Friday, January 1, 2016

Seusai Senja



Senja,
Kau memang senja, dikikis malam, berujung gelap yang akhirnya digusur benderang fajar.
Kuharap setelah fajar, surya meraja, dan kau kan kembali menyapa. Menguning di cakrawala lalu bergeming ditelan gulita.
Begitu seterusnya.

            Hari itu, Rabu 16 Oktober, aku melepasnya pergi. Maksudku, pergi dari kota yang mempertemukan kami dalam sebuah instansi pendidikan, memaksa kami bertemu hampir tiap hari, hingga akhirnya rutin mengirim pesan singkat hanya sekedar menanyakan ada berita seru apa di kampus.
            Kami bertiga, aku, dia yang bernama Senja, dan Manda. Tak ada yang istimewa. Kami hanya tiga anak muda biasa yang akrab dengan kampus. Tidak. Kami tidak akrab dengan kampus. Malahan, bagi kami kampus adalah rumah kesekian setelah urutan rumah di kampung halaman dan rumah kontrakan.
                        “Ke kampus yuk Jul! Bete banget nih gue”
                        “Sen Sen, jalan yuk”
                        “Nda, lo nggak ngapa ngapain kan hari ini?”
                        “Lo tanya aja Julian, mau nggak dia?”
                        “Ikut dong, gak ada gue gak rame kali”
                        “Kalo Senja gak ada, gue ga ikut. Ngapain pergi kalo gak lengkap bertiga”
                        “Let’s have a vacation!
                        “Kemana? Kemana?”
                        “Backpacker-an ke Jogja yuk!”
                        “Hayuuuuk”
        Hingga sampai waktunya dia pergi paling awal. Dia yang lulus paling cepat diantara kami, dengan indeks prestasi kumulatif tertinggi dan diberi predikat dengan pujian.
Sebelum dia terlambat pergi, buru buru kubantu dia menutup pintu mobilnya setelah semua barang barang dia jejalkan masuk ke benda roda empatnya. Aku hanya tak ingin dia terlambat. Bukan terlambat pesawat. Bukan terlambat kereta. Aku tak ingin dia terlambat memberiku kesempatan melihat tangan kanannya yang masih sempat melambai sembari tangan kirinya memegang kemudi mobil yang melaju menjauh, semakin kencang lalu hilang. Aku hanya tidak bisa menangkap bayangan apapun sejak senja datang menjelang.
Seumur hidup aku tak pernah menikmati senja. Aku tak pernah melihat, membaca, melirik, mengintip, menonton apapun ketika matahari lelah bersinar. Aku kerap menangis di dada ibu ketika aku masih kecil dan bertanya kenapa mataku juga gelap saat langit menggelap? Karena aku rabun senja.
Dan Senja adalah senja terindah yang bisa kulihat sebelum aku menganggap diriku buta. Senja adalah senja terindah yang mungkin tidak indah bagi sebagian orang dari persepsi yang berbeda. Bagiku dia indah. Terlalu indah untuk mati.
          “Gila lo cantik banget!”
          “Padahal inget aja pas hari hari biasa, lo sama Kang Asep mah mirip!" 
          “Ya ampuuun, jahat banget sih, bukannya dibaik baikin, bentar lagi gue out dari kampus nih!”
         “Iya ya, ya Alloh, gak nyangka ya, empat tahun tuh cepet dan lo yang lulus tepat waktu”
         “Meninggalkan kita yang masih harus cuddling sama skripsi!”
         “Uuuh, sounds sexy...!
         “Hahahah”
        “Tapi kalo lo wisuda lo berdua musti kasih tau gue. Apapun kerjaan gue ntar, gue bakal ambil libur buat dateng ke wisuda kalian. Kalian gak usah bayar tukang foto, karena fotografer kalian, udah di sini”
Kami berfoto. Manda di sebelah kiri, aku paling kanan dan Senja – dengan senyum terbaiknya yang bagiku terlalu cantik untuk ukuran gadis yang biasanya bertingkah serampangan – berdiri di tengah bak ratu di hari bahagianya.
Itu adalah kali terakhir kami bertatap muka, bercanda dan saling memeluk. Karena meskipun semua ucapannya terngiang jelas, nada bicara dan warna suaranya masih bisa terulang dalam pikiranku, dia tak datang hari ini. Dia tak datang untuk memotretku dan Manda yang di wisuda hari ini. Dia tak datang sekarang atau pun nanti.
Aku tidak akan melihat Senja lagi. Padahal hanya dia senja yang bisa kulihat, yang bisa kusentuh ketika senja yang lain tak pernah menjadi sahabatku. Padahal hanya dialah senja yang – meskipun tidak oranye – matanya menentramkan. Padahal hanya dia, senja yang bagiku tak pernah ditelan malam, tak pernah dinyanyikan sepi, tak pernah digenggam gelap.
Hanya dia, Senja, semua orang memeluknya, berfoto dengannya, karena dia adalah senja yang tak perlu menunggu matahari lelah untuk muncul. Senja seperti senja, yang mana dunia memilikinya, semua orang menyukainya. Begitu pun aku, yang menghabiskan hampir tiga tahun penuh untuk bermimpi bisa memilikinya.
Meski dia merasa bahwa dia milik dunia, dan semua orang bisa mendapatkan kemurahan hatinya, akhirnya aku mengerti, senja selalu menyimpan remang, sisi gelap. Senja juga begitu. Dia tak pernah mengatakannya. Hingga sampai waktunya aku dan Manda menyaksikannya lepas, ikhlas, direnggut maut yang cadas.
Seolah menunggu semua orang, dia membiarkanku, Manda, dan beberapa belas teman kuliah yang terbilang dekat dengannya, menjadi saksi tanpa dia mengatakan apa apa. Senja hanya menyampaikan selamat tinggal di senyumnya yang legowo dengan mata yang mengerdip pelan. Aku masih bisa memvisualisasikan kembali detik detik perpisahan kami. Ketika matanya bersirobrok dengan mataku, lalu menatap suster di sampingnya sebentar dan memalingkan wajahnya ke kanan. Kukira dia akan membuka matanya kembali untuk meminta suster menaikkan ranjangnya sehingga dia bisa setengah duduk memulai percakapan dengan salah satu dari kami.
...
...
Tapi dia tak membuka matanya.
Selamanya.
Senja pergi dalam gemingnya tanpa mengeluh bahwa dia mengidap mesothelioma selama ini. Senja menyelesaikan kuliahnya dalam rasa sakit yang panjang dan tenang. Senja merampungkan misi hidupnya: sesebentar apapun hidup ini, yang penting satu, kita berguna untuk orang lain dan pernah berbuat baik meskipun sederhana.
Aku tidak menyesali kepergiannya. Walau kini tidak ada lagi Senja selain senja yang tak bisa kulihat. Walaupun kini aku benar benar tak dapat melihat senja yang manapun. Yang kusesali hanyalah Manda yang menangis mengenang janji Senja, janji kita bertiga untuk bertemu kembali di tempat kami berdiri kini.
Manda sesenggukan. Aku iba padanya, dan pada diriku sendiri. Aku menatapnya dalam, meski terhalang kibaran tali toga yang tadi telah dipindah ke kanan oleh rektor.
      “Gue berani taruhan, Senja nggak bakalan suka ngeliat lo nangisin dia sampe maskara sama eyeliner elo becek kayak gitu” gumamku. Manda menyambut sapu tangan yang kuulurkan padanya.
Senja, kau melihat kami dari sana?
Sabtu, 02 Nopember 2013
21:39
Gresik

No comments:

Post a Comment