Snowfall On The Sahara
Aku
ingin marah tanpa ada satupun yang mencegah. Aku ingin marah habis habisan hari
ini. Marah pada diri sendiri dan dunia. Aku ingin mengerahkan angkara yang
tersebar di setiap inci tubuhku yang dialiri darah. Murka dengan dengus nafas
yang terus membuat jantungku memompa darah mempertahankan hidup yang tak
kuinginkan.
Aku ingin mengumpat, meneriakkan
kata kata kotor tanpa merasa bersalah. Aku ingin memaki dan membentak orang
tanpa merasa berdosa. Aku ingin meninju cermin antik di kamarku tanpa harus
meringis sakit saat melihat kepalan tanganku dikucuri darah dari pembuluh
darahku yang terobek serpihan kaca. Aku ingin menjungkir balikkan meja makan
yang dipenuhi makanan yang telah tertata rapi.
Aku mau menggoblok goblokkan guru SD
sebelah rumah yang sotoy, padahal otaknya tak berisi apapun yang sekiranya
penting. Aku ingin mendorong pundaknya di depan murid muridnya dan membuat wali
murid berfikir mereka telah menyekolahkan anak anak mereka di sekolah yang
salah. Sekolah yang salah satu gurunya belagak seperti sosialita, tapi
sejatinya kuper, kampungan dan satu lagi, kecerdasannya kurang jika
dibandingkan dengan keponakanku yang masih SMA.
Aku berani menegur sopir angkot yang ngetem terlalu lama di
pengkolan jalan dan membuat celanaku terkena muntahan anak kecil yang mual
sebab terlalu lama kepanasan dan membaui bahan bakar.
Aku berharap bisa tega menghina si mahasiswa S2 itu, yang sok kaya, dan sok intelek, padahal hidupnya tak pernah dihargai
teman sejawatnya. Hidupnya menyedihkan. Tingkah hedonis yang memuakkan. Ingin
terlihat hebat dengan menghambur hamburkan rupiah yang hingga detik ini masih
di Tuhankan manusia. Ironisnya biaya kuliahnya boleh ngutang bank. Aku tahu, dia hanya ingin diakui sebagai orang pintar
dengan menyandang gelar magister. Ingin pengakuan, heh? Jadi selama ini tak ada
yang mengakui bahwa dia pintar? Jijik.
Aku ingin menemui Hangga. Mengadu bibirku dengan bibirnya,
lalu menampar pipinya keras keras dengan parutan kelapa. Bayaran atas
ketololannya yang tak menyadari betapa aku mencintainya dua tahun terakhir ini.
Aku bisa saja mencolokkan ujung rokok yang menyala ke jidat
dosenku yang centil karena dia memberiku nilai B+ di mata kuliahnya. Hei, semua
orang tahu aku sangat menguasai semua materi yang pernah wanita dower itu
berikan. Heran. Apa sih yang membuatnya sentimen padaku? Dan setelah
mencolokkan ujung rokok ke jidat dosen dower itu, aku mau menyepak kemaluan
Johan dengan sepatu hansip. Mahasiswa yang hobi berfantasi jorok tapi pandai
menjilat dan jilatannya menghasilkan nilai A di laporan hasil studinya semester
ini. F*ck!
Aku punya niat meludahi muka perempuan konyol yang badannya
dan badan ibu beranak tiga yang sudah melar, tidak beda jauh. Kenapa? Masih
tanya kenapa? Mana mungkin kau pacaran dengan bule dan kau belum berseranjang
dengannya, dia menuduhku. Demi Tuhan, aku ingin menyumpal mulut kotornya dengan
kancut. Pas. Sama kotornya.
Aku juga berharap bisa bertemu lagi dengan laki-laki
berkumis tipis yang membonceng pacar jilbab polkadot dengan sekuternya agar aku
bisa menelanjangi mereka berdua dan kupajang tubuh mereka di gerbang makam
Senopati. Pasalnya, mereka – yang tak sengaja kulihat kemarin sore menjelang
maghrib – berboncengan di macetnya lalu lintas sambil saling sentuh organ
kencing dengan sebelah tangan. Kenapa tak mereka cari kamar? Kenapa harus dia
tunjukkan pada dunia ketidaktahumaluan mereka sambil membawa simbol agama?
Sebagai orang yang memeluk agama yang sama, aku merasa di-ren-dah-kan.
Aku ingin melempar semua barang pecah belah di rumah ini ke
tembok tanpa membangunkan saudara kembarku yang bisu. Aku akan menjambak jambak
rambutku sendiri andai saja rambutku bisa utuh esok harinya seperti semula. Aku
mau makan karbohidrat sebanyak banyaknya tanpa takut gemuk. Aku merasa butuh
mengoyak bantal guling dengan gigiku seperti harimau yang memangsa bangkai rusa
dengan rakus. Aku ingin menelan beling semudah ayam mematuk biji jagung hingga
kenyang.
Aku mau tertawa keras keras. Menertawakan ormas yang
mencekal kontes kecantikan dengan alasan moral dan agama. Padahal tanpa
menonton kontes kecantikan yang ada bikininya pun, remaja di negara ini sudah
pandai bersilaturahmi dan bercanda kelamin.
Aku ingin menangis seharian tanpa mata bengkak keesokan
harinya. Aku ingin menggaruk garuk tanah dan meraupkan cacing ke mukaku
sendiri. Aku ingin menggali kuburan ibu. Aku mau merencanakan pembunuhan
terhadap ibu tiriku, mumpung dia mandul dan tak punya anak yang butuh dia. Aku
ingin mencekokinya dengan alkohol, lalu mengalirkan listrik ke tubuhnya agar
kematiannya seolah akibat serangan jantung.
Aku ingin tinggal di hutan dan melolong keras keras tiap
malam. Tidur meringkuk di bawah pohon. Bergulung diatas daun pisang seperti
trenggiling.
Aku rela mengeluarkan suara untuk menyumpahi ormas yang
bikin macet jalanan dengan aksi demo membawa spanduk bertuliskan ‘selamatkan
Palestina’. Teriak teriak membawa toa tanpa merealisasikan tindakan untuk
menyelamatkan Palestin.
Aku masih ingin yang lain kalau saja...
Tubuhku direngkuh dari belakang. Rengkuhan itu yang
membuatku terkesiap menatap pantulan diriku di cermin. Duduk di lantai dengan
wajah yang basah. Bibirku asin karena lelehan air mata. Darah menggenang di
lantai dan meleleh di permukaan cermin yang retak parah tak beraturan, kucuran
dari tangan kananku.
Kurasakan tubuh saudara kembarku yang menggigil, aku bisa
merasakan tubuhnya sedikit mengejang saat menarik nafas. Tangannya melingkar di
pundakku dan merapatkan kepalaku ke dadanya. Aku bisa mendengar detak
jantungnya yang cepat dan tak beraturan. Seumur hidup kami memang tak pernah
bicara. Tapi seperti inilah dia selalu berkata kata, dari pelukan, dari irama
jantungnya, dari denyut nadinya, dari bahasa tubuhnya, dari bisikan hatinya,
Berhentilah, kau hanya lelah dan banyak
berfikir. Kau hanya lelah...
Ya.
Ya, aku dengar.
Biar kuperban tanganmu, lalu kusisirkan
rambutmu.
Aku merangsek maju balas mendekapnya saat pelukannya
merenggang dan wajahnya mengisyaratkan perih ketika diraihnya tangan kananku.
Bertahanlah sebentar lagi, aku belum ingin kau melepaskan
aku dari pelukanmu.
Sabtu, 14 September 2013
00: 01 WIB
No comments:
Post a Comment