Monday, February 8, 2016

PULANG


Aku seperti remaja yang terus menyimpan cinta untuk mantan pacar. Malunya. Aku malu dengan tiga puluh empat batang lilin yang berbaris menyesaki kue ulang tahun sederhana buatan ibuku tadi malam. Ibuku mengadakan pesta kecil kecilan, mensyukuri jabatanku yang lebih tinggi dari tahun lalu dan mensyukuri rentang waktu hidupku yang mencapai tahun ke tiga puluh empat.

Dia hadir. Dia yang aku enggan menyebut namanya bukan karena aku benci, atau karena namanya tak boleh disebut seperti Lord Voldemort, musuh bebuyutan Harry Potter, bukan itu. Aku tak ingin menyebut namanya semata mata karena aku selalu merinding setiap namanya terucap dari mulutku melalui getaran pita suara yang lebih patuh pada keinginan hati daripada kesepakatan pikiranku, logika, dengan berbagai pertimbangan.

Tadi malam dia hadir untuk menjabat tanganku dan mengucapkan ‘selamat ulang tahun’ dengan pandangan mata yang terasa melesak masuk ke mataku. Tangan itu: tangan yang menjabat tanganku semalam masih sama hangatnya seperti dulu, tangan yang dulu pernah merabai keningku untuk memastikan berapa suhu tubuhku ketika aku menggigil di ranjang setelah dikeroyok butir butir hujan yang tak terhitung pada sore harinya. Tangan itu pun, dulu, pernah menepuk-nepuk pelan pundak atau punggungku sebagai isyarat aku harus tenang atau bersikap lebih santai. Itu adalah tangan yang dulu pernah kuanggap sebagai tangan peri.

Dia sempat merangkulku dan memanjatkan beberapa harapan sebagaimana lazimnya doa-doa pada lagu perayaan ulang tahun: panjang umur, sehat dan bahagia selalu. Dan hatiku menjawab, “Aku belum bisa bahagia, lagi.” Lalu, bak kawan lama, aku dan dia duduk di teras belakang rumah meninggalkan beberapa teman dan ibu yang asyik merumpi di ruang tengah.

Kami menyaksikan mendung merapat di langit tak berbatas yang gelap seperti menyaksikan pagelaran wayang kulit: penuh konsentrasi karena takut melewatkan dialog dalam bahasa Jawa yang tak semuanya kami pahami. Bulan tertutup awan. Angin barat yang membawa pesan di musim hujan membuat dia melipat tangannya di depan dada. Mataku bersirobrok dengan matanya yang kebetulan menyapa pandanganku. Kami bertukar tawa kecil.

“Dingin ya.”

“Menyenangkan sekali berulang tahun di bulan November yang basah.” ujarnya. November yang basah, kuulangi kata katanya yang sejak dulu sudah menjadi seperangkat frase yang bisa kudengar. Istilah yang dia pakai untuk mengganti frase ‘bulan November yang sering turun hujan’. Aku pun tahu dia menyukai hujan. Air yang jatuh dari langit menumbuhkan suasana romantis, dia bilang. Hujan membuatnya duduk berlama lama di dekat jendela sambil membaca atau mendengarkan musik. Secangkir kopi menunggu kehilangan kepulnya di meja saat dia asyik mendengarkan musik sambil memandang titik titik hujan yang membentuk garis garis tak beraturan di kisi kisi jendela.

Entah kini dengan siapa dia terbiasa menghabiskan jadwal kegiatan ‘melihat hujan’ yang biasa dia lakoni. Adakah seseorang yang telah setuju menemaninya duduk di sisi jendela di sore hari seperti yang pernah kulakukan dulu?

Aku tak pernah menyesali kebersamaan kami. Pun kebersamaan kami tadi malam. Dia menggenggam gelas air putihnya karena dia menolak sirop buatan ibuku dengan alasan mengurangi konsumsi gula. Aku tak pernah lupa pada kemampuannya memperhitungkan asupan gizi: kalori, lemak, gula, kalsium, vitamin, dan lain lain. Itu adalah salah satu hal yang kurindukan darinya.

Ada hening yang ikut menimbrung di antara aku dan dia. Beberapa menit. Beberapa kali dia mengubah posisi kakinya yang bertumpang satu sama lain. Aku bahkan dapat merasakan naik turun nafasnya.        

Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di pikiran kami masing masing dalam jeda panjang yang didalangi oleh hening itu. Selama ini kami masih berteman. Dekat. Kadang jalan bersama. Bercerita tentang ibuku, tentang teman sekantornya, atau menceritakan lelucon tidak penting yang toh pada akhirnya berhasil membuat kami sama sama tertawa bodoh.

Aku menatapnya dari samping kanan. Dia masih cantik. Hanya saja terlihat sedikit lebih matang dan tegas daripada empat tahun yang lalu, ketika dia masih istriku.
--

Lebih dari sepuluh tahun yang lalu aku mengamini sebuah kalimat – entah ini kalimat yang bagus atau bukan – yang biasanya muncul secara tersurat di novel novel remaja atau film televisi untuk remaja: persahabatan sering berakhir dengan cinta, namun cinta hampir tak bernah berakhir dengan kesepakatan untuk bersahabat. Kini aku merasa keyakinan yang berusaha dimunculkan dalam novel dan film romantis itu tidak benar.

Aku dan dia masih berteman walau dulunya kami pernah mencintai, dan bahkan hidup bersama.

Prinsipil sekali lasan kami memutuskan untuk melepas logam mulia yang melingkari jari manis kami, lalu mengemas barang barang, dan tidak lagi membagi privasi satu sama lain. Kami sudah menjadi orang lain bagi satu sama lain.

Aku tak ingin membicarakannya lagi. Sebab dia tidak pernah berhenti memenuhi duniaku dengan segala hal tentangnya. Jika aku terus mengenangnya, perasaanku akan semakin meletup letup dan jantungku bisa meledak. Lagipula dia bukan untuk dikenang. Dia bukan aksesori yang punya tenggat waktu untuk akhirnya dapat dikatakan ‘so last year’ atau ‘out of date’. Dia juga bukan senandung lagu sedih yang mengalun di tiap musim hujan ketika aku melihat keluar jendela. Dia sudah menjadi bagian dari aku dan diriku dan kehidupanku yang mengembara dalam sebuah perjalanan yang kunamai ‘kepergian’ dan selalu kurindukan kepulangannya walau tak pernah kuketahui dapatkah suatu saat nanti ia kembali.
--

Teman baik.
Kuulangi lagi: teman baik.

Kami masih berteman baik hingga hari ini tanpa merasa perlu untuk mengungkit-ungkit hal yang kusebut terlalu prinsipil yang membuat kami tak lagi berjalan beriringan.

Menjadi teman yang bersedia menampung keluh kesah dan ceritanya bukan berarti selalu turut bahagia dengan segala hal yang membuatnya bahagia. Tapi aku lapang dada.

Laki-laki pengecut, makiku untuk diri sendiri.

Aku sendiri tak tahu siapa yang patut dipersalahkan ketika aku merasa tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia sedang dalam hubungan khusus – mungkin lebih tepatnya hubungan spesial yang melibatkan hati dan perasaan – dengan seseorang yang sudah pasti laki-laki. Haruskah aku menyalahkan dia, atau diriku sendiri, aku tak tahu. Aku pun tak berniat bertanya pada siapa siapa tentang siapa yang salah atau pantas dipersalahkan. Mungkin dalam kasus ini kita tak seharusnya bermain tuduh menuduh tentang siapa yang salah, melainkan yang kekanak-kanakan akan lebih tepat.

Dia terlihat bahagia selama ini, tapi aku tidak. Walau awalnya aku mungkin terlihat antusias dengan hubungan barunya, itu adalah antusiasme yang kupaksakan. Kudengarkan ceritanya tentang laki-laki yang dia pikir akan segera melamarnya itu. Kudengarkan. Kudengarkan dengan separuh hati yang tergugu. Kudengarkan dengan perasaan seperti kejengkelan anak kecil yang gemas karena rumahnya mendapat giliran fogging nyamuk DBD. Kudengarkan saja sampai tuntas.

Sejak delapan menit yang lalu dia muncul di pintu rumahku dengan cincin yang melingkar di tangan kirinya. Cincin tunangan dia bilang. Detik itu juga kuhentikan semua harapan harapan samar yang selama ini takut kulayangkan sebagai doa. Aku berhenti mengharapkan kepulangan seseorang yang menempuh perjalanan yang kunamai ‘kepergian’.

Dia tak kan pulang pada perasaanku yang cacat. Dia menemukan naungan perasaan lain dalam pengembaraannya yang tak terlalu panjang. 

Aku lantas sontak ingin berhenti jadi temannya, tak ingin lagi bergurau dengannya, sayangnya aku tidak bisa menemukan satu hal yang layak kujadikan alasan untuk menghindari dia, kehidupannya dan segala hal tentangnya.

“Kita bertemu baik baik, kita berpisah pun seharusnya dengan baik baik, dan kehidupan kita setelah ini, mustinya tetap baik pula”

Kami menyepakati hal itu beberapa tahun yang lalu – setelah kami letih berargumen, perseteruan kami mereda dan otak kami berhasil menjernih dari segala macam kekeruhan yang berawal dari kata egois dan prinsip – meskipun hal itu terdengar seperti sederetan teori atau boleh juga dikatakan panduan, seperti sejenis panduan langkah langkah membongkar onderdil motor lalu merakitnya kembali. Sayangnya kebersamaanku dengannya tak bisa ditanggapi semudah bongkar pasang onderdil motor. Biarpun begitu, aku akan tetap ada di sana bila suatu saat nanti dia menginginkanku menyaksikan kebahagiaan peluk cium dia dan lelaki yang dicintainya di depan altar.

Aku temannya.
Teman baiknya.
--

Hari Minggu yang tenang. Hari yang ingin kulalui dengan tarikan oksigen yang dikonversi menjadi karbondioksida dengan lebih leluasa, tidak dengan rongga dada yang menyempit seolah memakai korset, tidak dengan perasaan yang dirajam kecewa. Aku ingin segalanya menjadi lebih luang dan lapang tanpa duka yang membayang.

Laki-laki itu bernama Martin. Kami berkenalan tiga minggu yang lalu dan dia hari ini berhasil menggali kedukaanku ke permukaan melalui telepon yang hanya menanyakan apakah aku mengetahui ada apa dengan dia, mantan istriku yang tidak bisa dihubungi sejak empat hari terakhir ini. Semua saluran komunikasi: pesawat telepon, instant messanger, sosial media, layanan pesan singkat, tak berhasil menghubungkan mereka berdua.

Dia menelepon bak seorang sahabat yang menanyakan keberadaan kekasihnya pada seorang sahabat yang juga sahabat kekasihnya. Mungkin Martin hanya tahu bahwa aku adalah mantan suami yang menjadi sahabat yang baik. Dia benar benar tak tahu pergolakan yang secara frekuentif melecuti perasaanku.

Hari Minggu yang tenang, tak jadi kulalui dengan mencoba berdamai dengan perasaan diiringi proses respirasi yang santai. Aku terdampar di depan pintu apartemen dia, mantan istriku. Walaupun Martin tak memintaku, aku bertandang ke tempat ini entah atas permintaan siapa. Aku memang kadang kadang impulsif.

Lengang.

Sebelas kali sudah aku menelepon ponselnya. Aktif.Tapi tak ada jawaban. Hanya rekaman suaranya yang kudengar sebagai sapaan voice mailbox sebelum terdengar nada beep. Beberapa kali aku mengirim pesan singkat dengan isi yang sama, jumlah karakter yang sama, kata kata yang sama.  

Aku tak merasa kehilangan dia paska perceraian karena dia masih ada di sana, masih mendengarkan, dan menceritakan kehidupannya. Kami hanya membangun batas yang sama dengan batas yang kami tetapkan antara aku dan teman yang lain, antara dia dan temannya yang lain. Inilah detik detik dimana aku baru merasa dia akan menjadi orang lain yang semakin lain. Dia tak akan sendiri lagi. Orang lain itu akan ada untuknya, entah sebaik apa, entah sepengertian apa, aku ingin membandingkannya dengan diriku.

Dia sudah memilih dan dia sudah dipilih. Tak ada lagi alasan buatku untuk terus membuai perasaanku yang masih jatuh cinta padanya setiap hari.

Pintu itu terbuka sedikit.

Oh, akhirnya. Kulihat kepalanya menyembul sedikit seperti anak kecil yang takut takut menerima tamu kala orang tua sedang tak ada.

“Martin yang menyuruhmu kemari?” tanyanya. Matanya menyipit memberi kesan menyelidik. Aku tidak mungkin melewatkan pemandangan ini, matanya sembab. Habis menangis? Bertengkar dengan Martin? Martin mulai main api rupanya?!

Tanpa menantikan jawaban dariku, dia melebarkan daun pintu dan aku masuk setelah menangkap isyarat dari gerakan kepalanya. Aku mengekor langkahnya dan duduk di depan televisi sementara dia melanjutkan derap langkahnya ke konter dapur. Aku mengamati dari belakang.

Celana khaki, cardigan, rambut yang digelung tinggi.

Dia kembali membawa secangkir kopi. Kopi yang aku suka, racikan yang tepat, dan satu fakta yang kudapat: dia tidak melupakan seleraku.

“Martin mengajakku fitting wedding dress minggu lalu” pita suaranya bergetar menimbulkan resonansi yang membunyikan kalimat yang barusan kudengar. Ulu hatiku nyeri. Di pikiranku terlintas tanya, sejak kapan kau bisa menuruti kemauan orang saat kau tak senang? Untungnya aku dengan waras tidak jadi melontarkan kalimat bertandatanya yang bisa memancing kemurkaannya. Ujungnya aku hanya menyesap kopi buatannya sambil melirik ke arahnya. Kulakukan agar dia tidak merasa diacuhkan walau sejujurnya aku tak ingin dengar.

Kuletakkan cangkir kopi itu di meja. Kupandangi permukaan cairan hitam pekat yang masih menggeliat ringan setelah cangkir lepas dari tanganku.

Kami berdua lantas saling menatap dari seberang meja yang memisahkan kami. Wajah itu sembab. Entah dia menangis sejak kapan. Aku tak berniat bertanya, aku hanya ingin merasakan apa yang ia rasa. Sakitkah?

Selepas kalimat itu, aku tak mendengar dia berbicara apa apa lagi. Menyangga dagu, dia membuang pandangannya ke samping kanan, melirik satu titik, entah benda atau berusaha melihat udara, beberapa menit lamanya.

“Kenalan Martin, seorang fotografer, menyanggupi akan menangani foto pre-wedding kami.”

“Bagus dong.” aku mencoba menarik kedua ujung bibir ke samping, ikut senang meski jantungku terasa dilipat lipat. Secara otomatis aku memvisualisasikan perasaanku seperti abu rokok yang dihentak ringan dengan telunjuk hingga rontok dari batang rokoknya, tak beraturan, dan tak bisa kukumpulkan lagi – bahkan mencari serpihannya saja aku sudah kesulitan.

Pandangan matanya mendadak menyambarku dengan tegas. Wajah ingin protes. Aku hafal ekspresi ekspresi yang terbentuk dari cekungan, kerutan, kembang kempis, di wajahnya. Dia sudah menarik nafas, siap menegur tanggapanku. Mungkin teguran atau hardikannya sudah sampai di ujung lidah, namun ditelannya kembali seiring dengan bibir yang sudah setengah terbuka itu mengatup. Batal.

Dia beringsut mengangkat cangkirnya sebelum meninggalkan tempat duduk sambil menyembunyikan wajahnya dengan pura pura menggaruk dahi sebelah kiri dengan tangan kanan yang melintas secara diagonal di wajahnya.

Helaan napasnya berhasil kudengar dari tempat dudukku yang tak jauh dari konter dapur. Dia berdiri terpekur di dekat wastafel, lalu terisak. Jujur, aku panik. Dia berusaha membelakangiku ketika aku mendekat. Tangannya membekap mulut mencegah lompatan isakan selanjutnya. Kubiarkan dia mengatur nafasnya yang tersendat. Aku sendiri merasa paru-paruku tergulung dalam rongga dadaku.

“Aku tidak ingin menikahi Martin.” dia berhasil mengucapkannya sambil menatapku setelah beringsutan menghapus lelehan air mata dengan lengan panjang kardigannya. Wajah setengah basah dan kemerahan. Kepedihan membuat darah naik ke kepalanya.

“Bukan dia yang aku inginkan. Aku berpikir lama sekali untuk memastikan apa yang kurasakan. Aku menghabiskan semalaman menerjemahkan kesibukan, rasa lelah, kecewa, marah, bahagiaku, hidupku. Tak kutemukan Martin di situ.” susah payah dia menormal-normalkan suaranya yang tetap saja dikuntit getar getar di ujung kata kata yang tersendat.

Kunaikkan pandanganku ke langit langit. Mataku basah. Aku malu.

Lihatlah, dua manusia bodoh yang pernah tiga tahun hidup bersama berusaha menyembunyikan air matanya.

Sambil membekap mulutnya kembali, dia berlalu, mencari sesuatu yang bisa menggantikan kakinya menopang tubuhnya. Aku tahu, menangis itu melelahkan sekalipun itu adalah pelampiasan emosi terbaik. Tanpa menghabiskan waktu menatapnya dari kejauhan dengan mata nanar, aku menyusulnya. Kusejajari posisi duduknya di sofa dengan jarak sangat dekat. Aku tak peduli memeluk calon istri orang adalah hal yang buruk. Satu lagi perilaku yang tak patuh pada rasio.

Kurengkuh dia tanpa peduli kaos poloku akan terbasahi oleh air matanya. Kubiarkan dia melingkarkan kedua lengannya di tubuhku meski akhirnya ada gulir air dari mataku sebagai akibat dari jantungku yang tak dapat membedakan rasa sakit, rindu, duka dan syahdu. Dia terisak sementara lingkar kedua lengannya di tubuhku terasa makin membelit dan menyesakkan. Kueratkan dekapanku.

Kurasakan pundakku basah. Kurasakan naik turun nafasnya yang mulai teratur. Dia mungkin sudah ingin menghentikan air matanya.

“Ada sesuatu yang ingin kaukatakan? Tumpahkan semuanya, apa yang membebanimu? Jangan ditahan. Katakan sebelum kau benar benar kelelahan.”

“Aku rindu...jadi istrimu”

Aku terkesiap.

Aku tahu, kami menyimpan perasaan yang sama dalam porsi yang lebih besar, lebih matang, lebih utuh.

“dan masih...” susah payah dia berusaha menamatkan apa yang sudah tak dapat dia bendung lagi. Aku sudah cukup tahu. Aku mendesis menghentikan kalimat yang hammpir sempurna menjadi sebuah pengakuan yang sama dengan pengakuan yang sejak tadi kutahan mati matian.

Kurenggangkan pelukan untuk menatap matanya yang tak lagi jernih sebab harus memerah air mata. Selama itukah waktu yang dia butuhkan untuk sekedar menyadari bahwa aku masih bisa diatemukan ditiap sudut jiwa dan raganya?

“Menikahlah denganku lagi. Perasaan itu masih sama, mungkin lebih dalam”

Dia merangsek kembali, mengangguk beberapa kali dalam pelukanku.
Segenap jiwaku tersenyum, menyambut kepulangannya.

Selamat datang kembali, kasih.

April, 2014

No comments:

Post a Comment