Aku seperti remaja yang terus menyimpan cinta untuk
mantan pacar. Malunya. Aku malu dengan tiga puluh empat batang lilin yang
berbaris menyesaki kue ulang tahun sederhana buatan ibuku tadi malam. Ibuku
mengadakan pesta kecil kecilan, mensyukuri jabatanku yang lebih tinggi dari
tahun lalu dan mensyukuri rentang waktu hidupku yang mencapai tahun ke tiga
puluh empat.
Dia
hadir. Dia yang aku enggan menyebut namanya bukan karena aku benci, atau karena
namanya tak boleh disebut seperti Lord Voldemort, musuh bebuyutan Harry Potter,
bukan itu. Aku tak ingin menyebut namanya semata mata karena aku selalu
merinding setiap namanya terucap dari mulutku melalui getaran pita suara yang
lebih patuh pada keinginan hati daripada kesepakatan pikiranku, logika, dengan
berbagai pertimbangan.
Tadi
malam dia hadir untuk menjabat tanganku dan mengucapkan ‘selamat ulang tahun’
dengan pandangan mata yang terasa melesak masuk ke mataku. Tangan itu: tangan
yang menjabat tanganku semalam masih sama hangatnya seperti dulu, tangan yang
dulu pernah merabai keningku untuk memastikan berapa suhu tubuhku ketika aku
menggigil di ranjang setelah dikeroyok butir butir hujan yang tak terhitung
pada sore harinya. Tangan itu pun, dulu, pernah menepuk-nepuk pelan pundak atau
punggungku sebagai isyarat aku harus tenang atau bersikap lebih santai. Itu
adalah tangan yang dulu pernah kuanggap sebagai tangan peri.
Dia
sempat merangkulku dan memanjatkan beberapa harapan sebagaimana lazimnya
doa-doa pada lagu perayaan ulang tahun: panjang umur, sehat dan bahagia selalu.
Dan hatiku menjawab, “Aku belum bisa bahagia, lagi.” Lalu, bak kawan lama, aku
dan dia duduk di teras belakang rumah meninggalkan beberapa teman dan ibu yang
asyik merumpi di ruang tengah.
Kami
menyaksikan mendung merapat di langit tak berbatas yang gelap seperti
menyaksikan pagelaran wayang kulit: penuh konsentrasi karena takut melewatkan
dialog dalam bahasa Jawa yang tak semuanya kami pahami. Bulan tertutup awan.
Angin barat yang membawa pesan di musim hujan membuat dia melipat tangannya di
depan dada. Mataku bersirobrok dengan matanya yang kebetulan menyapa
pandanganku. Kami bertukar tawa kecil.
“Dingin
ya.”
“Menyenangkan
sekali berulang tahun di bulan November yang basah.” ujarnya. November yang
basah, kuulangi kata katanya yang sejak dulu sudah menjadi seperangkat frase
yang bisa kudengar. Istilah yang dia pakai untuk mengganti frase ‘bulan
November yang sering turun hujan’. Aku pun tahu dia menyukai hujan. Air yang
jatuh dari langit menumbuhkan suasana romantis, dia bilang. Hujan membuatnya
duduk berlama lama di dekat jendela sambil membaca atau mendengarkan musik.
Secangkir kopi menunggu kehilangan kepulnya di meja saat dia asyik mendengarkan
musik sambil memandang titik titik hujan yang membentuk garis garis tak
beraturan di kisi kisi jendela.
Entah
kini dengan siapa dia terbiasa menghabiskan jadwal kegiatan ‘melihat hujan’
yang biasa dia lakoni. Adakah seseorang yang telah setuju menemaninya duduk di
sisi jendela di sore hari seperti yang pernah kulakukan dulu?
Aku
tak pernah menyesali kebersamaan kami. Pun kebersamaan kami tadi malam. Dia
menggenggam gelas air putihnya karena dia menolak sirop buatan ibuku dengan
alasan mengurangi konsumsi gula. Aku tak pernah lupa pada kemampuannya
memperhitungkan asupan gizi: kalori, lemak, gula, kalsium, vitamin, dan lain
lain. Itu adalah salah satu hal yang kurindukan darinya.
Ada
hening yang ikut menimbrung di antara aku dan dia. Beberapa menit. Beberapa
kali dia mengubah posisi kakinya yang bertumpang satu sama lain. Aku bahkan
dapat merasakan naik turun nafasnya.
Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di pikiran kami
masing masing dalam jeda panjang yang didalangi oleh hening itu. Selama ini
kami masih berteman. Dekat. Kadang jalan bersama. Bercerita tentang ibuku,
tentang teman sekantornya, atau menceritakan lelucon tidak penting yang toh
pada akhirnya berhasil membuat kami sama sama tertawa bodoh.
Aku menatapnya dari samping kanan. Dia masih cantik.
Hanya saja terlihat sedikit lebih matang dan tegas daripada empat tahun yang
lalu, ketika dia masih istriku.
--
Lebih dari sepuluh tahun yang lalu aku mengamini
sebuah kalimat – entah ini kalimat yang bagus atau bukan – yang biasanya muncul
secara tersurat di novel novel remaja atau film televisi untuk remaja:
persahabatan sering berakhir dengan cinta, namun cinta hampir tak bernah
berakhir dengan kesepakatan untuk bersahabat. Kini aku merasa keyakinan yang
berusaha dimunculkan dalam novel dan film romantis itu tidak benar.
Aku dan dia masih berteman walau dulunya kami pernah
mencintai, dan bahkan hidup bersama.
Prinsipil sekali lasan kami memutuskan untuk melepas logam mulia
yang melingkari jari manis kami, lalu mengemas barang barang, dan tidak lagi
membagi privasi satu sama lain. Kami sudah menjadi orang lain bagi satu sama
lain.
Aku tak ingin membicarakannya lagi. Sebab dia tidak
pernah berhenti memenuhi duniaku dengan segala hal tentangnya. Jika aku terus
mengenangnya, perasaanku akan semakin meletup letup dan jantungku bisa meledak.
Lagipula dia bukan untuk dikenang. Dia bukan aksesori yang punya tenggat waktu
untuk akhirnya dapat dikatakan ‘so last year’ atau ‘out of date’. Dia juga
bukan senandung lagu sedih yang mengalun di tiap musim hujan ketika aku melihat
keluar jendela. Dia sudah menjadi bagian dari aku dan diriku dan kehidupanku
yang mengembara dalam sebuah perjalanan yang kunamai ‘kepergian’ dan selalu
kurindukan kepulangannya walau tak pernah kuketahui dapatkah suatu saat nanti
ia kembali.
--
Teman
baik.
Kuulangi
lagi: teman baik.
Kami
masih berteman baik hingga hari ini tanpa merasa perlu untuk mengungkit-ungkit
hal yang kusebut terlalu prinsipil yang membuat kami tak lagi berjalan
beriringan.
Menjadi
teman yang bersedia menampung keluh kesah dan ceritanya bukan berarti selalu
turut bahagia dengan segala hal yang membuatnya bahagia. Tapi aku lapang dada.
Laki-laki pengecut, makiku untuk diri sendiri.
Aku
sendiri tak tahu siapa yang patut dipersalahkan ketika aku merasa tidak bisa
menerima kenyataan bahwa dia sedang dalam hubungan khusus – mungkin lebih
tepatnya hubungan spesial yang melibatkan hati dan perasaan – dengan seseorang
yang sudah pasti laki-laki. Haruskah aku menyalahkan dia, atau diriku sendiri,
aku tak tahu. Aku pun tak berniat bertanya pada siapa siapa tentang siapa yang
salah atau pantas dipersalahkan. Mungkin dalam kasus ini kita tak seharusnya
bermain tuduh menuduh tentang siapa yang salah, melainkan yang kekanak-kanakan
akan lebih tepat.
Dia
terlihat bahagia selama ini, tapi aku tidak. Walau awalnya aku mungkin terlihat
antusias dengan hubungan barunya, itu adalah antusiasme yang kupaksakan.
Kudengarkan ceritanya tentang laki-laki yang dia pikir akan segera melamarnya
itu. Kudengarkan. Kudengarkan dengan separuh hati yang tergugu. Kudengarkan
dengan perasaan seperti kejengkelan anak kecil yang gemas karena rumahnya
mendapat giliran fogging nyamuk DBD. Kudengarkan saja sampai tuntas.
Sejak
delapan menit yang lalu dia muncul di pintu rumahku dengan cincin yang
melingkar di tangan kirinya. Cincin tunangan dia bilang. Detik itu juga
kuhentikan semua harapan harapan samar yang selama ini takut kulayangkan
sebagai doa. Aku berhenti mengharapkan kepulangan seseorang yang menempuh
perjalanan yang kunamai ‘kepergian’.
Dia
tak kan pulang pada perasaanku yang cacat. Dia menemukan naungan perasaan lain
dalam pengembaraannya yang tak terlalu panjang.
Aku
lantas sontak ingin berhenti jadi temannya, tak ingin lagi bergurau dengannya,
sayangnya aku tidak bisa menemukan satu hal yang layak kujadikan alasan untuk
menghindari dia, kehidupannya dan segala hal tentangnya.
“Kita
bertemu baik baik, kita berpisah pun seharusnya dengan baik baik, dan kehidupan
kita setelah ini, mustinya tetap baik pula”
Kami
menyepakati hal itu beberapa tahun yang lalu – setelah kami letih berargumen, perseteruan
kami mereda dan otak kami berhasil menjernih dari segala macam kekeruhan yang
berawal dari kata egois dan prinsip – meskipun hal itu terdengar seperti
sederetan teori atau boleh juga dikatakan panduan, seperti sejenis panduan
langkah langkah membongkar onderdil motor lalu merakitnya kembali. Sayangnya
kebersamaanku dengannya tak bisa ditanggapi semudah bongkar pasang onderdil
motor. Biarpun begitu, aku akan tetap ada di sana bila suatu saat nanti dia
menginginkanku menyaksikan kebahagiaan peluk cium dia dan lelaki yang
dicintainya di depan altar.
Aku temannya.
Teman baiknya.
--
Hari Minggu yang tenang. Hari yang ingin kulalui
dengan tarikan oksigen yang dikonversi menjadi karbondioksida dengan lebih
leluasa, tidak dengan rongga dada yang menyempit seolah memakai korset, tidak
dengan perasaan yang dirajam kecewa. Aku ingin segalanya menjadi lebih luang
dan lapang tanpa duka yang membayang.
Laki-laki itu bernama Martin. Kami berkenalan tiga
minggu yang lalu dan dia hari ini berhasil menggali kedukaanku ke permukaan
melalui telepon yang hanya menanyakan apakah aku mengetahui ada apa dengan dia,
mantan istriku yang tidak bisa dihubungi sejak empat hari terakhir ini. Semua
saluran komunikasi: pesawat telepon, instant messanger, sosial media, layanan
pesan singkat, tak berhasil menghubungkan mereka berdua.
Dia menelepon bak seorang sahabat yang menanyakan
keberadaan kekasihnya pada seorang sahabat yang juga sahabat kekasihnya.
Mungkin Martin hanya tahu bahwa aku adalah mantan suami yang menjadi sahabat
yang baik. Dia benar benar tak tahu pergolakan yang secara frekuentif melecuti
perasaanku.
Hari Minggu yang tenang, tak jadi kulalui dengan
mencoba berdamai dengan perasaan diiringi proses respirasi yang santai. Aku
terdampar di depan pintu apartemen dia, mantan istriku. Walaupun Martin tak
memintaku, aku bertandang ke tempat ini entah atas permintaan siapa. Aku memang
kadang kadang impulsif.
Lengang.
Sebelas kali sudah aku menelepon ponselnya. Aktif.Tapi tak ada jawaban. Hanya rekaman suaranya yang kudengar sebagai sapaan voice
mailbox sebelum terdengar nada beep. Beberapa kali aku mengirim pesan singkat
dengan isi yang sama, jumlah karakter yang sama, kata kata yang sama.
Aku tak merasa kehilangan dia paska perceraian
karena dia masih ada di sana, masih mendengarkan, dan menceritakan
kehidupannya. Kami hanya membangun batas yang sama dengan batas yang kami
tetapkan antara aku dan teman yang lain, antara dia dan temannya yang lain.
Inilah detik detik dimana aku baru merasa dia akan menjadi orang lain yang
semakin lain. Dia tak akan sendiri lagi. Orang lain itu akan ada untuknya,
entah sebaik apa, entah sepengertian apa, aku ingin membandingkannya dengan
diriku.
Dia sudah memilih dan dia sudah dipilih. Tak ada
lagi alasan buatku untuk terus membuai perasaanku yang masih jatuh cinta
padanya setiap hari.
Pintu itu terbuka sedikit.
Oh, akhirnya. Kulihat kepalanya menyembul sedikit
seperti anak kecil yang takut takut menerima tamu kala orang tua sedang tak
ada.
“Martin
yang menyuruhmu kemari?” tanyanya. Matanya menyipit memberi kesan menyelidik.
Aku tidak mungkin melewatkan pemandangan ini, matanya sembab. Habis menangis?
Bertengkar dengan Martin? Martin mulai main api rupanya?!
Tanpa menantikan jawaban dariku, dia melebarkan daun
pintu dan aku masuk setelah menangkap isyarat dari gerakan kepalanya. Aku
mengekor langkahnya dan duduk di depan televisi sementara dia melanjutkan derap
langkahnya ke konter dapur. Aku mengamati dari belakang.
Celana khaki, cardigan, rambut yang digelung tinggi.
Dia kembali membawa secangkir kopi. Kopi yang aku
suka, racikan yang tepat, dan satu fakta yang kudapat: dia tidak melupakan
seleraku.
“Martin
mengajakku fitting wedding dress
minggu lalu” pita suaranya bergetar menimbulkan resonansi yang membunyikan
kalimat yang barusan kudengar. Ulu hatiku nyeri. Di pikiranku terlintas tanya, sejak kapan kau bisa menuruti kemauan orang
saat kau tak senang? Untungnya aku dengan waras tidak jadi melontarkan
kalimat bertandatanya yang bisa memancing kemurkaannya. Ujungnya aku hanya
menyesap kopi buatannya sambil melirik ke arahnya. Kulakukan agar dia tidak
merasa diacuhkan walau sejujurnya aku tak ingin dengar.
Kuletakkan cangkir kopi itu di meja. Kupandangi
permukaan cairan hitam pekat yang masih menggeliat ringan setelah cangkir lepas dari tanganku.
Kami berdua lantas saling menatap dari seberang meja
yang memisahkan kami. Wajah itu sembab. Entah dia menangis sejak kapan. Aku tak
berniat bertanya, aku hanya ingin merasakan apa yang ia rasa. Sakitkah?
Selepas kalimat itu, aku tak mendengar dia berbicara
apa apa lagi. Menyangga dagu, dia membuang pandangannya ke samping kanan,
melirik satu titik, entah benda atau berusaha melihat udara, beberapa menit
lamanya.
“Kenalan
Martin, seorang fotografer, menyanggupi akan menangani foto pre-wedding kami.”
“Bagus
dong.” aku mencoba menarik kedua ujung bibir ke samping, ikut senang meski
jantungku terasa dilipat lipat. Secara otomatis aku memvisualisasikan
perasaanku seperti abu rokok yang dihentak ringan dengan telunjuk hingga rontok
dari batang rokoknya, tak beraturan, dan tak bisa kukumpulkan lagi – bahkan
mencari serpihannya saja aku sudah kesulitan.
Pandangan matanya mendadak menyambarku dengan tegas.
Wajah ingin protes. Aku hafal ekspresi ekspresi yang terbentuk dari cekungan,
kerutan, kembang kempis, di wajahnya. Dia sudah menarik nafas, siap menegur
tanggapanku. Mungkin teguran atau hardikannya sudah sampai di ujung lidah,
namun ditelannya kembali seiring dengan bibir yang sudah setengah terbuka itu
mengatup. Batal.
Dia beringsut mengangkat cangkirnya sebelum meninggalkan
tempat duduk sambil menyembunyikan wajahnya dengan pura pura menggaruk dahi
sebelah kiri dengan tangan kanan yang melintas secara diagonal di wajahnya.
Helaan napasnya berhasil kudengar dari tempat
dudukku yang tak jauh dari konter dapur. Dia berdiri terpekur di dekat wastafel,
lalu terisak. Jujur, aku panik. Dia berusaha membelakangiku ketika aku
mendekat. Tangannya membekap mulut mencegah lompatan isakan selanjutnya. Kubiarkan
dia mengatur nafasnya yang tersendat. Aku sendiri merasa paru-paruku tergulung
dalam rongga dadaku.
“Aku
tidak ingin menikahi Martin.” dia berhasil mengucapkannya sambil menatapku
setelah beringsutan menghapus lelehan air mata dengan lengan panjang
kardigannya. Wajah setengah basah dan kemerahan. Kepedihan membuat darah naik
ke kepalanya.
“Bukan
dia yang aku inginkan. Aku berpikir lama sekali untuk memastikan apa yang
kurasakan. Aku menghabiskan semalaman menerjemahkan kesibukan, rasa lelah,
kecewa, marah, bahagiaku, hidupku. Tak kutemukan Martin di situ.” susah payah
dia menormal-normalkan suaranya yang tetap saja dikuntit getar getar di ujung
kata kata yang tersendat.
Kunaikkan pandanganku ke langit langit. Mataku
basah. Aku malu.
Lihatlah, dua manusia bodoh yang pernah tiga tahun
hidup bersama berusaha menyembunyikan air matanya.
Sambil membekap mulutnya kembali, dia berlalu,
mencari sesuatu yang bisa menggantikan kakinya menopang tubuhnya. Aku tahu,
menangis itu melelahkan sekalipun itu adalah pelampiasan emosi terbaik. Tanpa
menghabiskan waktu menatapnya dari kejauhan dengan mata nanar, aku menyusulnya.
Kusejajari posisi duduknya di sofa dengan jarak sangat dekat. Aku tak peduli
memeluk calon istri orang adalah hal yang buruk. Satu lagi perilaku yang tak
patuh pada rasio.
Kurengkuh dia tanpa peduli kaos poloku akan
terbasahi oleh air matanya. Kubiarkan dia melingkarkan kedua lengannya di
tubuhku meski akhirnya ada gulir air dari mataku sebagai akibat dari jantungku
yang tak dapat membedakan rasa sakit, rindu, duka dan syahdu. Dia terisak
sementara lingkar kedua lengannya di tubuhku terasa makin membelit dan
menyesakkan. Kueratkan dekapanku.
Kurasakan pundakku basah. Kurasakan naik turun
nafasnya yang mulai teratur. Dia mungkin sudah ingin menghentikan air matanya.
“Ada
sesuatu yang ingin kaukatakan? Tumpahkan semuanya, apa yang membebanimu? Jangan
ditahan. Katakan sebelum kau benar benar kelelahan.”
“Aku
rindu...jadi istrimu”
Aku terkesiap.
Aku tahu, kami menyimpan perasaan yang sama dalam
porsi yang lebih besar, lebih matang, lebih utuh.
“dan
masih...” susah payah dia berusaha menamatkan apa yang sudah tak dapat dia
bendung lagi. Aku sudah cukup tahu. Aku mendesis menghentikan kalimat yang
hammpir sempurna menjadi sebuah pengakuan yang sama dengan pengakuan yang sejak
tadi kutahan mati matian.
Kurenggangkan pelukan untuk menatap matanya yang tak
lagi jernih sebab harus memerah air mata. Selama itukah waktu yang dia butuhkan
untuk sekedar menyadari bahwa aku masih bisa diatemukan ditiap sudut jiwa dan
raganya?
“Menikahlah
denganku lagi. Perasaan itu masih sama, mungkin lebih dalam”
Dia merangsek kembali, mengangguk beberapa kali
dalam pelukanku.
Segenap jiwaku tersenyum, menyambut kepulangannya.
Selamat datang kembali, kasih.
April, 2014