Sunday, September 30, 2018

Collapse of Big Power Self Confidence in Japan’s Diplomacy

A Review



Artikel ini ditulis oleh Kato Akira dan dipublikasikan pada 18 september 2014. Dalam artikel ini, Kato sebagai orang Jepang berusaha mengkritisi runtuhnya kepercayaan diri Jepang dalam berdiplomasi. Korea dan Cina masih menjadi alasan utama dari penyebab frustasi masal yang dialami Jepang karena perasaan ‘kalah’ dari kedua negara rival tersebut.

Sejak Restorasi Meiji pada tahun 1868, orang-orang Jepang telah lama mempertahankan kesadaran statusnya sebagai satu-satunya kekuatan besar di Asia. Namun pada tahun 2010-an, hampir semua orang Jepang berpikir bahwa China kini telah menjadi kekuatan besar atau pemimpin Asia, menggantikan Jepang. Sementara itu Korea berpikir bahwa mereka telah melampaui Jepang dalam bidang-bidang seperti teknologi IT dan globalisasi. Selain itu, mungkin Kato juga lupa menambahkan bahwa industri hiburan Korea tengah menjadi sorotan utama di kawasan Asia Tenggara dengan K-pop wave yang digandrungi oleh anak-anak muda. Kira-kira sejak 2010 atau 2011, pop culture Korea menjadi saingan besar Jepang terutama musik yang link unduhnya lebih mudah ditemukan daripada musik Jepang serta drama Korea yang lebih sering tayang di televisi nasional Indonesia daripada drama Jepang. Padahal pop culture Jepang juga merupakan salah satu unsur yang mensukseskan slogan “cool Japan”. Akan tetapi kebanyakan orang Jepang masih tetap berpikir bahwa Jepang masih merupakan pemimpin Asia dan menilai Cina dan Korea sebagai bangsa yang patut dikasihani karena merupakan bangsa yang lemah dan tak berdaya. Hal ini adalah sebuah pandangan yang sangat umum dimiliki oleh ex-negara penjajah terhadap ex-negara terjajah. Apalagi dalam menghadapi protes dan hujatan China dan Korea mengenai isu jugun ianfu yang mendadak bergaung secara dramatis pada masa bubble economy tahun 90-an.

Namun, kerja sama erat antara Jepang dan Amerika membentuk era Amerippon yang menambah kepercayaan diri Jepang. Dengan adanya sistem bigemonik tersebut, kepercayaan diri dan dorongan psikologis dalam menghadapi Cina dan Korea makin meningkat. Hal ini didukung lagi oleh kenyataan bahwa Cina dan Korea sama-sama negara mau sehingga dominansi ekonomi terhadap China dan Korea meningkatkan rasa superioritas bagi Jepang. Keadaan ini berpengaruh pula pada pemberitaan isu mengenai jugun ianfu yang mendadak ditarik oleh Asahi Shinbun pada 2014. Tentu saja ini dilakukan atas nama nasionalisme dan superioritas.

Di Jepang, media memang tidak sefrontal media Indonesia. Media Jepang cenderung sangat pro pemerintah dan berusaha menjaga image negara sekaligus menjaga kondisi psikologis rakyat. Filter media di Jepang juga cenderung ketat dan selektif dalam memilih pemberitaan apa saja yang tidak meresahkan rakyat. Dalam hal ini, Jepang, melalui media berusaha menghapurkan memori sejarah yang sebaiknya tidak diketahui oleh generasi muda agar generasi muda tidak berpikir bahwa mereka adalah bangsa penjajah. Dengan ditariknya pemberitaan ini, Asahi Shinbun sudah terlihat kehilangan empatinya terhadap China dan Korea.

Sudah banyak orang Jepang yang tidak lagi menyikapi kritik dari China dan Korea dengan sikap yg baik. Apalagi dengan adanya Zaitokukai, sebuah kelompok ultranasionalis sayap kanan yang tidak menghargai hak-hak imigran Korea dan China di Jepang. Zaitokukai kerap melontarkan hate speech yang sebenarnya justru dipicu oleh frustasi masal akibat kesadaran akan inferioritas dan kelemahan Jepang yang membuat Jepang dianggap tidak lagi menjadi kekuatan besar di Asia. Menghadapi hal ini, pemerintahan Abe Shinzo dan LDP membangkitkan “strong Japan” dengan upaya penguatan ekonomi dan militer.

Namun, Kato menyatakan bahwa mustahil Jepang mengungguli China dalam hal ekonomi dan militer. Hal ini bisa ditebak sebabnya yakni karena faktor sumber daya manusia dan problem koreika shakai di Jepang. Selain itu dalam hal ekonomi, China selalu berusaha mencari pasar dan tidak se-idealis Jepang dalam memperhitungkan kualitas produk. China cenderung memperhatikan pasar dan karakter pasar untuk menyesuaikan produk macam apa dan level apa yang cocok untuk dijadikan sasaran ekspor, sementara Jepang selalu memaksimalkan kaizen yang kadang kurang cocok dan kurang tepat guna bagi negara sasaran ekspor. Kaizen itulah yang terus merubah kualitas produk menjadi lebih baik sekaligus melambungkan harga yang akhirnya tidak mampu bersaing di pasar internasional dibandingkan dengan Cina.

Sebagai negara pasifis, dengan merujuk kembali pada pasal 9 Jepang diharapkan dapat menikmati superioritasnya dengan melancarkan soft power sebagai negara yg cinta damai. Akan tetapi, mengingat kembali bahwa Jepang memiliki saingan-saingan berat dalam melancarkan soft power, Jepang tidak bisa begitu saja berbangga hati. Soft power Jepang, seperti yang sudah saya singgung di atas, salah satunya adalah budaya pop yang tergeser oleh budaya pop Korea. Selain itu, yang tidak dituliskan oleh Kato adalah cara Jepang menarik simpati negara kawasan Asia Tenggara dengan adanya beasiswa-beasiswa untuk belajar di Jepang, kini tersaingi juga oleh Korea dan Cina yang gencar memberikan beasiswa sebagai salah satu bentuk soft powernya untuk terus engaged dengan negara-negara kawasan, terutama negara yang menjadi pasarnya.

Pasal 9 yang menerima Nobel Perdamaian, disebutkan oleh Kato bahwa tidak ada pembuktian logis mengapa Jepang pantas menerima Nobel tersebut sementara pada faktanya Jepang dianggap menjadi negara nomor dua di Asia. Sementara spektrum politis tidak bisa menerima dengan mudah fakta bahwa Jepang telah dinomorduakan di Asia. Posisi Jepang sbg negara nomor 2 tidaklah sama dengan posisinya sbg “middle power” pada perang dingin. Sebab secara global, pada masa perang dingin, Jepang memang nomor dua, namun di kawasan Asia, status Jepang pada masa itu adalah sebagai sebuah negara dengan kekuatan besar di Asia. Tergelincirnya Jepang dari posisinya inilah yang membuat Jepang dihadapkan pada situasi-situasi yg gawat dimana perlu adanya pendobrakan terhadap kebijakan-kebijakan lama yang sifatnya closed-door untuk bergeser menjadi open door policy melalui kemunculan kekuatan nuklir, maupun partisipasi dalam TPP. Akan tetapi, perlu dikritisi kembali, apabila benar Jepang ingin turut mengembangkan kekuatan nuklirnya, tentu akan menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, baik dari pihak negara rival ataupun dari dalam negeri, mengingat sempat terjadi tragedi nuklir di Fukushima.