A Review
Artikel ini ditulis oleh Kato Akira dan
dipublikasikan pada 18 september 2014. Dalam artikel ini, Kato sebagai orang
Jepang berusaha mengkritisi runtuhnya kepercayaan diri Jepang dalam
berdiplomasi. Korea dan Cina masih menjadi alasan utama dari penyebab frustasi
masal yang dialami Jepang karena perasaan ‘kalah’ dari kedua negara rival
tersebut.
Sejak Restorasi Meiji pada tahun 1868,
orang-orang Jepang telah lama mempertahankan kesadaran statusnya sebagai
satu-satunya kekuatan besar di Asia. Namun pada tahun 2010-an, hampir semua
orang Jepang berpikir bahwa China kini telah menjadi kekuatan besar atau
pemimpin Asia, menggantikan Jepang. Sementara itu Korea berpikir bahwa mereka
telah melampaui Jepang dalam bidang-bidang seperti teknologi IT dan globalisasi.
Selain itu, mungkin Kato juga lupa menambahkan bahwa industri hiburan Korea
tengah menjadi sorotan utama di kawasan Asia Tenggara dengan K-pop wave yang
digandrungi oleh anak-anak muda. Kira-kira sejak 2010 atau 2011, pop culture
Korea menjadi saingan besar Jepang terutama musik yang link unduhnya lebih
mudah ditemukan daripada musik Jepang serta drama Korea yang lebih sering
tayang di televisi nasional Indonesia daripada drama Jepang. Padahal pop
culture Jepang juga merupakan salah satu unsur yang mensukseskan slogan “cool
Japan”. Akan tetapi kebanyakan orang Jepang masih tetap berpikir bahwa Jepang
masih merupakan pemimpin Asia dan menilai Cina dan Korea sebagai bangsa yang
patut dikasihani karena merupakan bangsa yang lemah dan tak berdaya. Hal ini
adalah sebuah pandangan yang sangat umum dimiliki oleh ex-negara penjajah
terhadap ex-negara terjajah. Apalagi dalam menghadapi protes dan hujatan China
dan Korea mengenai isu jugun ianfu yang mendadak bergaung secara dramatis pada
masa bubble economy tahun 90-an.
Namun, kerja sama erat antara Jepang dan
Amerika membentuk era Amerippon yang menambah kepercayaan diri Jepang. Dengan
adanya sistem bigemonik tersebut, kepercayaan diri dan dorongan psikologis
dalam menghadapi Cina dan Korea makin meningkat. Hal ini didukung lagi oleh
kenyataan bahwa Cina dan Korea sama-sama negara mau sehingga dominansi ekonomi
terhadap China dan Korea meningkatkan rasa superioritas bagi Jepang. Keadaan
ini berpengaruh pula pada pemberitaan isu mengenai jugun ianfu yang mendadak
ditarik oleh Asahi Shinbun pada 2014. Tentu saja ini dilakukan atas nama
nasionalisme dan superioritas.
Di Jepang, media memang tidak sefrontal
media Indonesia. Media Jepang cenderung sangat pro pemerintah dan berusaha
menjaga image negara sekaligus menjaga kondisi psikologis rakyat. Filter media
di Jepang juga cenderung ketat dan selektif dalam memilih pemberitaan apa saja
yang tidak meresahkan rakyat. Dalam hal ini, Jepang, melalui media berusaha
menghapurkan memori sejarah yang sebaiknya tidak diketahui oleh generasi muda
agar generasi muda tidak berpikir bahwa mereka adalah bangsa penjajah. Dengan ditariknya pemberitaan ini, Asahi
Shinbun sudah terlihat kehilangan empatinya terhadap China dan Korea.
Sudah banyak orang Jepang yang tidak
lagi menyikapi kritik dari China dan Korea dengan sikap yg baik. Apalagi dengan
adanya Zaitokukai, sebuah kelompok
ultranasionalis sayap kanan yang tidak menghargai hak-hak imigran Korea dan
China di Jepang. Zaitokukai kerap
melontarkan hate speech yang sebenarnya justru dipicu oleh frustasi masal
akibat kesadaran akan inferioritas dan kelemahan Jepang yang membuat Jepang
dianggap tidak lagi menjadi kekuatan besar di Asia. Menghadapi hal ini, pemerintahan
Abe Shinzo dan LDP membangkitkan “strong Japan” dengan upaya penguatan ekonomi
dan militer.
Namun, Kato menyatakan bahwa mustahil
Jepang mengungguli China dalam hal ekonomi dan militer. Hal ini bisa ditebak
sebabnya yakni karena faktor sumber daya manusia dan problem koreika shakai di Jepang. Selain itu
dalam hal ekonomi, China selalu berusaha mencari pasar dan tidak se-idealis
Jepang dalam memperhitungkan kualitas produk. China cenderung memperhatikan
pasar dan karakter pasar untuk menyesuaikan produk macam apa dan level apa yang
cocok untuk dijadikan sasaran ekspor, sementara Jepang selalu memaksimalkan kaizen yang kadang kurang cocok dan
kurang tepat guna bagi negara sasaran ekspor. Kaizen itulah yang terus merubah kualitas produk menjadi lebih baik
sekaligus melambungkan harga yang akhirnya tidak mampu bersaing di pasar
internasional dibandingkan dengan Cina.
Sebagai negara pasifis, dengan merujuk
kembali pada pasal 9 Jepang diharapkan dapat menikmati superioritasnya dengan
melancarkan soft power sebagai negara
yg cinta damai. Akan tetapi, mengingat kembali bahwa Jepang memiliki
saingan-saingan berat dalam melancarkan soft
power, Jepang tidak bisa begitu saja berbangga hati. Soft power Jepang, seperti yang sudah saya singgung di atas, salah
satunya adalah budaya pop yang tergeser oleh budaya pop Korea. Selain itu, yang
tidak dituliskan oleh Kato adalah cara Jepang menarik simpati negara kawasan
Asia Tenggara dengan adanya beasiswa-beasiswa untuk belajar di Jepang, kini
tersaingi juga oleh Korea dan Cina yang gencar memberikan beasiswa sebagai
salah satu bentuk soft powernya untuk
terus engaged dengan negara-negara kawasan, terutama negara yang menjadi
pasarnya.
Pasal 9 yang menerima Nobel Perdamaian,
disebutkan oleh Kato bahwa tidak ada pembuktian logis mengapa Jepang pantas
menerima Nobel tersebut sementara pada faktanya Jepang dianggap menjadi negara
nomor dua di Asia. Sementara spektrum politis tidak bisa menerima dengan mudah
fakta bahwa Jepang telah dinomorduakan di Asia. Posisi Jepang sbg negara nomor
2 tidaklah sama dengan posisinya sbg “middle power” pada perang dingin. Sebab
secara global, pada masa perang dingin, Jepang memang nomor dua, namun di
kawasan Asia, status Jepang pada masa itu adalah sebagai sebuah negara dengan
kekuatan besar di Asia. Tergelincirnya Jepang dari posisinya inilah yang
membuat Jepang dihadapkan pada situasi-situasi yg gawat dimana perlu adanya pendobrakan
terhadap kebijakan-kebijakan lama yang sifatnya closed-door untuk bergeser
menjadi open door policy melalui kemunculan kekuatan nuklir, maupun partisipasi
dalam TPP. Akan tetapi, perlu dikritisi kembali, apabila benar Jepang ingin
turut mengembangkan kekuatan nuklirnya, tentu akan menimbulkan kekhawatiran
dari berbagai pihak, baik dari pihak negara rival ataupun dari dalam negeri,
mengingat sempat terjadi tragedi nuklir di Fukushima.