Monday, February 8, 2016

Mars


Akan tarik menarik jika dua kutub yang berbeda dipertemukan dan akan tolak menolak jika yang bertemu adalah dua kutub yang sama. Itu magnet. Bukan manusia.

Men are from mars and women are from venus. Tapi meskipun dari planet berbeda, entah kenapa laki laki dan perempuan ditakdirkan untuk bersama. Seperti magnet yang berjodoh antara kutub utara dan selatan. Nyatanya, manusia bukan magnet. Manusia punya lebih banyak faktor yang memungkinkan mereka untuk menjadi anomali. Faktanya, mereka bersama meskipun mereka bertetangga di planet yang sama, di kutub yang sama.

Aku tak pernah sengaja melindungimu, tapi hatiku yang selalu melakukannya. Pikiranku ingin berhenti mengasihimu, sayangnya perasaanku membela pihakmu. Mungkin karena perasaanku mengartikan perasaanmu, bahwa menjadi berbeda itu kadang harus terluka.

Dan hatiku pun terus digerus pedih.

Kau mengayunkan tanganmu di udara dengan jenuh. Jenuh menanti dering ponsel yang sedari tadi kau pandangi dengan sorot mata gadis belia yang menanti telepon pencuri hatinya. Dia akan menelepon, begitu keyakinanmu. Dan kalau dia menelepon, itu tandanya dia sudah sampai di kota tempat kita duduk saling berdiam sampai jemu sekarang ini.

Sudah tiga bulan berselang setelah duniaku runtuh sehari. Kau tak tahu, walau kau terus bersamaku dan dunia kita terus bersinergi. Kau benar benar tak tahu. Berani taruhan. Walaupun dunia kita bergerak layaknya gear yang bergerak karena gerakan yang lain. Kau tak tahu. Dan kau tak perlu tahu.

Entah sudah berapa banyak kawan dan karib kerabat yang mengerutkan kening mereka dengan tajam seolah baru mengendus busuk. Aku lelah menghitung. Sama seperti lelahnya aku menunggumu mengulurkan benang merah padaku. Aku tak pernah menyayangkan karena kau tak tahu. Aku pun tak ingin kau tahu meskipun duniaku terasa runtuh tiap harinya dan harus kutata kembali puing puingnya.

“Dia ini serius atau main main?” gumammu sambil mengepalkan tangan di depan mulutmu hingga suaramu terdengar seperti menggeram. Aku menggeser posisi majalah dari depan wajahku dan memiringkan kepala berusaha menggodamu seperti menggoda anak SD.

“Dia pasti datang, dia hanya tidak bisa menelepon” ujarku menghiburmu sekaligus menggerus hatiku sendiri dengan cemburu. 

Kau menatapku setelah tanganmu menyingkirkan majalah dari hadapan mukaku. Kumohon jangan tatap aku seperti itu. Kau sedang menanti cintamu, aku tahu. Tapi yang kau cintai bukan aku. Pedihnya, aku belum berhenti mencintaimu. Entah apa namanya, bodoh atau konyol, aku membiarkan hatiku retak leleh di hadapanmu yang menanti orang lain yang kau kasihi.

“Terimakasih” kaubilang. Aku menaikkan alis dan kau menjawab, “untuk selalu berpihak padaku”

Lihat?! Semudah itu aku mengisyaratkan ketidakmengertianku dan semudah itu pula kau mengartikan bahasa tubuhku. Aku hanya membalasmu dengan senyum sewajarnya.

“Meskipun mereka juga mengata ngataimu tidak bermoral, liberal, bebal, tidak berakal” lanjutmu. Entah, mungkin kau lupa bahwa kau sudah mengatakan itu berkali kali sebagai kekaguman atas kegigihanku, atau mungkin kekeraskepalaanku. Aku menyentuh tanganmu dan diluar dugaanku, kau balas menggenggam. Ada hangat menyebar di rongga dadaku. Otakku tak pernah luput menerjemahkan saat saat seperti ini sebagai kebahagiaan yang sendu dan tak pernah absen merekam suaramu. Jangankan menatapmu, melirikmu dari sudut mata sipitku pun menjadi sebuah kenangan di dasar memoriku, menjadi endapan seperti saat aku minum jamu beras kencur yang sudah lama dituang di gelas tak diaduk.

Aku mencintaimu, tapi aku tidak pernah berharap kau tahu.

Just because you have different view, it doesn’t mean that they are better than you and able to discriminate you” gumamku. Kau tersenyum. Senyum yang pernah dikecup orang  selain aku. Matamu menerawang, seolah melihat arak arakan awan di langit dari balik jendela yang kubelakangi.

Aku lelah mendengar orang orang yang berkasak kusuk kisuk kisuk tentangmu. Itu benar benar menyakitiku. Bukan apa apa. Aku hanya merasa seolah ditancapi pasak bumi tiap kali mereka bertanya padaku tentangmu dan dia. Itu kan namanya mengingatkanku berkali kali. Padahal aku sudah ingin memendam kenyataan itu. Walaupun aku kerap melihat kenyataan bahwa kalian bersama, tapi tak perlu mereka ulangi dalam kata kata, frase, kalimat, dan obrolan, kan?

Perlahan aku mendekat dan berusaha melihat objek yang sama dengan yang kau lihat dari balkon apartemenmu. Entah kau melihat gedung gedung dan keramaian jalan raya dibawah sana atau memandang udara atau mencari titik temu langit dan bumi yang terlihat bersatu di kejauhan sana.

Kau tahu, kau bisa melihat langit dan bumi bertemu di cakrawala. Kau pun sering melihatnya di laut. Aku juga. Tapi lagi lagi aku selalu teringat betapa dua planet itu disematkan dalam nama kita sebagai reminder bahwa kita tak akan bertemu karena kita akan terus berputar di orbit kita masing masing.

“Kejora.” panggilmu. Aku hanya menggumam lalu menyorongkan segelas softdrink ke mulutku sendiri.

“Besok kita meeting lho!”

“Aku tahu, Anggoro. Kau jangan galau dong, kan tidak lucu kalau kau bicara di depan orang orang dengan tema galauisme?”

Haha. Kau tertawa.

Hanya itu yang bisa kukatakan. Pekerjaan kita. Bukan perasaanku padamu. Bukan betapa sulitnya usahaku menerimamu sebagai ‘hanya teman’ dua tahun terakhir ini. Bukan betapa rumitnya perasaanku yang sudah menjadi gumpalan benang kusut yang tak bisa kuurai lagi.

Dan ketika bel apartemenmu berbunyi, aku tahu apa yang harus kulakukan karena kau sudah mendapatkan apa yang kaunanti nanti. Kau beranjak. Aku tetap disini. Di balkon. Bergerak lambat lambat mendapatkan laptopmu untuk melepas flashdisk yang masih tersemat disitu.

“Data data sudah kucopy ke folder biasa, ya” kataku mengingatkan.

Aku menyelipkan juntaian rambut ke daun telingaku dan berpura pura mengecek ponsel ketika tangan kalian saling bertautan setelah pintu kembali tertutup.

Hi Kejora, it’s been a while...” kudengar kekasihmu menyapaku setelah melepas ciuman kalian. Mendadak aku kehabisan oksigen.

“Hai Tonny!” kutarik kedua ujung bibirku kesamping.

Semoga senyumanku tak terlihat palsu.

Selasa, 01 Oktober 2013
09: 55
Malang

1 comment:

  1. Ah, bagus... ga ketebak. ga nyangka bgt kalo gay sbelum adegan ciuman diakhir cerita. Sukaaaa.... ^^

    ReplyDelete