Saturday, January 2, 2016

Kemurtadan Pastur dalam Novel Chinmoku dan Saichou sebagai
Refleksi Moralitas dan Solidaritas Terhadap yang Tertindas
Sebuah tinjauan intertekstual terhadap dua karya Endo Shusaku
Rizki H. Valentine
Pascasarjana Kajian Wilayah Jepang
Universitas Indonesia


Shusaku Endo (Hidup dan Karyanya)
Shusaku Endo lahir di Tokyo, Jepang pada tanggal 27 maret 1923. Ketika masih kecil, Endo dibawa oleh keluarganya pindah ke Manchuria yang saat itu diduduki oleh Jepang. Pada tahun 1933 saat usianya mencapai sepuluh tahun, orang tuanya bercerai dan Endo dibawa oleh ibunya kembali ke Kobe, kampung halaman ibunya. Saat Endo masih kecil, ibunya telah memeluk ajaran katolik dan menanamkan ajaran katolik tersebut kepada Endo. Endo dibaptis pada tahun 1935 saat umurnya sebelas tahun dan mendapatkan nama baptis, Paulus.
Endo menerima gelar BA dalam sastra Perancis dari Universitas Keio Tokyo pada tahun 1949, dan tahun 1950-1953 Endo belajar fiksi Katolik di University of Lyons, Perancis. Pada tahun 1955 ia menikahi Junko Okada, dan memperoleh seorang anak laki-laki.
Pada tahun1959, Endo mengalami penyakit tuberkulosis. Pada saat dia ada di Perancis untuk mempelajari karya-karya Marquis de Sade, dia masuk rumah sakit selama dua setengah tahun dan mengalami tiga kali operasi yang membuatnya hidup dengan satu paru-paru saja. Setelah kejadian ini, karya fiksi Endo banyak bercerita tentang moral kehidupan dalam beragama serta penyakit. Endo wafat disaat usianya tujuh puluh tiga tahun, yaitu pada tanggal 29 September 1996 di Tokyo.
Karya-karya Endo Shusaku yang menceritakan kehidupan beragama, dan pengorbanan dalam beragama dan moralitas diantaranya adalah cerpen Saicho dan novel Chinmoku. Kedua karya ini memiliki beberapa kemiripan dan keterkaitan terutama dalam hal pengorbanan dan kematian sebagai seorang martir. Kemudian terdapat tokoh yang hampir sama persis muncul dalam kedua karya yaitu tokoh pastur. Pada cerpen Saichou, terdapat seekor burung Saichou yang konon merupakan burung yang pernah dipelihara oleh seorang pastur asal portugis yang bekerja di Jepang dan dipaksa meninggalkan agamanya. Tokoh pastur yang disebut itu hampir sama persis dengan tokoh Rodrigues yang datang ke Jepang dan dipaksa meninggalkan agama Katoliknya. Oleh karena itu, penulis akan membahas keterkaitan dan intertekstualitas pada kedua karya tersebut. Unsur yang akan dijadikan media pembanding antara lain adalah tokoh, dan isi cerita karena Edo membuat banyak analogi dalam cerita. Kemudian, penulis juga akan mengaitkan kedua karya ini dengan unsur ekstrinsik yang melatar belakangi kehidupan Endo Shusaku sebagai seorang pengarang.

Saicho (1975)
Tokoh utama dala cerpen ini adalah seorang laki-laki yang tdak disebut namanya dan hanya disebut dengan Otoko. Dia adalah tokoh protagomis yang melankolis, kesepian, dan penyayang. Hal itu ditunjukkan dengan sikapnya yang menyayangi binatang dan terjebak dalam ingatan masa lalu akan anjing kesayangannya yang telah mati.
Cerpen Saichou menceritakan tentang seorang novelis (Otoko), yang semenjak kecil hingga usianya yang sekarang sangat menyukai binatang. Otoko tidak hanya menyukai binatang tetapi juga merasa dapat berbicara dengan binatang. Tetapi Otoko tidak begitu saja dapat memelihara binatang yang diinginkannya, karena istrinya tidak suka ada binatang di dalam rumah mereka. Akhirnya sebagai ganti dari keinginan akan memelihara binatang peliharaan, Otoko sering membaca artikel yang berkaitan dengan binatang dan sering masuk ke dalam toko yang menjual binatang peliharaan untuk sekedar melihat-lihat. Otoko dengan pemilik toko binatang peliharaan itu menjadi akrab karena Otoko sering berkunjung ke toko tersebut.
Otoko tidak pernah memelihara binatang peliharaan sama sekali sejak kehilangan anjingnya yang sangat dia sayangi. Waktu Otoko duduk di sekolah dasar, Otoko memelihara seekor anjing Manchuria, yang seolah bisa mengerti perasaan Otoko yang sedang bersedih. Kemudian di saat penyakit TBC yang diderita Otoko kambuh dan Otoko harus dirawat di rumah sakit selama dua setengah tahun, Otoko meminta istrinya membelikan kyuukanchou atau burung beo. Burung beo ini menjadi teman Otoko, tempat untuk mencurahkan perasaannya terutama ketika merasa sedih dan merasa tidak yakin penyakitnya akan sembuh atau operasi yang akan dijalaninya berhasil. Namun, lagi-lagi Otoko mengalami hal yang menyedihkan dengan peliharaannya ini karena burung beo itu mati pada malam Otoko menjalani operasi paru-paru.
Otoko tidak berniat untuk memelihara binatang hingga akhirnya Otoko penasaran dengan sejenis burung yang disebut dengan saichou. Otoko yang merupakan seorang penulis, pernah menulis mengenai burung Saichou sebagai hewan peliharaan seorang Pastur dari Portugal yang terpaksa murtad dari agamanya dan tinggal di Jepang sebagai penerjemah hingga akhir hayat. Otoko meminta kepada temannya yang mempunyai toko binatang peliharaan untuk mencarikan saichou untuknya dan Otoko akhirnya dapat melihat secara langsung seperti apa burung saichou tersebut.  
Seperti Otoko yang terkurung di rumah sakit karena penyakit TBC yang dideritanya, Pastur juga terjebak di negara Jepang dan dipaksa berpaling dari agamanya. Kedua burung ini dapat menjadi metafora pemiliknya seperti kyuukanchou yang merupakan penjelmaan dari Otoko berupa suaranya yang ditiru oleh kyuukanchou dan saichou yang merupakan penjelmaan dari Pastur berupa ekspresinya yang ditiru oleh saichou.
Sebenarnya, kita juga bisa menginterpretasikan bahwa kebaikan pastur dalam novel yang Otoko tulis tercermin kembali pada kyuukanchou yang mati pada saat Otoko menjalani operasi paru-paru yang menegangkan. Hal itu seolah-olah kyuukanchou itu memang mati untuk menggantikan Otoko agar tetap hidup.

Chinmoku (1966)
Chinmoku menceritakan seorang Pastor Jesuit muda bernama Sebastian Rodrigues dikirim dari tanah Portugis ke negeri Jepang dengan sebuah misi. Pada saat itu ada kabar bahwa Frater Cristovao Ferreira, seorang misionaris ternama, telah murtad. Bukan hanya itu, Frater Ferreira juga telah menikah dengan seorang perempuan Jepang lalu menulis tulisan yang mengkritik ajaran Kristen dan bahkan memiliki nama baru sebagai orang Jepang yaitu Sawano Chuan. Karena itu, Rodrigues pergi untuk menyelidiki Ferreira dan memberi dukungan spiritual bagi umat Katolik yang pada waktu itu harus beribadah secara sembunyi-sembunyi untuk menghindari tekanan pemerintahan Edo terutama setelah adanya pemberontakan Shimabara. Gerakan pemberontakan Shimabara merupakan pemberontakan keagamaan kaum Katolik melawan pemerintah Shogun. Katolik juga dianggap sebagai ajaran yang berpihak pada orang miskin dan mengajarkan persamaan derajat. Oleh karena itu banyak rakyat miskin yang menganut agama Katolik.
Karakter tokoh Rodrigues adalah sebagai seseorang dengan tekad dan pendirian yang kuat namun berhati penuh kasih. Sedangkan Sosok Ferreira digambarkan sebagai sosok pastor yang memiliki kelembutan hati, senyum yang ramah, dan kepribadian yang lembut. Ia menghabiskan waktunya di Jepang untuk melakukan misi mulia penyebaran agama Kristen di Jepang.
Setelah Rodrigues masuk ke Jepang, dan membela kaum Katolik dia tertangkap oleh pemerintah. Rodrigues diminta untuk meninggalkan agamanya tapi dia tidak mau. Awalnya dia sudah siap untuk disiksa, akan tetapi justru para rakyat miskin yang menganut agama Katolik lah yang disiksa di depan matanya. Rodrigues tidak bisa menghentikan penyiksaan itu kecuali jika dia mau meninggalkan Katolik.
Dilemma yang dialami oleh Rodrigues diredam oleh Ferreira yang berkata bahwa ia dulu juga tidak tahan melihat penderitaan kaum Katolik yang lain sehingga dia memilih untuk murtad.
Rodrigues akhirnya menginjak fumie/gambar Yesus dan secara resmi murtad. Tetapi, bagi Endo, aksi murtad Rodrigues itu justru merupakan manifestasi peribadatan yang sesungguhnya. Murtadnya Rodrigues merupakan representasi keimanan yang sangat dalam karena ia telah berpihak dan menunjukkan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tertindas.
Keimanan dan nilai-nilai keimananan rupa-rupanya dapat menjadi sumber politik pembebasan, emansipasi dan solidaritas, jika dan hanya jika, nilai-nilai tersebut berhasil keluar dari ortodoksi dogma dan doktrin dan diterjemahkan dalam praksis perlawanan. Bagi sebagian orang, ide ini terdengar revolusioner. Namun, bagi sebagian yang lain, ini hanyalah pembenaran bagi aksi kemurtadan.

Intertekstualitas
Intertekstualitas merupakan adalah pemahaman dan pemaknaan terhadap suatu teks berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan dan pengalaman dalam membaca teks lain sebelumnya. Julia Kristeva menyebutkan dalam bukunya bahwa teks merupakanmutasi dari teks-teks lain. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan punsebuah karya ditulis, dia tidak mungkin lahir begitu saja tanpa referensi dari sumber lain. Selalu ada pengaruh dari luar teks (seperti pengetahuan budaya, sejarah, filsafat, dll) yang akhirnya membantu pembaca teks untuk memahami teks secara penuh.
Dalam sastra, intertekstualitas memiliki dua fokus kajian, yaitu: (1) teks teks yang terdahulu, (2) tingkat pemahaman suatu teks dan makna yang ditentukan oleh teks-teks yang sudah ada sebelumnya. Karya sastra ditulis bisa saja dengan mencontoh karya lain, atau terpengaruh oleh karya yang sudah pernah ada. Tidak hanya meniru, karya sastra juga mengembangkan konvensi yang sudah ada. Bisa juga karya sastra berangkat dari ide dari karya lain atau kutipan dari teks lain kemudian dikembangkan menjadi karya yang baru.
          Teks yang dikutip atau dijadikan ide untuk sebuah karya lain disebut dengan hipogram (karya yang muncul lebih dahulu). Dalam hal ini, Chinmoku merupakan hipogram dari cerpen Saichou sebab sudah jelas novel Chinmoku terlebih sebelum cerpen Saichou ditulis.
        Endo Shusaku memasukkan kembali unsur dari Chinmoku dalam cerpen Saichou, yaitu tokoh pastur yang sama. Tidak hanya perannya sebagai pastur, pastur dalam novel Chinmoku dan cerpen Saichou merupakan pastur yang berasal dari Portugis, masuk ke Jepang, dipaksa untuk meninggalkan keyakinannya dan dipaksa untuk memeluk agama orang Jepang, lalu pada akhirnya pastur benar benar murtad untuk menghentikan penyiksaan terhadap umat Katolik lain.
          Dari sinopsis kedua karya di atas, bisa ditelaah karakter para tokoh, khususnya pastur Rodrigues dan tokoh pastur yang ditulis oleh Otoko. Terkesan seolah-olah pastur Rodrigues dihadirkan kembali dalam cerpen Saicho dengan karakter dan sifat yang sama. Kesamaan latar belakang pastur Rodrigues dan pastur dalam novel yang pernah ditulis oleh Otoko dapat dilihat dalam subbab selanjutnya.

Perbandingan Tokoh Pastur Pemilik Saichou dan Pastur Rodrigues
Kedua karya Endo Shusaku tersebut memiliki tema yang hampir sama, yaitu pengorbanan yang berhubungan dengan agama dan ketuhanan. Pada novel Chinmoku, pengorbanan besar ditunjukkan oleh tokoh Rodrigues yang rela dipaksa murtad agar umat Katolik lainnya tidak terus disiksa. Sedangkan pada cerpen Saichou, yang berkorban adalah seorang pastur yang juga dipaksa murtad.
背教司祭もこの鳥と同じように生涯、故郷のポルトガルに戻ることを許されず、奉行所の監視をうけながら一生、日本の長崎に住まわされた。檀那寺も持たされ、仏像も拝まされ、ある死刑囚の日本名を無理矢理与えられ、日本人に気化させられたのである。彼には慰めてくれる友もなければ、心をうちあけられる肉親もなかった。この道化師のような一羽の鳥だけがおそらく残された話し相手だったのだ。(Haha naru mono, Saichou, 1975)
Pastur yang murtad itu menjadi penerjemah di Jepang setelah disuruh ikut bergabung dengan kelompok-kelompok kuil, disuruh menyembah patung Budha, dipaksa menerima nama orang Jepang yang telah dihukum gantung, dan kewarganegaraannya diganti dengan kewarganegaraan Jepang.
その背教司祭が一人になった時、どんな思いにかられ、どんな風に泪なみだをながしたか記録には残ってはおらぬ。ただ出島にいるオランダ人の一人がその書簡の一節に何気なく「彼は犀鳥という鳥を飼って住んでいます」と書いているのを男は強く記憶に残していた。(Haha naru mono, Saichou, 1975)
Pastur senasib dengan saichou yaitu sama-sama berasal dari luar Jepang. Pastur berasal dari Portugal sedangkan saichou adalah sejenis burung yang hidup di hutan Afrika dan di hutan tropis benua Asia. Keduanya sama-sama tidak diizinkan pulang ke kampung halamannya untuk selama-lamanya, diberi nama Jepang, dan dipaksa untuk tinggal di Jepang hingga akhirnya meninggal dan dikuburkan di Jepang
この踏絵に唾をかけ、聖母は男たちに身を任してきた印倍だと言ってみようと命ぜられました。これは、やがてあとになって分かったのですが、ヴァリグナノしがさいも危険な順物と言われた井上が発明した方法でした。(Chinmoku, 1966)
Di pihak Rodrigues, pada masa itu disebutkan bahwa pemeluk agama Katolik ada yang bersikukuh tidak mau murtad pada saat pemerintah memaksa mereka meludahi gambar Yesus dan menyebut Maria sebagai pelacur.
Pada novel Chinmoku, pemerintah Jepang akan mencabut akar-akar agama Kristen dan membiarkan tanaman itu layu seiring berjalannya waktu. Akar-akar agama Kristen adalah para misionaris yang dipaksa murtad dan hidup di Jepang. Dengan demikian sisa-sisa kekristennan akan lenyap dengan sendirinya tanpa harus membunuh dan menginterogasi mereka satu-persatu.
Pengalaman hidup pastur Rodrigues dan pengalaman hidup pastur pemelihara burung Saichou yang pernah ditulis Otoko, nyaris sama persis. Intertekstual tidak hanya berhenti sampai pada pengaruh kutipan antar teks sastra saja. Akan tetapi juga pada latar belakang pengarang sendiri yaitu Endo Shusaku.
Jika dilihat kembali biografi Endo Shusaku, kita akan menyadari bahwa Otoko dalam novel Saicho memiliki kesamaan dengan Endo, yaitu sama-sama mempunyai penyakit paru-paru, sama-sama mengalami operasi, sama-sama menulis novel dan sebagai penulis novel, Endo dan Otoko pernah menulis novel dengan tema yang sama yaitu pengorbanan seorang Pastur dengan menjadi murtad. Dengan begitu tidak heran bila cerpen Saichou diasumsikan sebagai cerminan hidup seorang Endo Shusaku sendiri sebagai penulis Katolik yang mengidap penyakit paru-paru.

  
Daftar Referensi
Endo, Shusaku. 1996. Chinmoku. Tokyo: Shinchosa.
Endo, Shusaku. 2008. Silence. Alih bahasa oleh Tanti Lesmana. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Jansen, Marius B. 2000. The Making of Modern Japan. United States of America: Lobrary of Congress Cataloging-in-Publication Data.
Jhonson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT Gramedia.
Kazumi, Yamagata, 1994. Nihon Bungaku No Keiso. Tokyo: Sairyusha.
Knitter, Paul F. 2005. Menggugat Arogansi KeKristenan. Yogyakarta: Kanisius.
 Noviani, Ratna. 2002. “Max Weber Tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan” diterj. Dari Ralph Schroeder, Max Weber and The Sociology Of Cultures, Sage Publications, London-Thousands Oaks-New Delhi 1992. Yogyakarta : Kanisius.
Nurgyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


No comments:

Post a Comment