Senja,
Kau
memang senja, dikikis malam, berujung gelap yang akhirnya digusur benderang
fajar.
Kuharap
setelah fajar, surya meraja, dan kau kan kembali menyapa. Menguning di
cakrawala lalu bergeming ditelan gulita.
Begitu
seterusnya.
Hari itu, Rabu 16 Oktober, aku
melepasnya pergi. Maksudku, pergi dari kota yang mempertemukan kami dalam
sebuah instansi pendidikan, memaksa kami bertemu hampir tiap hari, hingga
akhirnya rutin mengirim pesan singkat hanya sekedar menanyakan ada berita seru
apa di kampus.
Kami bertiga, aku, dia yang bernama
Senja, dan Manda. Tak ada yang istimewa. Kami hanya tiga anak muda biasa yang
akrab dengan kampus. Tidak. Kami tidak akrab dengan kampus. Malahan, bagi kami
kampus adalah rumah kesekian setelah urutan rumah di kampung halaman dan rumah
kontrakan.
“Ke kampus yuk Jul! Bete
banget nih gue”
“Sen Sen, jalan yuk”
“Nda, lo nggak ngapa
ngapain kan hari ini?”
“Lo tanya aja Julian,
mau nggak dia?”
“Ikut dong, gak ada gue
gak rame kali”
“Kalo Senja gak ada, gue
ga ikut. Ngapain pergi kalo gak lengkap bertiga”
“Let’s have a vacation!”
“Kemana? Kemana?”
“Backpacker-an ke Jogja yuk!”
“Hayuuuuk”
Hingga sampai waktunya dia pergi
paling awal. Dia yang lulus paling cepat diantara kami, dengan indeks prestasi
kumulatif tertinggi dan diberi predikat dengan pujian.
Sebelum
dia terlambat pergi, buru buru kubantu dia menutup pintu mobilnya setelah semua
barang barang dia jejalkan masuk ke benda roda empatnya. Aku hanya tak ingin
dia terlambat. Bukan terlambat pesawat. Bukan terlambat kereta. Aku tak ingin
dia terlambat memberiku kesempatan melihat tangan kanannya yang masih sempat
melambai sembari tangan kirinya memegang kemudi mobil yang melaju menjauh,
semakin kencang lalu hilang. Aku hanya tidak bisa menangkap bayangan apapun
sejak senja datang menjelang.
Seumur
hidup aku tak pernah menikmati senja. Aku tak pernah melihat, membaca, melirik,
mengintip, menonton apapun ketika matahari lelah bersinar. Aku kerap menangis
di dada ibu ketika aku masih kecil dan bertanya kenapa mataku juga gelap saat
langit menggelap? Karena aku rabun senja.
Dan
Senja adalah senja terindah yang bisa kulihat sebelum aku menganggap diriku
buta. Senja adalah senja terindah yang mungkin tidak indah bagi sebagian orang
dari persepsi yang berbeda. Bagiku dia indah. Terlalu indah untuk mati.
“Gila lo cantik banget!”
“Padahal inget aja pas hari hari
biasa, lo sama Kang Asep mah mirip!"
“Ya ampuuun, jahat banget sih,
bukannya dibaik baikin, bentar lagi gue out dari kampus nih!”
“Iya ya, ya Alloh, gak nyangka ya,
empat tahun tuh cepet dan lo yang lulus tepat waktu”
“Meninggalkan kita yang masih harus cuddling sama skripsi!”
“Uuuh, sounds sexy...!”
“Hahahah”
“Tapi kalo lo wisuda lo berdua musti
kasih tau gue. Apapun kerjaan gue ntar, gue bakal ambil libur buat dateng ke
wisuda kalian. Kalian gak usah bayar tukang foto, karena fotografer kalian,
udah di sini”
Kami
berfoto. Manda di sebelah kiri, aku paling kanan dan Senja – dengan senyum
terbaiknya yang bagiku terlalu cantik untuk ukuran gadis yang biasanya bertingkah
serampangan – berdiri di tengah bak ratu di hari bahagianya.
Itu
adalah kali terakhir kami bertatap muka, bercanda dan saling memeluk. Karena
meskipun semua ucapannya terngiang jelas, nada bicara dan warna suaranya masih
bisa terulang dalam pikiranku, dia tak datang hari ini. Dia tak datang untuk
memotretku dan Manda yang di wisuda hari ini. Dia tak datang sekarang atau pun
nanti.
Aku
tidak akan melihat Senja lagi. Padahal hanya dia senja yang bisa kulihat, yang
bisa kusentuh ketika senja yang lain tak pernah menjadi sahabatku. Padahal
hanya dialah senja yang – meskipun tidak oranye – matanya menentramkan. Padahal
hanya dia, senja yang bagiku tak pernah ditelan malam, tak pernah dinyanyikan
sepi, tak pernah digenggam gelap.
Hanya
dia, Senja, semua orang memeluknya, berfoto dengannya, karena dia adalah senja
yang tak perlu menunggu matahari lelah untuk muncul. Senja seperti senja, yang
mana dunia memilikinya, semua orang menyukainya. Begitu pun aku, yang
menghabiskan hampir tiga tahun penuh untuk bermimpi bisa memilikinya.
Meski
dia merasa bahwa dia milik dunia, dan semua orang bisa mendapatkan kemurahan
hatinya, akhirnya aku mengerti, senja selalu menyimpan remang, sisi gelap.
Senja juga begitu. Dia
tak pernah mengatakannya. Hingga sampai waktunya aku dan Manda menyaksikannya
lepas, ikhlas, direnggut maut yang cadas.
Seolah
menunggu semua orang, dia membiarkanku, Manda, dan beberapa belas teman kuliah
yang terbilang dekat dengannya, menjadi saksi tanpa dia mengatakan apa apa.
Senja hanya menyampaikan selamat tinggal di senyumnya yang legowo dengan mata
yang mengerdip pelan. Aku masih bisa memvisualisasikan kembali detik detik
perpisahan kami. Ketika matanya bersirobrok dengan mataku, lalu menatap suster
di sampingnya sebentar dan memalingkan wajahnya ke kanan. Kukira dia akan
membuka matanya kembali untuk meminta suster menaikkan ranjangnya sehingga dia
bisa setengah duduk memulai percakapan dengan salah satu dari kami.
...
...
Tapi
dia tak membuka matanya.
Selamanya.
Senja
pergi dalam gemingnya tanpa mengeluh bahwa dia mengidap mesothelioma selama ini.
Senja menyelesaikan kuliahnya dalam rasa sakit yang panjang dan tenang. Senja
merampungkan misi hidupnya: sesebentar
apapun hidup ini, yang penting satu, kita berguna untuk orang lain dan pernah
berbuat baik meskipun sederhana.
Aku
tidak menyesali kepergiannya. Walau kini tidak ada lagi Senja selain senja yang
tak bisa kulihat. Walaupun kini aku benar benar tak dapat melihat senja yang
manapun. Yang kusesali hanyalah Manda yang menangis mengenang janji Senja,
janji kita bertiga untuk bertemu kembali di tempat kami berdiri kini.
Manda
sesenggukan. Aku iba padanya, dan pada diriku sendiri. Aku menatapnya dalam,
meski terhalang kibaran tali toga yang tadi telah dipindah ke kanan oleh
rektor.
“Gue berani taruhan, Senja nggak
bakalan suka ngeliat lo nangisin dia sampe maskara sama eyeliner elo becek
kayak gitu” gumamku. Manda menyambut sapu tangan yang kuulurkan padanya.
Senja, kau melihat kami dari sana?
Sabtu,
02 Nopember 2013
21:39
Gresik
No comments:
Post a Comment