Kemurtadan Pastur dalam Novel Chinmoku dan Saichou
sebagai
Refleksi Moralitas dan Solidaritas Terhadap yang
Tertindas
Sebuah tinjauan intertekstual terhadap dua karya Endo
Shusaku
Rizki H. Valentine
Pascasarjana Kajian Wilayah
Jepang
Universitas Indonesia
Shusaku Endo (Hidup dan Karyanya)
Shusaku Endo lahir di Tokyo, Jepang pada
tanggal 27 maret 1923. Ketika masih kecil, Endo dibawa oleh keluarganya pindah
ke Manchuria yang saat itu diduduki oleh Jepang. Pada tahun 1933 saat usianya
mencapai sepuluh tahun, orang tuanya bercerai dan Endo dibawa oleh ibunya
kembali ke Kobe, kampung halaman ibunya. Saat Endo masih kecil, ibunya telah
memeluk ajaran katolik dan menanamkan ajaran katolik tersebut kepada Endo. Endo
dibaptis pada tahun 1935 saat umurnya sebelas tahun dan mendapatkan nama
baptis, Paulus.
Endo menerima gelar BA dalam sastra
Perancis dari Universitas Keio Tokyo pada tahun 1949,
dan tahun 1950-1953 Endo belajar fiksi Katolik di University of Lyons, Perancis. Pada
tahun 1955 ia menikahi Junko Okada, dan
memperoleh seorang anak laki-laki.
Pada tahun1959, Endo mengalami penyakit
tuberkulosis. Pada saat dia ada di Perancis untuk mempelajari karya-karya
Marquis de Sade, dia masuk rumah sakit selama dua setengah tahun dan mengalami
tiga kali operasi yang membuatnya hidup dengan satu paru-paru saja.
Setelah kejadian ini, karya fiksi Endo banyak
bercerita tentang moral kehidupan dalam beragama serta penyakit.
Endo wafat disaat usianya tujuh puluh tiga tahun,
yaitu pada tanggal 29 September 1996 di Tokyo.
Karya-karya Endo Shusaku yang menceritakan
kehidupan beragama, dan pengorbanan dalam beragama dan moralitas diantaranya
adalah cerpen Saicho dan novel Chinmoku. Kedua karya ini memiliki beberapa
kemiripan dan keterkaitan terutama dalam hal pengorbanan dan kematian sebagai
seorang martir. Kemudian terdapat tokoh yang hampir sama persis muncul dalam
kedua karya yaitu tokoh pastur. Pada cerpen Saichou, terdapat seekor burung
Saichou yang konon merupakan burung yang pernah dipelihara oleh seorang pastur
asal portugis yang bekerja di Jepang dan dipaksa meninggalkan agamanya. Tokoh
pastur yang disebut itu hampir sama persis dengan tokoh Rodrigues yang datang
ke Jepang dan dipaksa meninggalkan agama Katoliknya. Oleh karena itu, penulis
akan membahas keterkaitan dan intertekstualitas pada kedua karya tersebut.
Unsur yang akan dijadikan media pembanding antara lain adalah tokoh, dan isi
cerita karena Edo membuat banyak analogi dalam cerita. Kemudian, penulis juga
akan mengaitkan kedua karya ini dengan unsur ekstrinsik yang melatar belakangi
kehidupan Endo Shusaku sebagai seorang pengarang.
Saicho (1975)
Tokoh utama dala cerpen
ini adalah seorang laki-laki yang tdak disebut namanya dan hanya disebut dengan
Otoko. Dia adalah tokoh protagomis yang melankolis, kesepian, dan penyayang.
Hal itu ditunjukkan dengan sikapnya yang menyayangi binatang dan terjebak dalam
ingatan masa lalu akan anjing kesayangannya yang telah mati.
Cerpen Saichou menceritakan tentang seorang
novelis (Otoko), yang semenjak kecil hingga usianya yang sekarang sangat
menyukai binatang. Otoko tidak hanya menyukai binatang tetapi juga merasa dapat
berbicara dengan binatang. Tetapi Otoko tidak begitu saja dapat memelihara
binatang yang diinginkannya, karena istrinya tidak suka ada binatang di dalam
rumah mereka. Akhirnya sebagai ganti dari keinginan akan memelihara binatang
peliharaan, Otoko sering membaca artikel yang berkaitan dengan binatang dan
sering masuk ke dalam toko yang menjual binatang peliharaan untuk sekedar
melihat-lihat. Otoko dengan pemilik toko binatang peliharaan itu menjadi akrab
karena Otoko sering berkunjung ke toko tersebut.
Otoko tidak pernah
memelihara binatang peliharaan sama sekali sejak kehilangan anjingnya yang
sangat dia sayangi. Waktu Otoko duduk di sekolah dasar, Otoko memelihara seekor
anjing Manchuria, yang seolah bisa mengerti perasaan Otoko yang sedang bersedih.
Kemudian di saat penyakit TBC yang diderita Otoko kambuh dan Otoko harus
dirawat di rumah sakit selama dua setengah tahun, Otoko meminta istrinya
membelikan kyuukanchou atau
burung beo. Burung beo ini menjadi teman Otoko, tempat untuk mencurahkan perasaannya
terutama ketika merasa sedih dan merasa tidak yakin penyakitnya akan sembuh
atau operasi yang akan dijalaninya berhasil. Namun, lagi-lagi Otoko mengalami
hal yang menyedihkan dengan peliharaannya ini karena burung beo itu mati pada
malam Otoko menjalani operasi paru-paru.
Otoko
tidak berniat untuk memelihara binatang hingga akhirnya Otoko penasaran dengan
sejenis burung yang disebut dengan saichou.
Otoko yang merupakan seorang penulis, pernah menulis mengenai burung Saichou
sebagai hewan peliharaan seorang Pastur dari Portugal yang terpaksa murtad dari
agamanya dan tinggal di Jepang sebagai penerjemah hingga akhir hayat. Otoko
meminta kepada temannya yang mempunyai toko binatang peliharaan untuk
mencarikan saichou untuknya dan
Otoko akhirnya dapat melihat secara langsung seperti apa burung saichou tersebut.
Seperti Otoko yang
terkurung di rumah sakit karena penyakit TBC yang dideritanya, Pastur juga terjebak
di negara Jepang dan dipaksa berpaling dari agamanya. Kedua burung ini dapat
menjadi metafora pemiliknya seperti kyuukanchou
yang merupakan penjelmaan dari Otoko berupa suaranya yang ditiru oleh kyuukanchou dan saichou yang merupakan penjelmaan
dari Pastur berupa ekspresinya yang ditiru oleh saichou.
Sebenarnya,
kita juga bisa menginterpretasikan bahwa kebaikan pastur dalam novel yang Otoko
tulis tercermin kembali pada kyuukanchou yang mati pada saat Otoko menjalani
operasi paru-paru yang menegangkan. Hal itu seolah-olah kyuukanchou itu memang
mati untuk menggantikan Otoko agar tetap hidup.
Chinmoku (1966)
Chinmoku menceritakan seorang Pastor Jesuit muda
bernama Sebastian Rodrigues dikirim dari tanah Portugis ke negeri Jepang dengan
sebuah misi. Pada saat itu ada kabar bahwa Frater Cristovao Ferreira,
seorang misionaris ternama, telah murtad. Bukan hanya itu, Frater Ferreira juga
telah menikah dengan seorang perempuan Jepang lalu menulis tulisan yang
mengkritik ajaran Kristen dan bahkan memiliki nama baru sebagai orang Jepang
yaitu Sawano Chuan. Karena itu, Rodrigues pergi untuk menyelidiki Ferreira dan
memberi dukungan spiritual bagi umat Katolik yang pada waktu itu harus
beribadah secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari tekanan pemerintahan Edo
terutama setelah adanya pemberontakan Shimabara. Gerakan pemberontakan
Shimabara merupakan pemberontakan keagamaan kaum Katolik melawan pemerintah
Shogun. Katolik juga dianggap sebagai ajaran yang berpihak pada orang miskin
dan mengajarkan persamaan derajat. Oleh karena itu banyak rakyat miskin yang
menganut agama Katolik.
Karakter tokoh Rodrigues adalah sebagai seseorang dengan
tekad dan pendirian yang kuat namun berhati penuh kasih. Sedangkan Sosok Ferreira digambarkan sebagai
sosok pastor yang memiliki kelembutan hati, senyum yang ramah, dan kepribadian
yang lembut. Ia menghabiskan waktunya di Jepang untuk melakukan misi mulia
penyebaran agama Kristen di Jepang.
Setelah Rodrigues masuk ke Jepang, dan membela kaum
Katolik dia tertangkap oleh pemerintah. Rodrigues diminta untuk meninggalkan
agamanya tapi dia tidak mau. Awalnya dia sudah siap untuk disiksa, akan tetapi
justru para rakyat miskin yang menganut agama Katolik lah yang disiksa di depan
matanya. Rodrigues tidak bisa menghentikan penyiksaan itu kecuali jika dia mau
meninggalkan Katolik.
Dilemma yang dialami oleh Rodrigues diredam oleh Ferreira
yang berkata bahwa ia dulu juga tidak tahan melihat penderitaan kaum Katolik
yang lain sehingga dia memilih untuk murtad.
Rodrigues akhirnya menginjak fumie/gambar Yesus dan
secara resmi murtad. Tetapi, bagi Endo, aksi murtad Rodrigues itu justru
merupakan manifestasi peribadatan yang sesungguhnya. Murtadnya Rodrigues
merupakan representasi keimanan yang sangat dalam karena ia telah berpihak dan menunjukkan
solidaritas kepada mereka yang lemah dan tertindas.
Keimanan dan nilai-nilai keimananan rupa-rupanya dapat
menjadi sumber politik pembebasan, emansipasi dan solidaritas, jika dan hanya
jika, nilai-nilai tersebut berhasil keluar dari ortodoksi dogma dan doktrin dan
diterjemahkan dalam praksis perlawanan. Bagi sebagian orang, ide ini terdengar
revolusioner. Namun, bagi sebagian yang lain, ini hanyalah pembenaran bagi aksi
kemurtadan.
Intertekstualitas
Intertekstualitas
merupakan adalah pemahaman dan pemaknaan terhadap suatu teks berdasarkan
persepsi, pemahaman, pengetahuan dan pengalaman dalam membaca teks lain
sebelumnya. Julia Kristeva menyebutkan dalam bukunya bahwa teks merupakanmutasi
dari teks-teks lain. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan
punsebuah karya ditulis, dia tidak mungkin lahir begitu saja tanpa referensi
dari sumber lain. Selalu ada pengaruh dari luar teks (seperti pengetahuan
budaya, sejarah, filsafat, dll) yang akhirnya membantu pembaca teks untuk
memahami teks secara penuh.
Dalam sastra,
intertekstualitas memiliki dua fokus kajian, yaitu: (1) teks teks yang
terdahulu, (2) tingkat pemahaman suatu teks dan makna yang ditentukan oleh
teks-teks yang sudah ada sebelumnya. Karya sastra ditulis bisa saja dengan
mencontoh karya lain, atau terpengaruh oleh karya yang sudah pernah ada. Tidak
hanya meniru, karya sastra juga mengembangkan konvensi yang sudah ada. Bisa
juga karya sastra berangkat dari ide dari karya lain atau kutipan dari teks
lain kemudian dikembangkan menjadi karya yang baru.
Teks yang dikutip atau dijadikan ide untuk sebuah
karya lain disebut dengan hipogram (karya yang muncul lebih dahulu). Dalam hal
ini, Chinmoku merupakan hipogram dari cerpen Saichou sebab sudah jelas novel
Chinmoku terlebih sebelum cerpen Saichou ditulis.
Endo
Shusaku memasukkan kembali unsur dari Chinmoku dalam cerpen Saichou, yaitu
tokoh pastur yang sama. Tidak hanya perannya sebagai pastur, pastur dalam novel
Chinmoku dan cerpen Saichou merupakan pastur yang berasal dari Portugis, masuk
ke Jepang, dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya dan dipaksa untuk memeluk
agama orang Jepang, lalu pada akhirnya pastur benar benar murtad untuk
menghentikan penyiksaan terhadap umat Katolik lain.
Dari
sinopsis kedua karya di atas, bisa ditelaah karakter para tokoh, khususnya
pastur Rodrigues dan tokoh pastur yang ditulis oleh Otoko. Terkesan seolah-olah
pastur Rodrigues dihadirkan kembali dalam cerpen Saicho dengan karakter dan
sifat yang sama. Kesamaan latar belakang pastur Rodrigues dan pastur dalam
novel yang pernah ditulis oleh Otoko dapat dilihat dalam subbab selanjutnya.
Perbandingan Tokoh Pastur Pemilik Saichou dan Pastur Rodrigues
Kedua karya Endo
Shusaku tersebut memiliki tema yang hampir sama, yaitu pengorbanan yang
berhubungan dengan agama dan ketuhanan. Pada novel Chinmoku, pengorbanan besar
ditunjukkan oleh tokoh Rodrigues yang rela dipaksa murtad agar umat Katolik
lainnya tidak terus disiksa. Sedangkan pada cerpen Saichou, yang berkorban
adalah seorang pastur yang juga dipaksa murtad.
背教司祭もこの鳥と同じように生涯、故郷のポルトガルに戻ることを許されず、奉行所の監視をうけながら一生、日本の長崎に住まわされた。檀那寺も持たされ、仏像も拝まされ、ある死刑囚の日本名を無理矢理与えられ、日本人に気化させられたのである。彼には慰めてくれる友もなければ、心をうちあけられる肉親もなかった。この道化師のような一羽の鳥だけがおそらく残された話し相手だったのだ。(Haha naru mono,
Saichou, 1975)
Pastur yang murtad itu menjadi penerjemah di Jepang
setelah disuruh ikut bergabung dengan kelompok-kelompok kuil, disuruh menyembah
patung Budha, dipaksa menerima nama orang Jepang yang telah dihukum gantung,
dan kewarganegaraannya diganti dengan kewarganegaraan Jepang.
その背教司祭が一人になった時、どんな思いにかられ、どんな風に泪なみだをながしたか記録には残ってはおらぬ。ただ出島にいるオランダ人の一人がその書簡の一節に何気なく「彼は犀鳥という鳥を飼って住んでいます」と書いているのを男は強く記憶に残していた。(Haha naru mono,
Saichou, 1975)
Pastur
senasib dengan saichou yaitu
sama-sama berasal dari luar Jepang. Pastur berasal dari Portugal sedangkan saichou adalah sejenis burung yang
hidup di hutan Afrika dan di hutan tropis benua Asia. Keduanya sama-sama tidak
diizinkan pulang ke kampung halamannya untuk selama-lamanya, diberi nama
Jepang, dan dipaksa untuk tinggal di Jepang hingga akhirnya meninggal dan
dikuburkan di Jepang
この踏絵に唾をかけ、聖母は男たちに身を任してきた印倍だと言ってみようと命ぜられました。これは、やがてあとになって分かったのですが、ヴァリグナノしがさいも危険な順物と言われた井上が発明した方法でした。(Chinmoku, 1966)
Di pihak Rodrigues,
pada masa itu disebutkan bahwa pemeluk agama Katolik ada yang bersikukuh tidak
mau murtad pada saat pemerintah memaksa mereka meludahi gambar Yesus dan
menyebut Maria sebagai pelacur.
Pada novel Chinmoku, pemerintah Jepang
akan mencabut akar-akar agama Kristen dan membiarkan tanaman itu layu seiring
berjalannya waktu. Akar-akar agama Kristen adalah para misionaris yang dipaksa
murtad dan hidup di Jepang. Dengan demikian sisa-sisa kekristennan akan lenyap
dengan sendirinya tanpa harus membunuh dan menginterogasi mereka satu-persatu.
Pengalaman
hidup pastur Rodrigues dan pengalaman hidup pastur pemelihara burung Saichou
yang pernah ditulis Otoko, nyaris sama persis. Intertekstual tidak hanya
berhenti sampai pada pengaruh kutipan antar teks sastra saja. Akan tetapi juga
pada latar belakang pengarang sendiri yaitu Endo Shusaku.
Jika
dilihat kembali biografi Endo Shusaku, kita akan menyadari bahwa Otoko dalam
novel Saicho memiliki kesamaan dengan Endo, yaitu sama-sama mempunyai penyakit
paru-paru, sama-sama mengalami operasi, sama-sama menulis novel dan sebagai
penulis novel, Endo dan Otoko pernah menulis novel dengan tema yang sama yaitu
pengorbanan seorang Pastur dengan menjadi murtad. Dengan begitu tidak heran
bila cerpen Saichou diasumsikan sebagai cerminan hidup seorang Endo Shusaku
sendiri sebagai penulis Katolik yang mengidap penyakit paru-paru.
Daftar Referensi
Endo,
Shusaku. 1996. Chinmoku. Tokyo:
Shinchosa.
Endo,
Shusaku. 2008. Silence. Alih
bahasa oleh Tanti Lesmana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Jansen, Marius B. 2000. The Making of Modern Japan. United States of America: Lobrary of
Congress Cataloging-in-Publication Data.
Jhonson,
Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi
Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia.
Kazumi,
Yamagata, 1994. Nihon Bungaku No Keiso.
Tokyo: Sairyusha.
Knitter,
Paul F. 2005. Menggugat Arogansi
KeKristenan. Yogyakarta: Kanisius.
Noviani, Ratna. 2002. “Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan” diterj. Dari
Ralph Schroeder, Max Weber and The Sociology Of Cultures, Sage Publications,
London-Thousands Oaks-New Delhi 1992. Yogyakarta : Kanisius.
Nurgyantoro,
Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
No comments:
Post a Comment