Monday, October 3, 2016

Snowfall On The Sahara



Aku ingin marah tanpa ada satupun yang mencegah. Aku ingin marah habis habisan hari ini. Marah pada diri sendiri dan dunia. Aku ingin mengerahkan angkara yang tersebar di setiap inci tubuhku yang dialiri darah. Murka dengan dengus nafas yang terus membuat jantungku memompa darah mempertahankan hidup yang tak kuinginkan.

Aku ingin mengumpat, meneriakkan kata kata kotor tanpa merasa bersalah. Aku ingin memaki dan membentak orang tanpa merasa berdosa. Aku ingin meninju cermin antik di kamarku tanpa harus meringis sakit saat melihat kepalan tanganku dikucuri darah dari pembuluh darahku yang terobek serpihan kaca. Aku ingin menjungkir balikkan meja makan yang dipenuhi makanan yang telah tertata rapi.

Aku mau menggoblok goblokkan guru SD sebelah rumah yang sotoy, padahal otaknya tak berisi apapun yang sekiranya penting. Aku ingin mendorong pundaknya di depan murid muridnya dan membuat wali murid berfikir mereka telah menyekolahkan anak anak mereka di sekolah yang salah. Sekolah yang salah satu gurunya belagak seperti sosialita, tapi sejatinya kuper, kampungan dan satu lagi, kecerdasannya kurang jika dibandingkan dengan keponakanku yang masih SMA.

Aku berani menegur sopir angkot yang ngetem terlalu lama di pengkolan jalan dan membuat celanaku terkena muntahan anak kecil yang mual sebab terlalu lama kepanasan dan membaui bahan bakar.

Aku berharap bisa tega menghina si mahasiswa S2 itu, yang sok kaya, dan sok intelek, padahal hidupnya tak pernah dihargai teman sejawatnya. Hidupnya menyedihkan. Tingkah hedonis yang memuakkan. Ingin terlihat hebat dengan menghambur hamburkan rupiah yang hingga detik ini masih di Tuhankan manusia. Ironisnya biaya kuliahnya boleh ngutang bank. Aku tahu, dia hanya ingin diakui sebagai orang pintar dengan menyandang gelar magister. Ingin pengakuan, heh? Jadi selama ini tak ada yang mengakui bahwa dia pintar? Jijik.

Aku ingin menemui Hangga. Mengadu bibirku dengan bibirnya, lalu menampar pipinya keras keras dengan parutan kelapa. Bayaran atas ketololannya yang tak menyadari betapa aku mencintainya dua tahun terakhir ini.

Aku bisa saja mencolokkan ujung rokok yang menyala ke jidat dosenku yang centil karena dia memberiku nilai B+ di mata kuliahnya. Hei, semua orang tahu aku sangat menguasai semua materi yang pernah wanita dower itu berikan. Heran. Apa sih yang membuatnya sentimen padaku? Dan setelah mencolokkan ujung rokok ke jidat dosen dower itu, aku mau menyepak kemaluan Johan dengan sepatu hansip. Mahasiswa yang hobi berfantasi jorok tapi pandai menjilat dan jilatannya menghasilkan nilai A di laporan hasil studinya semester ini. F*ck!

Aku punya niat meludahi muka perempuan konyol yang badannya dan badan ibu beranak tiga yang sudah melar, tidak beda jauh. Kenapa? Masih tanya kenapa? Mana mungkin kau pacaran dengan bule dan kau belum berseranjang dengannya, dia menuduhku. Demi Tuhan, aku ingin menyumpal mulut kotornya dengan kancut. Pas. Sama kotornya.

Aku juga berharap bisa bertemu lagi dengan laki-laki berkumis tipis yang membonceng pacar jilbab polkadot dengan sekuternya agar aku bisa menelanjangi mereka berdua dan kupajang tubuh mereka di gerbang makam Senopati. Pasalnya, mereka – yang tak sengaja kulihat kemarin sore menjelang maghrib – berboncengan di macetnya lalu lintas sambil saling sentuh organ kencing dengan sebelah tangan. Kenapa tak mereka cari kamar? Kenapa harus dia tunjukkan pada dunia ketidaktahumaluan mereka sambil membawa simbol agama? Sebagai orang yang memeluk agama yang sama, aku merasa di-ren-dah-kan.

Aku ingin melempar semua barang pecah belah di rumah ini ke tembok tanpa membangunkan saudara kembarku yang bisu. Aku akan menjambak jambak rambutku sendiri andai saja rambutku bisa utuh esok harinya seperti semula. Aku mau makan karbohidrat sebanyak banyaknya tanpa takut gemuk. Aku merasa butuh mengoyak bantal guling dengan gigiku seperti harimau yang memangsa bangkai rusa dengan rakus. Aku ingin menelan beling semudah ayam mematuk biji jagung hingga kenyang.

Aku mau tertawa keras keras. Menertawakan ormas yang mencekal kontes kecantikan dengan alasan moral dan agama. Padahal tanpa menonton kontes kecantikan yang ada bikininya pun, remaja di negara ini sudah pandai bersilaturahmi dan bercanda kelamin.

Aku ingin menangis seharian tanpa mata bengkak keesokan harinya. Aku ingin menggaruk garuk tanah dan meraupkan cacing ke mukaku sendiri. Aku ingin menggali kuburan ibu. Aku mau merencanakan pembunuhan terhadap ibu tiriku, mumpung dia mandul dan tak punya anak yang butuh dia. Aku ingin mencekokinya dengan alkohol, lalu mengalirkan listrik ke tubuhnya agar kematiannya seolah akibat serangan jantung.

Aku ingin tinggal di hutan dan melolong keras keras tiap malam. Tidur meringkuk di bawah pohon. Bergulung diatas daun pisang seperti trenggiling.

Aku rela mengeluarkan suara untuk menyumpahi ormas yang bikin macet jalanan dengan aksi demo membawa spanduk bertuliskan ‘selamatkan Palestina’. Teriak teriak membawa toa tanpa merealisasikan tindakan untuk menyelamatkan Palestin.

Aku masih ingin yang lain kalau saja...

Tubuhku direngkuh dari belakang. Rengkuhan itu yang membuatku terkesiap menatap pantulan diriku di cermin. Duduk di lantai dengan wajah yang basah. Bibirku asin karena lelehan air mata. Darah menggenang di lantai dan meleleh di permukaan cermin yang retak parah tak beraturan, kucuran dari tangan kananku.

Kurasakan tubuh saudara kembarku yang menggigil, aku bisa merasakan tubuhnya sedikit mengejang saat menarik nafas. Tangannya melingkar di pundakku dan merapatkan kepalaku ke dadanya. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang cepat dan tak beraturan. Seumur hidup kami memang tak pernah bicara. Tapi seperti inilah dia selalu berkata kata, dari pelukan, dari irama jantungnya, dari denyut nadinya, dari bahasa tubuhnya, dari bisikan hatinya,

Berhentilah, kau hanya lelah dan banyak berfikir. Kau hanya lelah...

Ya.
Ya, aku dengar.

Biar kuperban tanganmu, lalu kusisirkan rambutmu.

Aku merangsek maju balas mendekapnya saat pelukannya merenggang dan wajahnya mengisyaratkan perih ketika diraihnya tangan kananku.

Bertahanlah sebentar lagi, aku belum ingin kau melepaskan aku dari pelukanmu.

Sabtu, 14 September 2013
00: 01 WIB

No comments:

Post a Comment