Friday, January 1, 2016

MENUNGGU MATI


Aku benci semua orang. Maksudku semua orang yang menjilat, sok bijaksana, sok bertuhan, sok puritan, sok baik, tapi menggunjing sampai puas dibelakang. Menepuk nepuk bahuku saat aku terlihat terluka, tapi memicingkan matanya saat aku lengah sambil mengumpatkan kata pecun dengan suara rendah. Puah, mereka hanya sekedar babi babi betina dengan dengusan kotor.

Semua yang ada di rumah itu melukaiku tanpa kekerasan. Tapi rasanya lebih sakit, aku mengkal, dendam, gondok, tapi kuredam dalam diam. Saat aku tak ada, mereka mempergunjingkanku. Giliran aku ada dan Riani tak ada, mereka mempergunjingkan pakaian Riani yang tak bermerek. Kala Yulia tak ada, mereka membicarakan ayah Yulia yang punya simpanan. Waktu Cinta pergi, mereka mengejek Cinta yang sering memakai bra dengan busa yang membuat dada kempisnya berisi. Dan seterusnya. Semua orang di rumah itu terus mempergunjingkan satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang alpa dijelek jelekkan.

Aku tak seperti mereka yang tiap hari menertawakan orang lain dibelakang. Aku berbeda dari mereka yang dengan modal nada merayu, uang berhasil ditransfer ke rekening mereka di hari yang sama. Dari orang tua, yang kaya raya, ataupun yang rela berhutang kanan kiri. Aku tidak sama seperti mereka yang memamerkan barang barang mahal hadiah dari pacar yang sebenarnya hanya menyuap, menentram nentramkan hati mereka, dan memberi pencitraan bahwa tidak ada perempuan lain. Padahal perempuan lain itu ada. Sayangnya mereka luluh dengan barang bermerek sehingga kecurigaan tentang perselingkuhan itu rontok sudah.

Mereka benar benar keledai.

Aku sendiri mencari uang. Untuk makan, untuk beli rokok, untuk beli pulsa, untuk beli baju, untuk bayar kuliah, untuk beli gadget, untuk mabuk sedikit.

Persetan dengan orang orang di rumah itu. Aku tak hidup dari komentar mereka. Peduli dengan omongan orang lain yang intinya hanya kosong, tidak akan merubah hidup, begitu kata seorang gadis seumuranku yang juga tinggal di rumah itu. Namanya Laksmi. Dia pindah ke rumah yang kutinggali bersama keledai keledai itu dengan alasan lokasinya lebih dekat dengan kampus. Tapi nasibnya sama saja dengan yang lain, dijelek jelekkan dan dituduh penyuka sesama jenis hanya karena Laksmi belum pernah menerima lelaki yang menawarkan cinta padanya.

Hanya dia yang kupercaya.
Hanya di kamarnya aku bisa gantian menertawakan mereka yang mengolok-olokku di belakang.
Hanya dengan mendengar suaranya, aku mau belajar keluar dari labirin gelap itu.
Hanya dengan kata katanya yang tajam dan sindirannya yang mengena, penghuni rumah yang lain bisa menghentikan gunjingannya dengan mulut mengkerut.

“Lihat saja badannya, kurus, gara gara makan asap rokok, alkohol, dan... laki laki”
“Bagaimana tidak kurus kalau dalam semalam dia digilir beberapa kali, di tempat berbeda...”
“Bahkan dalam sehari, tidak hanya satu laki laki yang sudah pesan tubuhnya untuk dibawa ke kasur” aku mengenali suara itu saat suaranya memberikan penekanan pada kata ‘tidak hanya satu’.
“Apa untungnya kalian membicarakan urusan kasur orang? Memangnya kalian senang kalau ada orang yang ikut campur urusan kasur kalian?”

Hening seketika.
Aku mendengarkan mereka dari dalam kamar yang tertutup rapat dan lampu yang kupadamkan.

Suara Laksmi terdengar begitu keren. Aku suka sekali. Sayang aku tidak melihat wajah mereka satu per satu saat Laksmi buka suara dengan tenang, dalam, tapi tajam.

Tapi mereka tak pernah berhenti.
“Nanti bagaimana ya nasib Tanti, sudah tidak perawan. Kalau nikah dan suaminya bertanya bagaimana ya?”
“Jangan bicara soal nikah nikah, deh. Perempuan yang kelaminnya di obral seperti dia, memangnya masih pantas untuk menikah?”

Selasa malam yang dingin itu aku mendengar mereka untuk kali kesekian. Mungkin mereka pikir aku tidak di rumah sehingga mereka pikir akan aman jika menyebut namaku keras keras. Dan aku menangis dalam diam, dalam gelap lampu kamar yang putus sejak Senin malam.

Aku memang dibayar karena aku mau menemani laki laki beberapa jam. Aku dibayar karena aku merelakan bibirku dikecup. Aku dibayar karena aku menyerahkan tubuhku untuk disentuh, diciumi, dihisap, diapakan saja hingga berakhir dengan menggelepar letih di atas ranjang. Tapi kata obral itu terlalu menyakitkan.

“Tapi sepertinya membiarkan pacar menggerayangi dada di taman yang remang remang, menggarap leher dan menikmati suara desahan perempuan atas nama cinta, rasanya sama bodohnya dengan mengobral kelamin. Bedanya, mengobral kemaluan dapat duit, petting dengan pacar, Cuma dapat janji dikawin. Selebihnya sama saja”

Hening.

Serta merta aku membekap mulutku diantara lelehan air mata untuk menahan tawa yang siap melompat keluar. Laksmi benar benar membuatku menangis dan tertawa disaat yang bersamaan.

Laksmi memberikanku sekaleng permen dan membuatku rajin gosok gigi karena banyak makan permen. Aku hanya takut gigiku kuning dan aku tidak cantik lagi karena beberapa batang rokok yang kuhisap dalam sehari. Laksmi membuatku sadar bahwa aku cukup pintar untuk mendapat beasiswa yang sama sepertinya. Laksmi mengajariku memanfaatkan internet, blog, google ads, dan banyak hal lain – yang mulanya aku tidak mengerti – untuk menghidupi diri dengan lebih terhormat.

Hingga pada akhirnya, aku berhenti.

Aku berhenti memuaskan laki laki. Aku tidak lagi harus menunggu laki laki memesan tubuhku di ranjang. Aku tidak harus membiarkan laki laki mempermainkan tubuhku yang tak berbusana hanya untuk sejumlah uang yang didewakan manusia.

Aku bisa sendiri. Ralat, aku bisa sendiri setelah diajari Laksmi. Aku ingin terus bersamanya, meskipun kami berbeda. Dia mendorong troli dan aku memilih belanjaan dari rak supermarket, dia duduk dan tertawa bersamaku di kafe, dia menemaniku ke rumah sakit, meskipun kami terpisah antara kata kotor dan bersih, perawan dan ternoda, meskipun kami menyebut Tuhan kami dengan berbeda, meskipun kami merayakan hari raya yang tidak sama.

Seribu sayang, belum lama aku menikmati hidupku yang normal, aku sudah tidak lagi bersamanya. Dan aku tinggalkan rumah itu selepas kepergian Laksmi ke keabadian.

Di pemakaman ini kukecup nisan berukir nama Laksmi. Aku tersenyum diatas keyakinan bahwa kami akan bertemu lagi ketika seluruh sistem imun di tubuhku raib oleh virus yang kerap dianggap menjijikkan bagi sebagian orang. Jika aku bertemu Laksmi lagi, kami tidak hanya berdua. Kami akan bertiga.

Kutinggalkan pusara Laksmi yang masih baru dan berjalan menjauh sambil mengelus pelan perutku yang kian membesar.

Sudah lima bulan usianya. Entah benih dari laki laki yang mana.

Malang, 8 Juni 2013
Kamar kos nomor 11  

:: Dear 'gadis cantik', kita hidup di tengah masyarakat yang hipokrit, Sayang. Tapi, harapan itu ada dan percayalah bahwa masih ada yang tersenyum padamu di dunia ini.


No comments:

Post a Comment