Aku
benci semua orang. Maksudku semua orang yang menjilat, sok bijaksana, sok
bertuhan, sok puritan, sok baik, tapi menggunjing sampai puas dibelakang.
Menepuk nepuk bahuku saat aku terlihat terluka, tapi memicingkan matanya saat
aku lengah sambil mengumpatkan kata pecun dengan suara rendah. Puah, mereka
hanya sekedar babi babi betina dengan dengusan kotor.
Semua
yang ada di rumah itu melukaiku tanpa kekerasan. Tapi rasanya lebih sakit, aku
mengkal, dendam, gondok, tapi kuredam dalam diam. Saat aku tak ada, mereka
mempergunjingkanku. Giliran aku ada dan Riani tak ada, mereka mempergunjingkan
pakaian Riani yang tak bermerek. Kala Yulia tak ada, mereka membicarakan ayah
Yulia yang punya simpanan. Waktu Cinta pergi, mereka mengejek Cinta yang sering
memakai bra dengan busa yang membuat dada kempisnya berisi. Dan seterusnya.
Semua orang di rumah itu terus mempergunjingkan satu sama lain. Tidak ada
seorang pun yang alpa dijelek jelekkan.
Aku
tak seperti mereka yang tiap hari menertawakan orang lain dibelakang. Aku
berbeda dari mereka yang dengan modal nada merayu, uang berhasil ditransfer ke
rekening mereka di hari yang sama. Dari orang tua, yang kaya raya, ataupun yang
rela berhutang kanan kiri. Aku tidak sama seperti mereka yang memamerkan barang
barang mahal hadiah dari pacar yang sebenarnya hanya menyuap, menentram
nentramkan hati mereka, dan memberi pencitraan bahwa tidak ada perempuan lain.
Padahal perempuan lain itu ada. Sayangnya mereka luluh dengan barang bermerek
sehingga kecurigaan tentang perselingkuhan itu rontok sudah.
Mereka benar benar keledai.
Aku sendiri mencari uang. Untuk
makan, untuk beli rokok, untuk beli pulsa, untuk beli baju, untuk bayar kuliah,
untuk beli gadget, untuk mabuk sedikit.
Persetan dengan orang orang di rumah
itu. Aku tak hidup dari komentar mereka. Peduli dengan omongan orang lain yang
intinya hanya kosong, tidak akan merubah hidup, begitu kata seorang gadis
seumuranku yang juga tinggal di rumah itu. Namanya Laksmi. Dia pindah ke rumah
yang kutinggali bersama keledai keledai itu dengan alasan lokasinya lebih dekat
dengan kampus. Tapi nasibnya sama saja dengan yang lain, dijelek jelekkan dan
dituduh penyuka sesama jenis hanya karena Laksmi belum pernah menerima lelaki
yang menawarkan cinta padanya.
Hanya dia yang kupercaya.
Hanya di kamarnya aku bisa gantian
menertawakan mereka yang mengolok-olokku di belakang.
Hanya dengan mendengar suaranya, aku
mau belajar keluar dari labirin gelap itu.
Hanya dengan kata katanya yang tajam
dan sindirannya yang mengena, penghuni rumah yang lain bisa menghentikan
gunjingannya dengan mulut mengkerut.
“Lihat saja badannya,
kurus, gara gara makan asap rokok, alkohol, dan... laki laki”
“Bagaimana tidak kurus
kalau dalam semalam dia digilir beberapa kali, di tempat berbeda...”
“Bahkan dalam sehari,
tidak hanya satu laki laki yang sudah pesan tubuhnya untuk dibawa ke kasur” aku
mengenali suara itu saat suaranya memberikan penekanan pada kata ‘tidak hanya
satu’.
“Apa untungnya kalian
membicarakan urusan kasur orang? Memangnya kalian senang kalau ada orang yang
ikut campur urusan kasur kalian?”
Hening seketika.
Aku mendengarkan mereka dari dalam
kamar yang tertutup rapat dan lampu yang kupadamkan.
Suara Laksmi terdengar begitu keren.
Aku suka sekali. Sayang aku tidak melihat wajah mereka satu per satu saat Laksmi buka suara
dengan tenang, dalam, tapi tajam.
Tapi mereka tak pernah berhenti.
“Nanti
bagaimana ya nasib Tanti, sudah tidak perawan. Kalau nikah dan suaminya
bertanya bagaimana ya?”
“Jangan bicara soal
nikah nikah, deh. Perempuan yang kelaminnya di obral seperti dia, memangnya masih
pantas untuk menikah?”
Selasa malam yang dingin itu aku
mendengar mereka untuk kali kesekian. Mungkin mereka pikir aku tidak di rumah
sehingga mereka pikir akan aman jika menyebut namaku keras keras. Dan aku
menangis dalam diam, dalam gelap lampu kamar yang putus sejak Senin malam.
Aku memang dibayar karena aku mau
menemani laki laki beberapa jam. Aku dibayar karena aku merelakan bibirku
dikecup. Aku dibayar karena aku menyerahkan tubuhku untuk disentuh, diciumi,
dihisap, diapakan saja hingga berakhir dengan menggelepar letih di atas
ranjang. Tapi kata obral itu terlalu menyakitkan.
“Tapi sepertinya membiarkan
pacar menggerayangi dada di taman yang remang remang, menggarap leher dan
menikmati suara desahan perempuan atas nama cinta, rasanya sama bodohnya dengan
mengobral kelamin. Bedanya, mengobral kemaluan dapat duit, petting dengan
pacar, Cuma dapat janji dikawin. Selebihnya sama saja”
Hening.
Serta merta aku membekap mulutku
diantara lelehan air mata untuk menahan tawa yang siap melompat keluar. Laksmi
benar benar membuatku menangis dan tertawa disaat yang bersamaan.
Laksmi memberikanku sekaleng permen
dan membuatku rajin gosok gigi karena banyak makan permen. Aku hanya takut
gigiku kuning dan aku tidak cantik lagi karena beberapa batang rokok yang
kuhisap dalam sehari. Laksmi membuatku sadar bahwa aku cukup pintar untuk
mendapat beasiswa yang sama sepertinya. Laksmi mengajariku memanfaatkan
internet, blog, google ads, dan banyak hal lain – yang mulanya aku tidak
mengerti – untuk menghidupi diri dengan lebih terhormat.
Hingga pada akhirnya, aku berhenti.
Aku berhenti memuaskan laki laki. Aku
tidak lagi harus menunggu laki laki memesan tubuhku di ranjang. Aku tidak harus
membiarkan laki laki mempermainkan tubuhku yang tak berbusana hanya untuk
sejumlah uang yang didewakan manusia.
Aku
bisa sendiri. Ralat, aku bisa sendiri setelah diajari Laksmi. Aku ingin terus
bersamanya, meskipun kami berbeda. Dia mendorong troli dan aku memilih
belanjaan dari rak supermarket, dia duduk dan tertawa bersamaku di kafe, dia
menemaniku ke rumah sakit, meskipun kami terpisah antara kata kotor dan bersih,
perawan dan ternoda, meskipun kami menyebut Tuhan kami dengan berbeda, meskipun
kami merayakan hari raya yang tidak sama.
Seribu
sayang, belum lama aku menikmati hidupku yang normal, aku sudah tidak lagi bersamanya. Dan aku tinggalkan rumah itu
selepas kepergian Laksmi ke keabadian.
Di pemakaman ini kukecup
nisan berukir nama Laksmi. Aku tersenyum diatas keyakinan bahwa kami akan
bertemu lagi ketika seluruh sistem imun di tubuhku raib oleh virus yang kerap
dianggap menjijikkan bagi sebagian orang. Jika aku bertemu Laksmi lagi, kami
tidak hanya berdua. Kami akan bertiga.
Kutinggalkan
pusara Laksmi yang masih baru dan berjalan menjauh sambil mengelus pelan
perutku yang kian membesar.
Sudah
lima bulan usianya. Entah benih dari laki laki yang mana.
Malang, 8 Juni
2013
Kamar kos nomor
11
::
Dear 'gadis cantik', kita hidup di tengah masyarakat yang hipokrit, Sayang. Tapi, harapan itu ada dan percayalah bahwa masih ada
yang tersenyum padamu di dunia ini.
No comments:
Post a Comment