala sesuatu untuk berkonsentrasi dan merenungkan
kehidupan Sang Buddha, mengikuti keseharian Sang Buddha, rasa syukur yang
bertambah setiap harinya terhadap keberadaan sehari-hari, tanpa mengharapkan
apa pun yang biasa. Esensi dari Soto adalah Shikatanza, duduk dan hanya duduk.
Dengan Master Dogen (1200-1254) tradisi Soto dan esensi Buddhisme mencapai satu
level kematangan dan ketelitian yang susah untukd iatasi pada saat yang lain.
Masterpiecenya, “Shobogenzo” merupakan karya yang sangat diperlukan untuk
memahami Buddhisme dan esensi dari seluruh Peradaban Timur.
Ada
tiga tahap yang biasa ditempuh dalam meditasi Zen Buddhisme yakni mengambil
posisi zazen yang berarti meditasi
duduk, yaitu sikap merenung yang mendalam dengan cara diam berjam-jam dan
bahkan berhari-hari. Sikap ini dilanjutkan dengan Koan
yang berarti konsentrasi akan suatu masalah tertentu, suatu masalah yang sulit
yang sebenarnya tidak bisa dijawab, tetapi bisa direnungkan[4]. Kemudian dilanjutkan dengan 'Sanzen', yaitu bimbingan mengenai soal-soal
meditasi. Bila ketiga jalan ini dapat dijalankan dengan baik, seseorang akan
memasuki keadaan pencerahan yang disebut 'Satori',
yaitu suatu situasi santai yang baru dirasakan sebagai suatu pengalaman intuisi dan pengalaman mistik bahwa ia mencapai keseimbangan sempurna.
Tujuan akhir yang didapat dari Zen Buddhisme itu sendiri adalah
untuk mengakhiri penderitaan dalam kehidupan dengan memutus sebab-akibat
samsara untuk mencapai keadaan kedamaian sempurna, yakni Nirvana[5].
Untuk itu, Zen menganjurkan agar
pertama-tama, orang-orang mencari sifat diri, dengan
cara:
1. Mengkaji Zen melalui keragu-raguan
2. Mencari penyadaran melalui
perenungan.
3. Mempelajari Zen dengan bertanya dan penuh rasa
ingin tahu.
4. Menyadari Zen melalui pengalaman pribadi.
Zen telah mempengaruhi kehidupan
keseharian orang-orang Jepang. Pengaruh ini dapat dilihat pada kehidupan Jepang
seperti: Makan, berpakaian, kaligrafi, arsitektur, teater, musik, taman,
dekorasi dan lain sebagainya. Termasuk hari ini, ketika banyak orang Jepang
tidak mengetahui apa Zen Buddhisme secara teoretis dan mendalam, perilaku
keseharian mereka dan ekspresi-ekspresi mereka menunjukkan pengaruh ajaran ini
di Jiwa Jepang. Contohnya saja mereka mendekorasi taman dengan gaya Zen yang
mewakili kesederhanaan dan ketenangan jagad raya. Mereka secara tidak sadar
mencerminkan ajaran Zen Buddhisme dalam kekhusukan upacara minum teh. Tidak
hanya itu, masih banyak orang, terutama atlet yang ingin mencapai
kesempurnaan dalam seni bela diri seperti kendo,
judo, karate melalui praktek
Zazen. Praktek ini ideal bagi cara hidup petarung karena menekankan pada
ketenangan, kewaspadaan, dan kerelaan dalam menghadapi kematian[6].
Karena di Jepang
tidak mengenal hari libur keagamaan, upacara-upacara yang berbelit-belit kurang dilaksanakan. Orang cenderung melakukan pembakaran dupa wangi dan lilin pun hanya sekali-sekali ketika mereka
bermeditasi Zen.
Mereka juga mengulang Sutra, namun hal itu bukan merupakan suatu keharusan. Dalam kehidupan masyarakat Jepang
yang kebanyakan sangat sibuk bekerja, berinovasi, dan menggerakkan ekonomi
negara, meditasi dan ketenangan mencapai pencerahan tertinggi dalam ajaran Zen
Buddhisme sangat dibutuhkan untuk meredam kekacauan mental karena kehidupan
duniawi. Jiwa Budha berusaha dibangkitkan dalam ruh masing-masing individu
untuk menjaga dan terus memelihara kesadaran dan keseimbangan kehidupan.
DAFTAR
REFERENSI
Bdk, Funk, Rainer, Entfremdung heute Zur gegenwärtigen
Gesellschafts-Charakterorientierung, Tagungsbeitrag bei der Tagung der
Internationalen Erich-Fromm-Gesellschaft zum Thema Rebellen, Reformer und
Revolutionäre – Karl Marx und Erich Fromm in Trier vom 29. Juni bis 1. Juli
2007. Erstveröffentlichung in: Fromm Forum, Tübingen (Selbstverlag) 2008, S.
55-66.
Bodhidharma, The Zen Teachings of Bodhidharma,
North Point Press, New York, 1987, hal. 79Chung-Yuan, Chang, Original Cha’n Teachings of
Buddhism, Random House, New
York, 1971, hal. 4.
Watts, Alan, The Way of Zen, Pantheon Books,
New York, 1957, Bagian dua: Principles
and Practices.
Suzuki, Shunryu,
Zen, Zen Mind, Beginner’s
Mind,Weatherhill, New York, 1970, hal. 21.
Heine, Steve,Opening
a Mountain, Oxford University Press, Oxford, 2002, hal. 25.
Hoover, Thomas, Zen Experience, hal. 78.
Hoover, Zen Experience, hal. 140-154.
Sekkei , Harada. Hakikat Zen.Jakarta.PT.Gramedia Pustaka
Utama.2003
Suzuki, Shunryu, Branching Streams Flow in the
Darkness: Zen talks on the Sandokai, The Regent of the University of
California, California, 1999, hal. 28.
Zen & Martial
Arts. < http://zen-buddhism.net/martial-arts/zen-and-martial-arts.html>
[1] Bdk, Funk,
Rainer, Entfremdung heute Zur
gegenwärtigen Gesellschafts-Charakterorientierung, Tagungsbeitrag bei der
Tagung der Internationalen Erich-Fromm-Gesellschaft zum Thema Rebellen,
Reformer und Revolutionäre – Karl Marx und Erich Fromm in Trier vom 29. Juni
bis 1. Juli 2007. Erstveröffentlichung in: Fromm Forum, Tübingen (Selbstverlag)
2008, S. 55-66.
[2] Sekkei ,
Harada. Hakikat Zen.Jakarta.PT.Gramedia Pustaka Utama.2003
[3] Watts, Alan, The Way of Zen, Pantheon Books, New York, 1957, Bagian dua: Principles and Practices.
[4] Albert Low. Zen and The Sutra.
Jogjakarta.Ar-ruzz Media.2000. hal, 98
[5]
Bodhidharma, The Zen Teachings of Bodhidharma,
North Point Press, New York, 1987, hal. 79.
[6] Zen & Martial Arts. < http://zen-buddhism.net/martial-arts/zen-and-martial-arts.html>
Bdk, Funk, Rainer, Entfremdung heute Zur gegenwärtigen
Gesellschafts-Charakterorientierung, Tagungsbeitrag bei der Tagung der
Internationalen Erich-Fromm-Gesellschaft zum Thema Rebellen, Reformer und
Revolutionäre – Karl Marx und Erich Fromm in Trier vom 29. Juni bis 1. Juli
2007. Erstveröffentlichung in: Fromm Forum, Tübingen (Selbstverlag) 2008, S.
55-66.
Bodhidharma, The Zen Teachings of Bodhidharma,
North Point Press, New York, 1987, hal. 79Chung-Yuan, Chang, Original Cha’n Teachings of
Buddhism, Random House, New
York, 1971, hal. 4.
Watts, Alan, The Way of Zen, Pantheon Books,
New York, 1957, Bagian dua: Principles
and Practices.
Suzuki, Shunryu,
Zen, Zen Mind, Beginner’s
Mind,Weatherhill, New York, 1970, hal. 21.
Heine, Steve,Opening
a Mountain, Oxford University Press, Oxford, 2002, hal. 25.
Hoover, Thomas, Zen Experience, hal. 78.
Hoover, Zen Experience, hal. 140-154.
Sekkei , Harada. Hakikat Zen.Jakarta.PT.Gramedia Pustaka
Utama.2003
Suzuki, Shunryu, Branching Streams Flow in the
Darkness: Zen talks on the Sandokai, The Regent of the University of
California, California, 1999, hal. 28.
Zen & Martial
Arts. < http://zen-buddhism.net/martial-arts/zen-and-martial-arts.html>
[1] Bdk, Funk,
Rainer, Entfremdung heute Zur
gegenwärtigen Gesellschafts-Charakterorientierung, Tagungsbeitrag bei der
Tagung der Internationalen Erich-Fromm-Gesellschaft zum Thema Rebellen,
Reformer und Revolutionäre – Karl Marx und Erich Fromm in Trier vom 29. Juni
bis 1. Juli 2007. Erstveröffentlichung in: Fromm Forum, Tübingen (Selbstverlag)
2008, S. 55-66.
[2] Sekkei ,
Harada. Hakikat Zen.Jakarta.PT.Gramedia Pustaka Utama.2003
[3] Watts, Alan, The Way of Zen, Pantheon Books, New York, 1957, Bagian dua: Principles and Practices.
[4] Albert Low. Zen and The Sutra.
Jogjakarta.Ar-ruzz Media.2000. hal, 98
[5]
Bodhidharma, The Zen Teachings of Bodhidharma,
North Point Press, New York, 1987, hal. 79.
[6] Zen & Martial Arts. < http://zen-buddhism.net/martial-arts/zen-and-martial-arts.html>
Thanks for posting this.
ReplyDelete